Jumat, 02 Agustus 2013

Anonymous #1

Tentang tanya yang belum terjawab. Tentang hati yang tak kunjung berani mengakui. Tentang kita yang menerka- nerka rasa.

Percayakah kamu pada love at the sight? Tidak bisa dipungkiri, aku percaya. Sering kali aku menyukai lelaki hanya karena cara berpakaiannya, cara bicaranya, atau sekedar rupanya yang elok nan enak dipandang mata. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.

Lalu, apa kamu percaya pada click on the first conversation? Nah, untuk ini aku sangat setuju dan mempercayai keabsahannya. 

Menurutku, pribadi seseorang bisa dilihat dari bagaimana cara ia mengelola sebuah obrolan. Entah nanti menjadi "garing" atau malah mengesankan. Iya, kesan pertama. Bukankah manusia memiliki “hobi” menilai sesuatu by its cover? Nah, jadi jangan salahkan jika kita sering kali fanatik oleh kesan pertama.

Pagi itu, melalui chat  jejaring sosial Facebook, aku menerima pesan dari dia yang dulunya begitu asing. Obrolan ringan namun tidak hambar, membuat jemariku "lancang" dan mengikhlaskan deretan nomor telepon genggamku berpindah ke daftar nomor teleponnya. Entah dedemit apa yang sempat mampir, sebelum akhirnya aku sadar.

Beberapa saat  kemudian, telepon genggamku bergetar dan pesan singkat tanpa nama terpampang di layar. Iya, itu adalah awal dimana obrolan panjang ini dimulai.

Tidak butuh waktu lama untuk sekedar berbasa- basi. Hari ke- 4 aku mengenalnya secara maya, akhirnya pertemuan nyata menambah panjang deretan cerita.

Akhirnya aku tahu siapa pemilik suara berat yang berjam- jam mengisi ruang di telingaku setiap malam dengan obrolan yang tak berjeda. Akhirnya aku tahu bagaimana cara menginterpretasikan mimik wajahnya saat pesan- pesan konyol yang memenuhi inbox-ku itu hilir mudik secara konstan. Aku seperti menemukan teman ngobrol yang sudah lama aku kenal. Sangat lama.

Kita tidak pernah tahu bagaimana Tuhan membuat sebuah alur pertemuan. Kepada siapa, kapan dan dimana hati akan ditautkan. Mungkin hanya melalui celah kecil yang dulunya begitu enggan kita intip lebih dalam, namun kini berubah menjadi pintu masuk untuk dia yang baru saja mengetuk.

Hari ini, minggu ke- 2 dari awal perkenalan itu, tampaknya waktu sedang teramat baik dengan memperlambat perputarannya, hingga membiarkan kami saling mengenal, berbagi, dan melengkapi begitu saja tanpa harus pernah berjabat tangan sebelumnya dan bertanya, " Kamu Radit? Aku Tia". 

***



Tidak ada komentar :

Posting Komentar