Rabu, 27 April 2016

We're grow up in different ways

Jeda...
Membentuk jarak yang bernama rindu
Memanggil ingatan tentang tawa yang selalu riuh
Menjadikan hujan begitu dingin, ramai terasa hening

"Ayok ngumpul, si N pulang lho"
"Ayok, langsung aja"
"Jangan sekarang deh, masih belom kelar nih kerjaan."
"Next time gimana? Janjian sama dosen nih."
"Aku mah ayok aja, tapi tempatnya kalian yang atur."
.....
.....
.....
Lalu berujung...batal.

Grup chat kali ini membuatku berfikir bahwa sebenernya nggak ada yang bener-bener nggak bisa, kalau minimal kita semua menempatkan satu hal pada titik yang sama dalam satu waktu yang sama.

Waktu memang mengikat kita pada dunia baru yang kadang sulit dipahami oleh orang lain. Membentuk kita menjadi asing pada hal remeh temeh yang sempat kita tertawakan bersama. Iya, kita sedang sama-sama berjuang mencari "kita" yang utuh. Tapi kenapa kita lupa tentang rasanya "butuh"?

Awalnya aku sempet keki sama kita. Segitu susahnya atur waktu buat sekedar ketemu atau sekedar haha hehe kayak dulu. Tapi kesininya aku sadar, nggak ada yang salah dengan perubahan semacam ini.

Orang dewasa mungkin memang dituntut menjadi individualisme. Kita bukan lagi segerombolan bocah yang gampang atur ketemuan secara spontan. Dan...nggak bisa kumpul, bukan berarti nggak peduli. Beruntunglah, itu artinya satu tahapan baru sedang dilalui.

Jaga diri kalian, guys. Dimana pun kalian saat ini, sedang apapun kalian di sana, dengan siapapun kalian membentuk tawa. Tetap sehat dan berbahagia.

Percayalah, cara menyampaikan rindu yang paling sejati adalah dengan saling mendoakan.






Yogyakarta, yang sedang merindukan sahabat-sahabatnya

Senin, 18 April 2016

tentang menulis dari seseorang yang suka lupa menulis

"kamu suka nulis?"

"berusaha suka."

"kamu suka baca?"

"memaksa suka."

"kok bisa?"

"karena dengan berusaha dan memaksa, harapanku bisa jadi terbiasa."

"tapi blogmu suka bolong-bolong lho. dulu aja, minimal sebulan sekali pasti update tuh. semenjak pindahan, udah jarang banget gitu. jangan menjadikan 'nggak ada waktu' sebagai alasan. semua orang di dunia ini bisa aja menjadikan 'tidak ada waktu' sebagai kambing hitam dalam hal apapun. padahal ya, sesuatu yang-katanya berharga itu bakal mendapatkan porsi waktu khusus, walaupun secuil. tinggal menjadi prioritas atau nggak aja sih."

"emang kudu menoyor diri sendiri untuk hal itu. maap."

"terus?"

"mulai sekarang bakal mulai memberikan waktu untuk diri sendiri deh, lewat nulis. seperti yang pernah aku bilang, nulis bagiku adalah terapi. saat jiwanya lagi sakit, nulis berasa ampuh banget jadi obat."

"berarti sekarang lagi sakit jiwa?"

"mungkin.."

"eh ralat, bukan sekarang...kan tiap hari"

Sabtu, 16 April 2016

Hari Mengamini Sedunia

Sebelum menjadi hari mengamini sedunia, aku menyebutnya hari ditelepon sedunia. Sedunia yang dimaksud jelas, dunianya aku.

Dering pertama pastinya dari Mama. Ucapan singkat, tapi maknanya selalu luas. Tidak ada kata-kata puitis, tapi sejurus merubahku menjadi melankolis. Terharu. Bahagia. Dan bersyukur.

Seorang Ibu adalah orang yang paling memahami bahkan disaat kita tidak paham dengan diri sendiri. Seorang ibu adalah pendoa paling setia, disaat kita yang terkadang melewatkannya dalam pinta.

Sesaat setelahnya, beberapa telepon masuk. Keluarga, teman, dan sahabat yang jaraknya jauh, ternyata masih menyempatkan diri untuk menelepon, sekedar mengucapkan dan mendoakan dengan tulus. Kalau tidak benar-benar disayang, entahlah namanya apa kan?

Tahun ini aku tidak begitu memperhitungkan ucapan melalui Twitter atau Facebook, karena memang rasanya sudah terlalu asing dengan penghuni di media sosial. Entahlah, rasanya saat ini lebih nyaman berinteraksi person by person, lebih ke private massanger.

Dan bener loh, makin ke sini aku ngerasa kepraktisan media sosial malah bikin kita jadi apatis. Rasa peduli agak bergeser ke hanya ikut-ikutan, bahkan sekedar ke rasa penasaran. Saat "hai" dan "apa kabar" hanya menjadi semacam basa-basi. Bukan benar-benar peduli.

Dan begitulah tahun-tahun mengajarkanku soal menemukan orang-orang yang pedulinya itu...sejati. Semoga kita senantiasa dikelilingi orang-orang baik yang menjadikan kita manusia yang lebih baik lagi.

Harapanku tahun ini nggak muluk-muluk, aku ingin menjadi manusia dewasa yang bahagianya tetap sederhana seperti anak kecil. Menjadi bahagianya orang banyak, kurasa sudah cukup mewakili.


Terima kasih ya Allah, Sang Maha Baik yang Supernya Tiada Tara...untuk 23 tahun ini. Izinkanlah doa-doa indah hari ini membumbung tinggi lalu sampai pada rumahnya. Dan kembalikanlah kebahagiaan yang sama untuk mereka yang telah mendoakan dan mengamini. Aammiiinnn



-9 April 2016, masih di Yogyakarta-

Selasa, 05 April 2016

Pulang

https://referensibukubagus.files.wordpress.com/2015/09/sinopsis-novel-pulang-tere-liye.jpg
here

“Hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran."

Bang Tere Liye lagi-lagi membuatku jatuh cinta dengan karyanya. Selalu ada kalimat makjleb-jleb di dalam alur cerita khasnya. Bukan kisah cinta menye-menye, tapi kita diajak memahami bagaimana cinta yang sesungguhnya. Tentang kesetiaan, ketangguhan, perjuangan dan memenangkan diri dari kebencian.

Pulang, membawaku berimajinasi pada adegan menegangkan si Bujang kecil saat mati-matian melawan babi hutan raksasa. Membuatku meringis kesakitan, saat orang-orang terkasihnya meninggal dunia. Dan membuatku geram saat pengkhianatan muncul diantara orang-orang terpecayanya.

Pulang, memberikan nafas pada setiap paragrafnya. Mengingatkan kita untuk kembali kepada fitrah.

"Sungguh, sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang ditempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang."

Pulang, sejauh apapun kita berkelana, dengan siapapun akhirnya kita pergi, dan bagaimanapun susah senang perjalannya, kita selalu diingatkan bahwa kita pasti akan...pulang.