Sabtu, 30 November 2013

Senja dan Mbah Kakung

Kemarin sore aku mengunjungi Mbah Kakung di Rejowinangun, memang sudah hampir sebulan ini aku tidak kesana. Entah aku yang sok sibuk atau memang lupa pada kewajiban (eh ngga ding).

Wajah Mbah Kakung nampak ceria saat aku datang menghampiri beliau yang sedang duduk di kursi goyang favoritnya . Kuraih tangannya, kucium dan kurasakan genggaman itu agak lama dan terasa hangat sekali. Dia merindu, pikirku.

Kutemani beliau duduk dengan secangkir teh hangat, obrolan dimulai dari “seko endi, nduk?” dan berlanjut hingga cerita hidup beliau di masa revolusi, saat bekerja di angkatan laut, masa pencarian Ibunya, saat  jatuh bangunnya mencari pekerjaan baru, masa sulit beliau bekerja dengan Belanda, saat pertemuannya dengan Mbah Putri, saat masa kerja hingga pensiunnya di Pertamina, dan masa  tuanya saat ini.

Memang bukan kali pertama ini beliau bercerita tentang sejarah hidupnya. Aku pun sudah bisa menebak lanjutan cerita itu, namun aku tak tega memotong ceritanya, beliau sedang bersemangat. Aku hanya bisa tersenyum, sesekali menimpali, atau hanya merespon “iya ya Mbah?” dengan antusias.

Kuperhatikan wajahnya, keriput-keriput hingga matanya yang agak kebiruan itu. Mbah Kakung menerawang jauh ke arah jendela, inilah yang beliau lihat setiap harinya. Kendaraan lalu lalang, orang-orang pabrik yang pergi dan pulang, juga langit senja yang menguning, cantik. Tapi kebanyakan hanya dinikmatinya sendiri, pasti sepi, batinku.

Menjadi tua dan merasa sepi itu pasti, pasti kita alami nanti. Satu persatu anak dan cucu mempunyai hidupnya sendiri dan kita tetap disini, menunggu mereka menghampiri. Dan kulihat beliau tampak bahagia sore itu, ya aku pun. Disaat bisa berbagi cerita atau minimal didengarkan saja, arti bahagia yang sederhana itu sudah terdefinisikan.

Senja bersama Mbah Kakung kemarin, membuat aku berpikir untuk sebisa mungkin tetap menjadi telinga baginya. Ya namanya juga orang tua, bukan buah tangan yang aneh- aneh harapan mereka, cukup kunjungan rutin. Bukan iming- iming uang yang berlimpah, cukup berikan mereka waktu.

Yap, momen menjadi pendengar adalah momen yang selalu mengasyikan. Suatu hari nanti, aku pun akan berada diposisi Mbah Kakung saat ini, dan cucuku sedang menuliskannya dengan bangga. Hihi

Rabu, 27 November 2013

Insecure?

Bisa dibilang aku adalah kandidat kakak ter-insecure abad ini. Punya Adik perempuan satu- satunya, dan aku bagaikan emak- emak yang takut anak gadisnya kenapa- napa. Suka mengatur, padahal sendirinya tidak suka diatur. Maunya didengarkan, tapi untuk mendengarkan orang lain banyak pertimbangan. Yap, that's me.

Adik perempuanku ini sudah berusia 16 tahun, belum dewasa memang namun bukan berarti anak kecil juga, kan? Dia yang sudah mempunyai SIM motor diusianya, membuat aku sering mengomel layaknya tante-tante nyinyir saat jam mainnya mulai ngawur (karena dulu diusia segitu aku belum bisa naik motor, well).

Sama halnya sewaktu aku mendapat kabar bahwa dia nekat liburan sendiri dari Bengkulu- Yogya akhir tahun ini. Yap, jangankan naik pesawat sendirian keluar pulau, naik angkot ke sekolah saja kayaknya belum bener (menurutku). Tapi lagi- lagi si nyonya besar mengijinkan, ya beliau memang lebih tahu kapan anak gadisnya mampu melakukan perjalanan jauh. Jadi mau tidak mau aku menyetujui, walaupun tetap dengan embel- embel nyinyiran ini-itu sebelum keberangkatannya.

“Nanti jangan bawa barang banyak- banyak”
“Kalau bingung nanti nanya, tapi jangan gampang percayaan sama orang”
“Cari temennya yang ibu- ibu aja”
“Batere HP dicek terus nanti, jangan sampai lowbat”

Ini baru adik lho, gimana ceritanya nanti kalau punya anak sendiri? Ngga ngebayangin betapa bete-nya anakku sama emaknya yang satu ini. Mungkin sedikit berlebihan, tapi bentuk sayang yang saat ini bisa aku kasih ya begini ini. Semoga ke-insecure-an ini bisa terkontrol sebagaimana mestinya (halah) dan semoga adik perempuanku itu tidak ikut nyinyirin tingkah kakak perempuannya ini bersama Mama dan Mas dirumah. Semoga.

Mari pulang! (ceritanya ini jam pulang kantor)

Senin, 25 November 2013

An Unsend Letter

Salam hormat,
 
Berikut adalah list guru-guru paling memorable sepanjang sejarah persekolahan saya. Disini pun ada beberapa pengakuan dosa beserta permohonan maaf kepada beliau- beliau yang sangat luar biasa.

Ibu Rat. Walikelas jaman TK. Saya suka sekali diajar oleh beliau. Selain baik, sabar, penyayang, beliau juga hobi membagi-bagikan permen di kelas. Sosok guru formal pertama yang membuat saya mengerti dan menyukai sekolah.

Ibu Gultom. Guru berdarah batak jaman SD. Mungkin beliau terkesan galak, senjatanya jaman dulu itu penggaris kayu panjang dan penghapus papan tulis hitam. Setiap murid pasti siaga 1 saat kelas beliau akan dimulai, bersiap maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal. Namun saat hatinya sudah "nyantol" di kamu, dijamin baik banget.

Pak Charles. Guru Fisika jaman SMP. Guru killer yang hobi memanggil semua murid perempuan "gadis" kecuali saya, "tiwit" dan kata khas dari beliau yang tidak pernah saya lupa hingga akhir hayatnya adalah kata "trondol". Bapak yang satu ini sangat pintar memodifikasi  rumus Fisika menjadi sesuatu yang lebih gampang untuk diingat murid- muridnya. Salah satu metode yang sampai saat ini masih melekat di saya adalah metode "cucuk cabut". Akh, how i miss your class, Sir.

Pak Suyoko, guru Bahasa Indonesia SMA yang tidak pernah marah. Saya adalah salah satu murid beliau yang selalu terlambat masuk ke kelas dengan memanfaatkan jam solat dzuhur. Berlama- lama di masjid, gojek- gojek nggak jelas atau mampir ke kantin hanya karena malas belajar Bahasa Indonesia. Bagi saya kala itu, pelajaran Bahasa Indonesia bukanlah mata pelajaran penting dan bisa dijamin kelulusannya selagi kita sudah bisa membaca dan menulis. Namun saya salah, nilai ujian Bahasa Indonesia saya tidak pernah sempurna, bahkan untuk mendapatkan nilai 7 saja itu sudah beruntung. Bahasa Indonesia bagi saya adalah mata pelajaran gaib. Dari kelima options jawaban, semuanya mendekati benar. Dan saya ingin meminta maaf sudah berlaku demikian, Pak. Saya sudah terkesan menyepelekan pelajaran dan kelas Bapak kala itu.

Pak Tarigan, guru Kimia yang berhati malaikat di jaman SMA. Saya tidak tahu hati Bapak terbuat dari apa sampai- sampai bisa begitu baik dan sabar menghadapi kelakuan murid- murid yang menurut saya (saat ini) sangatlah tidak patut dicontoh. Iya Pak, seperti yang pernah saya dan teman-teman lakukan. Sepanjang pelajaran, suara kupasan kulit kuaci pasti selalu terdengar dari tiap sudut kelas. Atau membuka salon di barisan kursi belakang saat bapak sedang mengajar di depan kelas, masyaallah saya khilaf pernah menjadi salah satu pelanggan salonnya Difa kala itu. Tapi apa pernah bapak marah? Tidak. Apa pernah Bapak tidak meluluskan kami? Tidak. Apa pernah Bapak terlihat bermalas- malasan mengajar kami? Tidak.
 
Pak Rustam, guru Matematika kelas 2 SMA. Julukan yang menempel pada Bapak selama saya bersekolah, membuat saya teringat Bapak saat menulis surat ini. Pun saat kelas sedang mengadakan perang kertas di jam pelajaran, tergambar jelas betapa puasnya saya dan teman- teman kala itu. Saya rasa bapak pasti tahu kan? Atau pura- pura tidak tahu? Atau mungkin memang tidak tahu? Hm, tapi Bapak tetap saja menghadap ke papan tulis, mengukir rumus Matematika dengan penuh semangat. Hah :(

Ibu Hikmah Rais, guru Matematika terkiller semasa SMA. Ibu yang kala itu sudah sangat berumur, 2 tahun sebelum masa pensiun jika tidak salah, masih bersemangat membagi ilmu. Ibu tahu? Tiap masuk ke kelas Ibu,  jantung saya selalu berdetak lebih cepat dari biasanya. Satu hal yang selalu saya ingat tentang peraturan di kelas saat itu, rambut seluruh murid perempuan haruslah selalu terikat jika tidak mau mendapatkan masalah. Walaupun dulu saya sempat bermasalah (sedikit) dan sempat merasakan “penghapus terbang” dari Ibu, namun Ibu tetaplah guru Matematika favorit saya.

Guru. Sebuah kata yang menggambarkan kehebatan, kesabaran dan ketulusan. Kenapa? Entah saya sudah terlanjur salut dengan mereka yang memilih profesi sebagai seorang guru. Tidak semua orang mau menjadi guru. Tidak semua orang mampu mentransfer ilmu kepada orang lain. Tidak semua orang mau menghabiskan hidupnya untuk membuat anak orang lain pintar. Ya, tidak semua orang bisa menjadi guru. Maka tidak salah kan jika saya mengagungkan profesi seorang guru?

Jika di masa lalu saya berlaku kurang baik, semuanya hanyalah kekhilafan semata, Pak, Bu. Dan saat ini saya merindukan celoteh kalian di depan kelas, yang kadang terselip doa dan semangat, yang terkadang mengandung unsur pembelajaran hidup. Terima kasih untuk semuanya. Tunggu kabar baik dari saya selanjutnya, ya. Selamat Hari Guru!
   


Yogyakarta, 25 November 2013
Salam rindu dari tanah rantau.

Kamis, 21 November 2013

REPOST: menjadi lakilaki

tulisannya abang @landakgaul emang sering" sederhana
sederhana yang kadang bikin nyeees, kadang bikin manggut" masygul
termasuk yang ini~



“Sekali-kali gantian kek cewek yang duluan. Gue mulu,” begitu keluh salah satu temen gue yang chat-nya direspons biasa aja sama cewek incerannya.
Mungkin gue terlalu kuno.
Tapi gue selalu percaya, anak laki-laki haruslah bandel. Bandel di sini maksud gue adalah tetap penasaran dan mengejar apa yang benar-benar dia pengen. Waktu kecil, gue pernah jatuh dari pohon cuma karena gue pengen niruin gaya Smack Down Ray Misterio. Gue pernah diomelin gara-gara nyebur ke kali cuma karena penasaran gimana rasanya nangkep ikan sapu-sapu pake tangan kosong. Yang paling klise, gue pernah digampar bokap karena waktu SMP gue ketahuan ngerokok. Gue jatuh, gue dimarahin, gue digampar. Tapi gue puas. Gue melakukan hal-hal tadi karena gue penasaran, gue pengen tau, dan gue puas karena akhirnya gue tau. Dan meski udah dikasih tau, udah diomelin, udah kena batunya, dalam beberapa kasus gue nggak berhenti melakukannya. Gue tetap niruin gaya Smack Down di hari berikutnya, terus masih suka nyari ikan sapu-sapu dengan tangan kosong, dan masih tetap merokok waktu itu.
Lalu apa yang membuat gue berhenti melakukan itu semua?
Gue percaya anak laki-laki akan berhenti melakukan apa yang buruk, jika akhirnya sadar bahwa itu nggak ada manfaatnya sama sekali, atau karena menemukan hal yang lebih berarti. Gue berhasil berhenti niruin gaya Smack Down karena kenal basket pas SMP jadi ganti pengen niruin Michael Jordan, Reggie Miller, Tony Parker, atau Kevin Durant (untuk zaman sekarang). Gue akhirnya pensiun ngambilin ikan sapu-sapu di kali ketika gue salah nangkep sapu-sapu –yang ternyata ikan lele– terus gue dipatil. Dan gue berhenti merokok ketika gue selesai menanyakan kepada beberapa temen cewek di kelas gue pertanyaan paling mendasar, “Lo lebih suka cowok yang ngerokok apa nggak sih?” Dari sekitar delapan orang yang gue tanya, semuanya bilang, “Lebih suka yang nggak ngerokok lah,” dengan yakinnya.
Waktu itu gue mikir, Lantas buat apa selama ini gue ngerokok? Semuanya sia-sia aja kalau gue ngerokok cuma biar kelihatan keren di depan temen-temen gue yang cowok. Gue kan mau narik perhatian cewek, bukan cowok.
Point dari cerita gue di atas adalah menuju ke pertanyaan, “Apa yang salah dengan laki-laki yang mengeluhkan sekali-kali harusnya cewek yang duluan, sekali-kali harusnya cowok yang menunggu dan tinggal ongkang-ongkang kaki?” Salah, karena dia tidak sedang menjadi laki-laki.
Perlu gue luruskan sedikit. Maaf jika terdengar sotoy, tapi ini adalah hasil interview gue ke beberapa kenalan cewek. Bahwa cewek ketika menunggu tidaklah ongkang-ongkang kaki, bahwa bagi cewek menunggu adalah salah satu pengorbanan yang cukup melelahkan.
Memang, tatanan sosial di lingkungan kita udah terlanjur kuat dan ada beberapa cewek yang memutuskan menunggu karena bagi orang di sekitar dan lingkungannya, memulai duluan adalah hal yang memalukan, murah, dan gampangan. Gue nggak akan menyalahkan itu. Tapi yang gue gelisahkan adalah, anak laki-laki harusnya keras kepala. Ketika dia menginginkan sesuatu, kejar, sampai dapat, sampai terjatuh-jatuh, bahkan berdarah-darah. Bukan baru kena ujian sekali, terus balik kanan, pergi, dan menyerah.
Bukannya anak laki-laki sudah biasa jatuh dan berdarah ketika dia pengen sekali bisa naik sepeda? Bukannya anak laki-laki sudah biasa tertusuk beling sampai berdarah dengan kaki telanjang melintasi kebon cuma untuk mengejar layangan putus? Lalu kenapa akhir-akhir ini gue sering melihat dan mendengar cerita temen laki-laki dan beberapa orang yang gue kenal, menyerah dalam mengejar sesuatu yang lebih berharga dari sepeda dan layangan, yaitu perempuan, cintanya, (yang katanya) kebahagiaannya?
Biarlah para perempuan saja yang ribet, toh memang mereka sudah mengakui bahwa perempuan itu ribet. Laki-laki, tak perlu ikut-ikutan ribet. Yang gue tau, orang yang mau menghubungi duluan aja kebanyakan mikir, takut ganggu lah, takut gak dibales lah, malu lah, itu perempuan. Kalau laki-laki juga kayak gitu, gimana bisa perempuan mau?
Perempuan ribet, berarti tandanya butuh laki-laki sederhana, yang tegas. Perempuan kan mau pacarannya sama laki-laki. Kalau laki-laki sama ribetnya kayak perempuan, ya mending pacaran sama perempuan lagi aja sekalian.
Untuk mendapatkan hati perempuan, berhentilah bersikap dan berpikir seperti perempuan. Sederhanalah. Tegaslah.
Mungkin pernyataan gue kali ini terkesan terlalu membela perempuan. Memang ya, tapi hanya perempuan-perempuan yang nggak menuhankan gengsilah yang gue bela. Memang perempuan harus punya gengsi, tapi bukan harus jadi munafik dengan menutup dan membohongi diri agar terlihat ‘nggak suka’ di depan orang yang sebenernya disukai abis-abisan. Gengsilah secukupnya.
Terlebih dari itu semua, maksud dari tulisan gue adalah buat sama-sama mengingat bahwa gue, dan para laki-laki yang baca tulisan ini pernah bandel waktu kecil. Jangan sampai kita lebih ‘laki’ dan lebih pemberani waktu kecil dibanding sekarang.
31525_20130524_202010_choice_02
Gue nggak suka konfrontasi. Sekali lagi, sebutlah gue kuno, tapi gue rasa memang sudah benar bahwa perempuan yang dikejar, dan laki-laki mengejar.
Sekarang tugas perempuan dan laki-laki hanyalah untuk menjadi sekooperatif mungkin. Perempuan membuat dirinya layak untuk dikejar, layak untuk diperjuangkan, dan laki-laki mengejar sambil meningkatkan kualitas diri agar layak diterima. Sederhana, bukan?
Gue sadar pada kenyataannya nggak sesederhana itu. Tapi gue yakin, kita, para laki-laki kan sudah biasa bandel. Masa cobaan segitu doang udah bikin nyerah buat ngejar seseorang yang katanya berharga? Come on boys! Be brave! Prove you’re the man!
via (isti).  

Sabtu, 16 November 2013

Rich Dad, Poor Dad


Buku Rich Dad, Poor Dad adalah buku yang aku temukan di deretan koleksi buku kepunyaan Om. Sebenarnya sudah sejak 2 tahun lalu, tapi entah kenapa baru selera kubaca beberapa bulan yang lalu. Buku best seller Robert T. Kiyosaki ini berkisah tentang hidupnya yang memiliki 2 orang ayah. Ayah kandung yang ia sebut “poor dad” dan ayah angkatnya ( ayah dari teman akrabnya) yang ia sebut “rich dad”. 

Disini diceritakan tentang bagaimana cara mendidik dan cara pandang kedua ayahnya yang sangat berbeda. Ayah  yang miskin berpikir bahwa pendidikan tinggi yang bersifat formal akan menghasilkan gaji yang tinggi pula, sedangkan ayah yang kaya lebih menjunjung tinggi usaha agar terhindar dari kesulitan finansial.

Di buku ini dijelaskan pula bagaimana orang pada umumnya memandang aset dan liabilitas yang ternyata selama ini salah kaprah. Bagi orang kebanyakan mungkin barang seperti rumah, kendaraan, dan peralatan elektronik adalah aset, namun sebenarnya itu semua adalah barang yang membutuhkan biaya pemeliharaan dan akan menurunkan nilai jualnya. 

Maka disini dijelaskan, bahwa aset yang sebenarnya adalah dimana barang yang kita punya bisa menghasilkan perputaran pemasukan tanpa mengurangi nilainya, contohnya dengan tanah yang disewakan dan property yang tidak didiamkan. 

Yang aku suka dari buku ini adalah, cara penyampaian Kiyosaki yang tidak menggurui. Sebagai anak akuntansi, sebenarnya hal semacam aset dan liabilitas bukanlah hal asing, namun selama ini aku belumlah bisa menerapkan ilmu- ilmu itu di kehidupan sehari- hariku. Mungkin karena disebabkan aku belum tahu harus memulai darimana dan bagaimana, dan dengan membaca buku ini paling tidak sudah ada gambaran yang cukup jelas apa yang harus aku lakukan ke depan (walaupun sekarang belum, bahkan jauh dari itu). 

Poin penting yang sempat aku catat dari buku ini adalah:
  1. Orang kaya tidak bekerja untuk uang
  2. Mengajarkan melek financial sedini mungkin.
  3. Uruslah bisnis Anda Sendiri
  4. Sejarah pajak dan kekuatan korporasi
  5. Orang kaya menciptakan uang
  6. Bekerja untuk belajar, jangan bekerja untuk uang

Ya, walaupun ada beberapa bagian yang membosankan dan cukup sulit aku mengerti, namun buku ini memberi pelajaran besar tentang bagaimana cara kita mengelola keuangan. Apakah mau terjebak pada perputaran kebutuhan- pendapatan atau mengelola pendapatan dan aset yang kita punya agar bisa bekerja untuk kita. Jleb.