Kamis, 23 Januari 2014

Cerpen: Dinginnya Pelangiku

Dari balik rak- rak buku itu aku melihat mata teduh yang selama ini aku rindukan. Di balik tumpukkan buku itu, aku menemukan kamu. Kamu yang dulu pernah datang, mampir sebentar, lalu pergi tanpa berucap salam.

“Inferno?”

“Yep, Dan Brown terbaru. Hm, tinggal satu. Sorry.” aku memasang muka bersalah, lalu nyengir kuda.

“Oh, nggak papa. Aku udah pegang satu juga kok. Tapi komik, bukan bacaan berat itu” dia menenteng komik Kungfu Komang di tangan kanannya.

“Lalu?” aku heran dengan lelaki berkacamata di depanku ini yang tiba- tiba datang menghampiri.

“Aku suka memperhatikan kamu 3 hari ini, kenapa baru dibeli sekarang? Bukannya sudah dipegang- pegang sejak hari pertama kesini?” ucapan itu keluar saja, tanpa rasa canggung.

“Eng..itu..anu..hm…baru punya duitlah, Mas” sambarku cepat.

Gila. Bisa- bisanya orang yang tidak aku kenal ini membuatku kagok seperti orang yang ketahuan mencuri. Hih.

“Kuliah? Dimana?” kali ini dia bertanya dengan nada yang agak sedikit bersahabat. Catat, AGAK SEDIKIT.

“Masih SMA, ng..calon mahasiswa lebih tepatnya” aku mulai jutek.

Lelaki berkacamata itu perawakannya tinggi besar, putih dan mukanya aneh. Seperti karakter komik, absurd, ya bisa dibilang sedikit lucu.

“Aku Divo, kamu… Jingga kan?” dia seperti Mbah dukun yang bisa menebak kalau pasiennya sakit ambeyen saat datang menghadap.

“Jangan heran, aku membaca dari seragam sekolahmu kemarin hahaha” dia tertawa puas.

Sial. Berarti dia sudah tahu kalau aku ini bukan mahasiswa seperti yang dia tanyakan di awal. Orang sinting. Batinku.

“Yaudah, aku mau bayar dulu, sebelum toko ini tutup hanya karena aku kehabiskan waktu untuk berbasa- basi nggak jelas sama orang asing. Dah.” aku nyelonong pergi, meninggalkan rak- rak buku itu menuju kasir. Oh sial, jantungku….

***

“Jingga!” suara itu terdengar jelas dari arah belakang. Saat aku menoleh, tiba- tiba “JEDEEEEEEER” si pemilik suara itu menabrak troli belanjaan seorang ibu, konyol.

“Kenapa harus seheboh itu sih? Nggak malu apa?” mataku melotot saat dia mendekat.

“Iya habisnya kamu udah 2 kali aku panggil nggak noleh- noleh, Jing”

“Please, jangan potong namaku kayak begitu!” dia orang ke-seribu lima ratus delapan belas yang membuatku protes dengan panggilan “Jing”. Dih. Macam apa aja, kan?

“Oke, oke. J I N G G A A A A A” mulutnya terbuka lebar. Menyebalkan!

“Aku suka kalau kamu lagi manyun-manyun sok imut gitu deh, Jingga” kali ini dia berhasil membuat pipiku merona.

“Udah deh, kamu itu mau apa sebenarnya?” jawabku ketus.

“Mau jadi pacar kamu” sesantai berjemur di pantai dia menjawab pertanyaanku barusan. ORANG GILAAAAAK.

“Hahahahaha kamu ini sakit ya, Div?”

“Please, jangan potong namaku kayak begitu” kata-kata ini persis seperti yang tadi keluar dari mulutku.

“Nanti orang- orang mikirnya kamu lagi ngobrol sama cewek cantik bernama Diva, jatuhlah pasaranku ini. Ups!” tanpa disuruh dia sudah langsung menutup mulutnya rapat- rapat.

***

Di toko buku yang sama, di waktu yang lama sekali sejak hari dimana kamu hilang bak telan bumi, aku melihat kamu lagi. Melihat kamu yang sudah berbeda. Tidak dengan kacamata berframe hitam tebal, tidak dengan kemeja kotak- kotak yang dipakai untuk melapisi kaos hitam, tidak dengan sepatu sneakers buluk itu, tidak dengan rambut kriwil yang tidak terurus, tidak dengan komik kungfu-kungfuan yang entah apa judulnya, tidak dengan kesendirian itu lagi.

“Pah, buku Princess terbarunya kok belum ada ya? Habis ya, Pah?” gadis kecil itu menarik- narik tangan kanannya, menggemaskan sekali.

“Iya sayang, bentar ya Papa tanya Mbaknya dulu” suaranya samar- samar terdengar.

Aku sudah menatap mereka sejak 10 menit yang lalu, atau lebih lama dari itu? Sampai- sampai aku bisa mengikuti alur ceritanya, bahkan aku tahu nama gadis kecil itu. Pelangi.

***

“Kenapa kamu nggak pernah bertanya arti namaku? Biasanya orang- orang selalu bertanya kenapa namaku seperti warna pelangi? Atau begini, memang artinya apa?” aku menirukan cara bertanya orang- orang kebanyakan.

“ Aku sudah tahu. Aku bisa tahu dari hanya melihatmu saja” jawabnya santai.

“Jingga, melambangkan kekuatan, aktif, dan agresif. Selain itu kamu juga punya kemauan dan semangat yang besar. Kamu penuh dengan kegembiraan, keberanian dan kekuatan seperti warna merah, tapi juga melambangkan keagungan dan kehidupan, seperti warna kuning”. Dia menjelaskan panjang lebar, selebar taman bermain di area komplek ini.

Lagi- lagi aku menyebutnya Mbah dukun. Setelah pertemuan memalukan di Supermarket 2 minggu lalu, kami jadi berteman. Kami? Lebih tepatnya dia yang memaksaku untuk mau berteman dengannya. Setiap sore  jam 4 tet, dia mampir ke rumahku dengan menggunakan sepeda. Menjemputku yang ogah- ogahan berkeliling komplek untuk jogging. Iya, dia berkeliling naik sepeda sedangkan aku di wajibkan berlari- lari kecil, agar sehat katanya.

Berat badanku yang (sedikit) berlebih ini memang turun 3 kilogram! Hahaha ada gunanya aku berteman dengan lelaki aneh itu. Ternyata, selain hobi flirting dan menggodaku dengan rayuan kacangannya, ternyata dia sangat kakable sekali. Bisa mengayomi aku yang notabene anak satu- satunya di keluarga.

“Terakhir olahraga kapan?”

“Lupa” jawabku bangga.

“Cepet mati, mau?”

Gilaaaaaak. Siapa yang nggak manut kalau di takut- takuti begitu. Itulah sejarah kedekatan kami yang hanya…..sesaat.

***

Mereka menuju kasir, dia masih tidak sadar dengan kehadiranku yang sedari tadi mengamati dari seberang sini. Aku pun tidak berani menyapanya, jangan- jangan dia sudah lupa. Semua itu sudah lama sekali, aku yang kala itu duduk di bangku kelas 2 SMA, dan dia adalah mahasiswa semester akhir.
Bagiku, kedekatan kami kala itu memang sangat berkesan, masih sering terbayang- bayang kekonyolan dan perlakuannya hingga saat ini. Tapi untuk lelaki yang hobi flirting seperti dia? Hah, ini seperti cerita tentang abege yang dibodohi seniornya.

“Apa kabar?” suara itu mengagetkanku, menyadarkanku dari lamunan masa lalu.

“Kamu Jingga, kan? Aku Bintang, masih ingat kan?” sapa perempuan cantik itu.

Bintang, gadis dewasa yang cantik, pintar, dan selalu membuatku malas setiap kali dia hadir diantara aku dan Divo kala itu.

“Eh Mbak Bintang, baik kok. Sendirian?” kupasang wajah termanis yang kubisa.

“Nggak, bertiga kok sama…Div!” tiba- tiba dia melambaikan tangan ke arah lelaki yang sejak tadi aku buntuti, lelaki yang saat ini belum siap aku temui.

***

Ternyata aku salah, dia tidak pernah berubah. Masih dengan kacamatanya, walaupun bukan dengan frame tebal. Masih dengan hobi flirtingnya. Masih dengan mata teduhnya. Masih dengan senyum khasnya. Walaupun status di KTP nya sudah menjadi DUDA.

Iya, dia memang sudah menikah dengan wanita pilihannya sendiri. Kata Mbak Bintang, gadis itu adalah teman sekantornya. Wanita dewasa, cantik, terpandang, dan sempurna. Tapi Divo kehilangan istri terkasihnya itu 2 tahun lalu, saat Pelangi, anak mereka baru saja berusia 2 tahun.

Mbak Bintang? Iya, mereka memang sudah bersahabat sejak kuliah hingga saat ini. Dan Mbak Bintang pun sudah memiliki keluarga sendiri. Lalu aku? Aku...apa aku belum bercerita? Aku juga sudah berpisah dengan mantan suamiku setahun yang lalu. Alasan klasik bagi mereka yang sudah berumah tangga di tahun ke-5 namun belum juga dikaruniai anak. Iya, untuk masalah itu, Tuhan belum mempercayakannya padaku.

***

Cinta lama akhirnya kesampaian juga, mungkin bisa disebut begitu. Divo dan Pelangi akhirnya pergi menemui ayah untuk memintaku hidup bersama mereka. Dan aku? Tidak ada alasan untuk menolaknya.

Jika bukan karena campur tangan Tuhan, mana mungkin aku bisa menikmati kebahagian seperti ini di usiaku yang hampir berkepala 3. Bersama Divo dan Pelangi, aku memulai lembaran baru. Saling mewarnai dan mengisi kekosongan selama ini.

***

“Selamat ulang tahun, cantik” aku mengecup pipi putri kesayangan kami.

“Cieee anak Papa udah mulai pakai seragam putih biru” Divo menggelitik Pelangi yang malu-malu.

“Hehehe iya makasih ya Pah. Makasih juga...Tante untuk surprisenya” gadis mungil itu memelukku. Dingin, seperti biasanya.

Tuhan, sampai kapan?

Selasa, 21 Januari 2014

Harusnya Hati...

Harusnya kita terbiasa dengan perpisahan. Toh memang sejak awal kita tahu disetiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Lalu kenapa? Setiap kali ini terulang, kita masih merasakan hal yang sama seperti ini adalah kali pertama.

Harusnya kita sudah terlatih menangani masalah hati. Sudah banyak makan asam garam, bisa dibilang begitu. Tapi kenapa masih saja berkeluh tentang kehilangan?

Harusnya yang terdahulu bisa dijadikan pelajaran, agar saat jatuh seperti ini tidak terlalu terasa sakit. Tapi kenapa tetap sama saja?

Harusnya...harusnya kita tahu bahwa hati tidak bisa dipaksakan. Sekuat dan sekeras apapun kita sudah melatih hati, hati tetap saja hati. Gumpalan perasaan tak berlogika jika sedang terluka. Jika sedang sakit. Biarkan hati menjalankan tugasnya seperti biasa. Merasakan sakit, seperti yang sudah-sudah.

Tapi hati jangan dibiarkan selemah kapas yang tertiup angin, datangkan logika saat waktu belum juga bisa memberi jawaban. Karena hati tanpa logika sama saja dengan membunuh diri dengan kekonyolan. Biarkan hati berteman dengan logika, supaya dia tidak hanya merasakan, tapi juga mampu memikirkan. Supaya logika tidak terlalu egois, tapi juga bisa melankolis. Supaya mereka bisa saling melengkapi, bisa saling menopang dan tidak timpang.

"Halo, aku Hati"

"Halo Hati, aku Logika" mereka berdua berjabat tangan dan mulai berjalan beriringan.


 -ditulis saat patah hati, ditolak mentah-mentah oleh mimpi.

Resensi Novel : The Alchemist (Sang Alkemis)


http://www.gramediapustakautama.com/uploads/dirimg_buku/re_buku_picture_86060.jpg
sumber
Dimulai dari mimpi yang sudah 2 kali hadir dalam tidurnya, Santiago, seorang anak laki- laki pengembala memulai petualangannya untuk mewujudkan mimpi tersebut. Perjalanan itu membawanya ke Tangier serta padang pasir Mesir, dan di sanalah dia bertemu sang alkemis yang menuntunnya menuju harta karun, serta mengajarinya tentang kehidupan.

The Alchemist (Sang Alkemis) memiliki alur cerita yang sederhana yaitu tentang seseorang yang ingin mewujudkan impiannya. Namun dibalik itu semua, terdapat tulisan-tulisan yang tidak sesederhana itu karena disana terkandung pemikiran-pemikiran filosofis tentang kehidupan, cinta dan perjuangan. Dan dalam perjalanan itu pulalah Santiago menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.

Novel karya Paulo Coelho ini sangat cocok dibaca untuk anak-anak muda ataupun mereka yang galau tentang pencapaian mimpi. Karena novel ini berisikan hal- hal inspiratif dan memberikan suntikan semangat bagi yang membacanya. 

Membaca novel ini seperti menjelajahi suatu petualangan yang penuh keajaiban. Ada beberapa bagian yang membuatku seperti masuk ke dalam dongeng  Seribu Satu Malam, entahlah rasanya seru mengikuti petualangan hidup Santiago di gurun. Namun sayangnya, banyak istilah yang jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari (misalnya tentang Alkemia, Jiwa Dunia, Batu Filsuf, Ramuan Kehidupan, Lempeng Zamrud) yang membuat aku sedikit bingung dan berpikir.

Katanya novel ini merupakan karya Paulo Coelho yang paling banyak digemari pembacanya dan sudah diterjemahkan ke dalam 71 bahasa. Awalnya aku tidak terlalu terterik membaca karena memang dari judulnya saja terdengar berat, apa itu alkemis? batinku. Nah, berhubung Adil membawa novel ini ke rumah dan menunjukkan hasil tugas menggambar arsitekturnya tentang buku ini, aku jadi penasaran karena hasil gambarnya apik. Akhirnya novel itu aku pinjam dan ternyata memang TOP.

"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?"

"Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.“


Jumat, 17 Januari 2014

Cerpen: Mengakhiri Diam Dalam Diam

Aku mengenal diam sejak dulu, dulu sekali. Sebelum aku mengenal kamu, bahkan sebelum aku mengenal huruf-huruf acak ditiap buku.

Ibu mengajarkanku banyak hal dalam diam. Ibu mengajarkanku bahwa diam adalah bahasa terindah dibandingkan apapun.

Dengan diam, aku tahu ibu menyayangiku. Dengan diam, aku tahu bahwa ibu tidak suka dengan yang aku lakukan. Dengan diam, aku pun tahu kebanggan itu hinggap pada Ibu ditiap tahun sekolahku. Karena diam adalah satu- satunya bahasa yang Ibu bisa.

Tapi diamku kali ini bukan seperti yang Ibu lakukan padaku. Aku diam karena aku sudah terlalu lelah berdebat, terlalu malas melakukan pembenaran.

Aku menangis di pangkuan ibu semalam, dia mengusap kepalaku lembut.

“Ternyata saat kita bicara dan sama sekali tidak dihiraukan itu sangat menyakitkan ya, Bu?” tanpa sadar aku sudah membasahi daster batik kesayangannya. Lengannya memegang erat pundakku, menegakkan kepalaku lalu menatap dan menguatkanku. Kuperhatikan gerak tangannya, bahasa isyarat yang sejak dulu menjadi perantara obrolan kami.

Ibu bilang bahwa aku sudah dewasa sekarang. Ibu bilang, aku tidak boleh menjadi lemah hanya karena perasaan. Ibu bilang, jadilah kuat seperti dirinya. Diacuhkan adalah hal yang menyakitkan, memang. Namun dengan diacuhkan, setidaknya kita paham arti dari menghargai. Setidaknya kita pun tidak berlaku hal yang sama kepada orang lain.

Ibu bilang, datanglah pada orang- orang yang mau di datangi, temanilah orang- orang yang mau ditemani, berdirilah disamping mereka yang membutuhkanmu, bukan pada mereka yang tidak bisa menghargai kehadiranmu. Karena hidup kita terlalu berharga untuk dihabiskan bersama mereka yang tidak benar- benar menginginkan kita.

Aku diam, ya lagi-lagi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Mataku tidak lagi basah, ibu yang menghapuskannya. Memang aku tidak banyak bercerita tentang kamu, apalagi kita. Tapi ibu tahu kalau anak gadisnya sedang jatuh saat bermain dengan perasaan dan itu begitu dalam.

"Aku lelah bermain dalam diam" kata-kata ini hanya tersangkut di kerongkongan. Tak bisa kuucap, saat kamu datang lagi setelah berbulan- bulan ini hilang entah kemana. Tanpa penjelasan, tanpa mengakhiri apa pun.

Bukannya aku tidak peduli. Bukannya aku tidak mencari. Sudah cukup usahaku selama ini dan hanya berbuah kebisuan. Kamu yang masih dalam diam, menyeka air mataku yang seenaknya jatuh tanpa permisi.

"Maaf" satu kata itu saja yang keluar. Lalu lenganmu menjauhiku, lagi.

Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang menjauh, tidak bisa lagi menangis. Penantian selama ini hanya berakhir dengan kata maaf, tidak lebih.

Aku ingin menjadi seperti Ibu, tidak perlu bicara namun mampu memberi pemahaman luar biasa. Entah selama ini kamu mengerti atau tidak bahwa diamku berarti kemarahan, diamku yang berarti penantian, diamku yang berarti pengharapan. Entah kamu menginginkan apa, tapi malam itu kita tetap dalam diam. Perpisahan dalam diam, mungkin lebih baik kusebut begitu. Akhir yang tak pernah kusuka, menggantungkan tanya.

Ibu selalu benar, aku hanya boleh menemani orang yang mau ditemani. Maka saat kamu diam dan memilih menjauh, aku tahu harus bagaimana.

Senin, 13 Januari 2014

Aurora



sumber gambar here

Fenomena alam menakjubkan apa yang kita lihat dari gambar di atas? Itu adalah pancaran cahaya pada langit akibat dari pembelokan partikel angin matahari (partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari) oleh magnetosfer ke arah kutub. Disana, partikel-partikel ini akan berinteraksi dengan lapisan ionosfer sehingga menghasilkan pendaran cahaya yang kuat di langit, membentuk guratan cahaya berwarna-warni yang biasa kita sebut Aurora. 

Fenomena alam yang cantik ini terbagi 2 jenis, yang terjadi di bumi bagian utara dikenal sebagai Aurora Borealis. Sedangkan untuk di kutub selatan dikenal sebagai Aurora Australis

Banyak mitos bermunculan mengenai terjadinya Aurora, salah satunya dikatakan bahwa cahaya yang dihasilkan tersebut adalah cahaya milik dewa fajar dalam mitos Yunani. Padahal faktanya, proses terbentuknya cahaya tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah, seperti yang tertera di awal. Terbentuknya warna- warna tersebut tergantung pada frekuensi tumbukkan antara partikel-partikel dan gas-gas. Misalnya, aurora hijau terbentuk oleh benturan partikel elektron dengan molekul nitrogen. Aurora merah terjadi akibat benturan antara partikel elektron dan atom oksigen (www.tripod.lycos.com).

Jika berminat untuk melihat keindahan aurora secara langsung, bisa saja berkunjung ke daerah-daerah lintang tinggi, seperti Kanada, New Zeland, Antartika, dll. Ketika aktivitas matahari dalam keadaan stabil, maka frekuensi terbentuknya aurora lebih sering terjadi pada bulan September-Oktober dan Maret –April. Dan ketika aktivitas matahari sedang meningkat, atau intensitas angin matahari tinggi, maka cahaya aurora pun akan terbentuk semakin terang.
Aurora merupakan peristiwa yang lazim ditemui di daerah kutub. Lalu apakah aurora ini berbahaya? Sampai saat ini belum pernah terbukti apakah aurora ini berbahaya bagi manusia atau tidak. Tetapi memang fenomena ini dapat mengganggu jaringan telekomunikasi. Baik untuk penerimaan radio, televisi dan telegram.

Berikut ini beberapa penampakkan aurora di berbagai belahan dunia.



sumber

sumber gambar here


sumber
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/aa/Polarlicht_2.jpg
sumber

Jumat, 10 Januari 2014

Almost is Never Enough

Mungkin kalau kupingku bisa ngomong, dia bakal teriak karena tiap hari dalam seminggu terakhir ini dijejali satu lagu super galau, Almost is Never Enough punya si cantik Ariana Grande feat Nathan Sykes. Iya, hanya satu lagu ini saja yang bolak- balik sepanjang hari aku putar hahahaha

Bukan, bukan karena sedang galau. Memang karena lagi suka aja sama suara dan musik di lagu ini yang nenangin dan nggak banyak main instrumen, cuma piano dan lebih menonjolkan kualitas suara. 

Awalnya sih tahu lagu ini dari K-20 yang hobi Riko tonton dirumah, video klip yang manis dan simple jadi daya tarik pertama. Terus besoknya waktu di kantor langsung download deh dan langsung suka banget, meski awalnya nggak tahu apa arti liriknya. Tapi saat sekilas mendengar sih udah agak menyayat gitu hehe akhirnya searching- searching. Deeem, Almost is Never Enough ini menceritakan cinta yang hampir jadi. Cuma hampir, men. Hampir. Artinya nggak jadi. Artinya, tinggal selangkah lagi. Artinya……mamam noh galaunya.

Bukan, lagi- lagi bukan pengalaman pribadi untuk kegalauan lagu ini. Tapi aku bisa ikutan sedih aja waktu mendalami tiap baris liriknya. Nyeees. 

I'd like to say we gave it a try
I'd like to blame it all on life
Maybe we just weren't right, but that's a lie, that's a lie

And we can deny it as much as we want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up

The truth is everyone knows

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If I would have known that you wanted me
The way I wanted you

Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other's arms

And we almost, we almost knew what love was
But almost is never enough

If I could change the world overnight
There'd be no such thing as goodbye
You'd be standing right where you were

And we'd get the chance we deserve

Try to deny it as much as you want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up
The truth is everyone knows

Almost, almost is never enough
We were so close to being in love
If I would have known that you wanted me, the way I wanted you
Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other's arms

And we almost, we almost knew what love was
But almost is never enough

Gimana? Itu yang tulisannya aku bold, ya yang paling puk-puk-able sih. Lagu ini adalah soundtrack film The Mortal Instruments: City of Bones yang menurutku filmnya kurang oke. Habisnya film ini punya banyak kemiripan dengan The Twilight Saga. Dari segi cerita cinta segitiga, kekuatan magis, hingga tokoh- tokohnya. Katanya sih, ini salah satu film terburuk 2013, tapi menurutku nggak terburuk juga sih. Bagus, tapi mungkin sangat jauh dari ekspektasi novelnya. Yaudah sih, intinya aku lagi suka lagu ini. Silakeun bagi yang mau ikutan galau boleh lihat kesini.

Kamis, 09 Januari 2014

Bagaimana?

Bagaimana perasaan kita saat kita tahu orang yang kita kira meninggalkan kita adalah orang yang paling ingin kita bahagia? Sepotong tulisan dari lapaknya MASGUN disini membuatku sedikit berpikir. Iya, bagaimana jika yang kita pikirkan selama ini adalah salah?

Seringkali kita beranggapan sendiri dan mengganggap apa yang ada dipikiran kita itu adalah kebenaran. Menarik kesimpulan sendiri dari apa yang kita lihat, yang kasat mata saja.

Bagaimana? Yah, kata tanya ini sering kali berkeliaran saat aku dihadapkan oleh pilihan untuk memutuskan sesuatu. Kata tanya ini bisa mengubah cara berpikirku seketika saat jawabannya melayang bebas lalu masuk ke akal sehat. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Bagaimana kalau ternyata...

Menurutku, tidak salah jika orang gampang menyimpulkan sesuatu yang "terlihat". Mungkin awalnya akan bertanya, lalu mencari tahu kenapa. Tapi, jika si lawan bicara yang ditanya lebih memilih diam, seperti memberikan setir kepada si pembaca situasi dan pasrah begitu saja. Pasrah dengan judge orang lain tentang dirinya. Pasrah dengan statement apapun. Pasrah jika orang lain menganggapnya jahat, pasrah saat orang lain membencinya. Hingga mungkin pasrah jika sesuatu yang selama ini ia genggam lepas begitu saja. Apa masih salah dengan kesimpulan yang dibuat?

Manusia tidak bisa membaca pikiran manusia lainnya, bukan? Lucu sih menurutku kalau ada yang berkeinginan dimengerti tanpa mau memberi pengertian.

Lalu, bagaimana perasaan kita saat tahu bahwa orang yang selama ini kita pikir tahu apa yang kita pikirkan malah sebenarnya tidak tahu apa- apa?

Itulah gunanya bicara.