Minggu, 17 Februari 2013

Pembelokkan Hati (End)


“How’s life?” sapaku lirih.
“Good, as usuall. You too, kan?” dia tersenyum paksa.
Bisa- bisanya dia berkata aku baik- baik saja. Dasar bodoh!” gumamku.
“Tidak ada yang lebih baik dari saat tahu tentang kabarmu yang 3 tahun ini menghilang, Ndre. Dan lebih baik kamu tak usah menanyakan kembali kabarku. Bukankah selama ini kamu selalu tahu? Kurang puas kamu melihatku begini? ”
“Sabar dulu, Key. Yuk masuk”
“Hahaha aku sudah lelah mendengar nama sabar disebut- sebut selama ini. Aku sudah khatam!” jawabku sedikit berapi.
Aku mengikuti langkahnya, menuju sebuah ruangan dilantai 2.
=0=

Tak ada kata- kata dalam lima belas menit pertama. Mataku hanya memandang kosong kearah jendela. Begitu pula dia tampaknya.
“Jangan bertanya kenapa, Key. Aku mohon” suaranya memecah keheningan.
“Hahaha iya, lalu jangan salahkan aku jika aku mati penasaran sekarang juga ya” jawabku sambil tertawa sinis.
“Suatu saat kamu pasti ngerti, dan ini semua demi kebaikan kita, Key”
“Kita? Siapa kita yang kamu maksud? Aku dan kamu? Sejak kapan ada hubungannya aku dan kamu? Aku hanya adik tingkatmu yang bodoh yang tidak pernah sadar bahwa kebodohan ini memang hanya kesia- siaan. Iya kan?” suaraku mulai bergetar menahan tangis.
“Lalu kamu bilang demi kebaikan kita? Hahaha lucu sekali kamu ini Andre. Mungkin yang ada dibenakmu sekarang aku adalah seorang gadis kecil yang datang meminta belas kasihan dari kamu, yang sudah aku nantikan kepulangannya 3 tahun yang lalu. Menanti sebuah kepastian yang nyatanya tak pernah pasti. Sebegitu bodohnyakah aku dimatamu ya?” air mataku tak bisa aku tahan lagi. Isakku menjadi- jadi.
Andre hanya menunduk, mulai melangkahkan kakinya mendekati tempat aku terduduk. Kurasakan lengan besarnya mendekap tubuhku dengan erat. Terasa lebih tenang, namun menyakitkan.
“Kamu akan tetap selalu indah sampai kapan pun, Key. Kamu adalah satu- satunya wanita yang sampai saat ini aku kagumi, aku rindukan dan aku sayangi. Maafin aku” suaranya yang sedikit berat itu terdengar begitu tulus.
“Bukan salah kamu, aku atau waktu. Perasaan yang kita punya ini yang salah, Key. Sangat salah.”
Aku tersentak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Andre barusan. Aku mencoba mencerna. Tapi tetap tak paham. Aku bodoh.
=0=

Perbincangan aku dan Andre hari itu tergantung dikalimat yang sulit dicerna itu. Dia tak ingin membahas lebih lanjut dan aku pun masih berusaha memecahkan tanda tanya itu dengan sendirinya. Sepanjang perjalanan menuju tempat penginapan, aku yang diantar Andre hanya terdiam termenung di dalam mobil.
“Kamu tunggu bentar ya, gak usah dipikirin masalah tadi, besok pagi kita bicarakan lagi” dia turun dari mobil dan menuju ATM yang berada dikiri jalan tempat parkir ini.
Aku tak menjawab dan kubiarkan dia berlalu meninggalkan aku di dalam mobil. Kulihat sekitarku, dan sebuah barang di dashboard depan itu menarik perhatianku. Kuambil, kulihat- lihat, tampaknya tak asing benda ini, sebuah cincin giok berukuran sedang dan didalam lingkarannya bertulis nama…. Bram.
=0=

Bram Santoso adalah lelaki yang aku lihat di pintu resto sebelum bertemu Andre. Sosok yang aku bilang pernah menjadi seorang papa buat aku. Tapi bukan itu yang saat ini menjadi masalah, tapi…apa hubungan antara Andre dan Papa yang sebenarnya? Apakah? 
=0=

Bila cinta tak pernah salah, kenapa aku harus merasakan rasa yang tidak seharusnya ini? Apakah cinta tetap tidak mau disalahkan? Apakah kesalahannya terletak pada insan yang menjalaninya? Apakah yang salah keadaan? Apa? Tuhan aku butuh satu alasan untuk ini. Aku tak pernah ingin merasakan perasaan ini, jika akhirnya hanya ketidakpantasan. Aku cukup lelah dihari- hari kemarin. Tidak bolehkah aku sedikit bahagia, Tuhan?

Dengan keadaan yang seperti saat ini, aku masih tak mau banyak bicara pada Andre ataupun Papa. Aku merasa dipermainkan dan memang begitu menyakitkan. Aku dan Andre adalah saudara tiri yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Andre menghilang dariku 3 tahun lalu karena dia takut akan kenyataan yang ia ketahui terlebih dulu dari aku ini.
Ibu Andre adalah istri pertama Papa, dan saat beliau menikahi mamaku memang keadaan keluarga Andre saat itu sedang tidak terlalu baik. Sebelas tahun Papa hidup bersama mama dan aku. Yang aku tahu Papa selalu pulang kerumah setiap akhir minggu lalu kembali bekerja lagi keesokkan harinya diluar kota. Entah aku yang memang masih lugu atau aku terlalu bodoh tidak menyadari itu semua. Saat usiaku menginjak 10 tahun, Papa tidak pernah lagi pulang kerumah di akhir pekan, seperti biasanya. Ternyata saat itu, Papa dan keluarga Andre sudah kembali memulai kehidupan yang lebih baik, bahagianya mereka.
Sejak saat itu, hidupku dan mama memang terbiasa tanpa sosok pria yang melindungi, sampai akhirnya saat aku bertemu Andre, si pemilik mata hangat yang sejak kecil aku rindukan.
=0=

“Selamat menempuh hidup baru, sayang” ucap Andre seraya mengecup keningku.
“Iya mas, akhirnya aku merasakan apa itu arti kebahagiaan yang sebenarnya” jawabku sembari menggandeng tangan lelakiku saat ini, Taher, suamiku.
“Her, kamu harus jaga adikku ini dengan baik. Kalau kamu sampai macam- macam,  kamu tahu kan akan berhadapan dengan siapa hahaha” Andre menyiku lengan suami tampanku.
=0=

Hidupku terasa lengkap dengan keluarga yang selama ini aku idam- idamkan, ditambah seseorang yang luar biasa dan nyaris sempurna seperti suamiku. Pertemuanku dengan Mas Andre adalah awal dari semua kesempurnaan ini. Tidak ada yang bisa kupungkiri jika hatiku saat ini mengalami proses “pembelokkan”. Mengubah arah hati kearah yang tak kuduga, dan terjadi pergeseran rasa yang tanpa aku paksa. Semuanya begitu natural berubah. Indah.
Aku dan Taher, Cicil dan keluarga kecilnya, Papa dan Mamaku yang kembali bersama, Iqbal dan calon istrinya, Mas Andre dan kesendiriannya tampak kompak berpose diatas pelaminan kami. Cheeeeesss!
Tidak ada pertemuan yang berakhir dengan kesia- siaan. Jika pertemuan itu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan. Percayalah ada hal lain yang Tuhan maksudkan. Dengan proses “pembelokkan” hati, kamu akan mudah mengontrol diri, bukan didikte oleh hati. Jika dengan kehilangan satu cinta, kamu malah mendapatkan berjuta kali lipat imbalannya, siapa yang bisa menolak?
-Tamat-
 Yogyakarta, Februari 2013
Twit Ajeng Pertiwi

Pembelokkan Hati (Part 3)


Bunga- bunga lainnya selalu menghiasi meja kerjaku selama satu minggu ini. Pesan- pesan singkat pun tak lupa ketinggalan.
Hari kedua,
Kamu masih seperti dulu, tetap indah. -A-
Hari ketiga,
Aku ingin menjadi bunga ini, dapat memandangimu sepanjang hari. -A-
Hari keempat,
Jangan tanya kenapa, karena mengagumi indahmu tidak pernah butuh alasan. -A-
Hari kelima,
Aku tak suka melihat air matamu itu, hapuslah atau akan kudoakan kerutan wajahmu dipercepat saja oleh Tuhan. -A-
Hari keenam,
Please jangan jadi orang bodoh, cukup aku yang bodoh sudah berlari sejauh ini.  -A-
Hari ketujuh,
Kalimat yang tak sempat aku ucapkan, telah kuutarakan dari dulu, melalui mataku. -A-
Otomatis otakku berputar dan mencari tahu darimana bunga-bunga ini berasal. Security kantor sudah kutanyai dan kumintai alamat toko bunga ini. Dan siang ini sewaktu jam makan siang aku mampir ke sebuah toko bunga bernama “Florista”.
“Selamat siang, selamat datang di Florista, ada yang bisa dibantu?” sapa dari dalam ramah.
“Saya mau mencari bunga seperti ini mbak” sembari menyodorkan bunga yang kubawa dari meja kerja.
“Mbak, boleh tahu gak siapa pengirim bunga ini dari satu minggu yang lalu, ke alamat kantor saya ini?” tambahku.
“Ooh iya mbak, ada seorang laki- laki yang selalu memesan bunga ini setiap pagi dengan alamat ini mbak”
“Boleh saya tahu ciri- ciri orangnya mbak?”
“Tubuhnya tinggi mbak, putih, suaranya sedikit berat, dan tampan sih keliatannya, tapi kurang begitu jelas karena dia selalu menggunakan kacamata hitam dan topi merah mbak”
Tidak salah lagi! Itu Andre!”
=0=

Esok paginya, pagi sekali. Aku sudah standbye di depan toko bunga yang selalu didatangi Andre itu. Aku akan segera mendatanginya dan akan aku bantai habis- habisan laki- laki menyebalkan itu. Bisa- bisanya dia mempermainkan ini semua dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku selama ini. Awas saja!
Lima belas menit aku menunggu dengan emosi yang sudah hampir meluap. Aku melihat sosok lelaki berkacamata hitam dan bertopi merah itu mendatangi Florista. Itu dia!
=0=

Beberapa menit kemudian dia keluar dari toko itu, kutepuk pundaknya.
“Hey!”
“Keyla”
“Kamu, siapa?” tanyaku bingung melihat sosok yang hampir aku hajar ini. Dia bukan Andre!
“Key, maaf. Aku..” dia menjawab terbata.
“Kamu siapa dan kenapa kamu tahu namaku, dan kenapa juga kamu selalu mengirimkan bunga- bunga menyebalkan itu ke kantorku? Mana Andre? Mana?” aku memaki lelaki yang tak kukenal ini.
“Aku..”
“Aku disuruh Andre, Key. Biar aku jelaskan”
=0=

Setalah pertemuan aku dengan lelaki bertopi merah itu, Iqbal, yang tak lain adalah adik kandung Andre, aku masih yakin dengan perasaan Andre, dia masih menjadi Andre yang aku kenal. Dan kurasa sudah cukup penjelasan yang diberikan Iqbal kemaren.
Mas Andre yang nyuruh aku mengawasi kamu terus, Key. Walau dari jauh. Walau kamu gak tahu. Mas Andre gak mau kamu kenapa- kenapa. Dia khawatir banget sama kamu, Key. Dia gak sejahat yang kamu fikir. Dia punya alasan yang aku sendiri gak tau apa. Apapun maksud dari semua ini, semuanya cuma bentuk sayang dia ke kamu, yang mungkin gak bakal pernah kamu ngerti, Key”
Lamunanku mengingat kata- kata Iqbal tadi pagi membuat aku mendapat teguran dari atasan yang menagih laporan keuangan bulan ini. Damn!
=0=

Entah apa yang bersemayam disini, ya organ hatiku. Logika tak lagi jalan tiap nama Andre mengisi pikiran dan hati. Rasa marah yang tadinya ingin aku keluarkan, hilang sudah dengan pernyataan dari Iqbal. Entah. Aku begitu saja percaya. Aarrgh yang aku tahu Andre baik- baik saja saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Nanti sore adalah untuk kedua kalinya aku bertemu dengan Iqbal, ya aku sudah membuat janji dengannya untuk menanyakan perihal Andre. Aku hanya ingin tahu apa yang Andre lakukan beberapa tahun belakangan dan bagaimana ia sekarang.
=0=

Jika lautan itu kamu, tiap kali riakmu besar dan mengerikan, aku tahu itu semua pasti akan berarkhir keindahan. Melihatnya pun menenangkan, menyejukkan, dan begitu dirindukan. Ya, begitulah kamu Ndre. Lelaki bermata hangat yang senantiasa bermain komedi putar di saraf otakku.
3 tahun belakangan Andre berada di luar negeri, melanjutkan studinya dan berhenti dari kampus kami yang lalu. Saat ini, dia sedang menjalankan bisnis ayahnya, seorang pemilik restoran mewah di Ibukota. Lelakiku yang dulu, saat ini terdengar begitu mapan dan dewasa, ya aku sangat merindukannya.
=0=

Bising ibukota kurasakan pagi ini. Lalu lalang kendaraan dan macetnya jalanan tak kuhiraukan, karena yang menjadi target utamaku pagi ini adalah restoran Andre.
=0=

Matanya masih sama, hanya saja keriput diwajahnya dan putih rambutnya mulai terlihat jelas. Sosok lelaki paruh baya itu tak asing bagiku. Busananya rapi dan tampaknya ia sedang sangat sibuk dengan gadget nya. Dengan langkahnya yang cepat ia melangkah keluar dari dalam resto. Dia papa. Orang yang sudah berapa belas tahun terakhir tak pernah pulang kerumah, menemui aku dan mama. Lelaki yang dulunya aku segani. Lelaki yang dulunya selalu kutunggu kepulangannya. Lelaki yang pernah menjadi panutan. Lelaki yang dulu pernah dengan bangganya aku panggil, papa.
=0=

“Andre!” teriakku melepaskan pandangan dari sosok tua tadi dan memanggil lelaki bertubuh tinggi itu. Gayanya terlihat santai dari bos- bos kebanyakan. Kemeja ngepas body dengan lengan panjang yang digulung sesiku, dengan Denim dan sepatu pantofel semiformalnya. Tampak begitu mengagumkan, seperti biasa.
Waktu terasa terhenti ketika mata itu bertemu lagi. Masih sama, masih hangat. Tapi tunggu sebentar, aku salah melihat. Mata itu ada yang mengganjal, terlihat banyak kekhawatiran. Kamu tak kuat untuk melihatku lebih dalam, tak seperti biasanya. Alihanmu itu membuatku sadar, ada sesuatu yang kamu sembunyikan.

Bersambung...

Pembelokkan Hati (Part 2)


Sebulan sejak dating kita di kebun binatang itu. Andre sudah tak pernah kulihat lagi sosoknya dikampus. Setiap hari kulewati kelas-kelas yang sering dia tempati. Perpustakaan pun tak lepas dari perintaianku sebulan ini. Namun Andre tak juga terlihat. Kemana dia?
“Cil, Andre kok gak ada ya? Kok dia ngilang gitu aja ya Cil? Apa dia sakit? Hapenya dihubungin juga gak bisa” eluhku pada Cicil.
“Ya mungkin dia lagi ada urusan”
“Tapi ini udah sebulan dia gak masuk, Cil”
“Hm atau dia cuti kuliah kali, Key”
“Cuti? Kok dia gak cerita ke aku sih?”
“Kamu siapanya coba kan? Yaudah tanya ke bagian kemahasiswaan aja” saran Cicil.
=0=

Setelah aku cari tahu, Andre memang mengajukan cuti selama satu semester kedepan. Alasan dia ke kampus sih mau kerja. Tapi satu hal yang membuat aku marah, kenapa harus dalam waktu sesingkat ini dan setiba- tiba ini tanpa babibu lagi!
=0=

Satu semester berlalu, dua semester pun juga sudah lewat, Andre belum juga terlihat dikampus. Aku masih selalu mencari informasi tentangnya. Perasaanku mengatakan, Andre baik- baik saja disuatu tempat, tapi alasan dia menghilang secara tiba- tiba ini yang aku tak tahu. Aku khawatir. Aku mulai memberanikan diri bertanya kepada teman satu kelasnya, menanyakan alamat kosannya, mendatangi kosan dan bertanya ke ibu kostnya pun sudah. Tapi tetap nihil. Aku lelah. Sudah setahun aku begini. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan kekecewaanku pada Andre. Sakit.
Jika memang kamu dan aku dipertemukan hanya untuk saling melupakan, aku lebih memilih tak pernah ada pertemuan. Menghapus sebuah nama dari memori otakku sudah aku coba perlahan dan menggantinya dengan nama-nama baru pun sudah pernah aku lakukan. Tapi organ tubuhku lainnya menolak menghapus, Ndre. Organ ini kekeh mempertahankanmu tetap terkunci baik disana, dihati.
=0=

“Selamat sayang akhirnya Graduation kita hari ini! Selamat buat kesuksesan kita dan semoga kedepannya kita tambah sukses dan terus saling dukung yaaa” Cicil mengangkat gelasnya dan mendekatkannya ke gelasku.
“Cheeeers”
Hari itu adalah hari kelulusan aku dan Cicil. Sudah jalan 2 tahun-an sejak kekecewaanku terhadap seseorang dimasa itu. Ya Andre tetap belum berkabar.
=0=
Pagi itu aku sibuk dengan persiapan hari pertama ngantorku sebagai akuntan disalah satu perusahaan Desaign Lighting. Rasanya bahagia dan tidak percaya secepat ini waktu membawaku menuju proses hidup di fase yang satu ini. Fase kedewasaan, dimana menjadi orang dewasa adalah scene drama terberat dalam hidup.
=0=

Perjalanan karirku selama satu tahun belakangan bisa dikatakan cukup lancar, ya sesuai targetku. Disela- sela pekerjaanku, aku tak pernah lupa tetap menjaga hubungan persahabatan dengan Cicil yang saat ini sudah menikah dengan teman lamanya, Bryan. Dan setiap akhir pekan adalah hari wajib bagi kami untuk menghabiskan waktu berdua. Dan Bryan tidak boleh protes!
=0=

Isakanku makin menjadi- jadi saat Cicil menyebut nama itu lagi, rasanya tersayat hingga sakitnya tambah dalam. Ya, sakit.
“Andre pasti udah punya kehidupan lain disana, Key. Udah deh kamunya juga harus move on. 3 tahun bukan waktu yang singkat buat menunggu sesuatu yang gak pasti kayak gini Key. Aku gak mau ngeliat kamu sedih terus- terusan, menanti kepastian yang kamu sendiri gak yakin kan? Udah lah Key, diluar sana banyak yang lebih dari Andre, yang bisa nerima kamu apa adanya, yang bisa menghargai kamu sebagai wanita, dan yang mau menjaga hatinya selalu buat kamu. Bukan Andre.”
Tangisku tambah meledak, nafasku tersengal- sengal menahan sesak. Aku kehabisan akal dengan apa yang aku lakukan. 3 tahun menunggu kabar dari Andre, yang notabene bukan siapa- siapa. Tapi keyakinan di hati yang selalu mengusik dan menguatkanku untuk selalu dan tetap menunggu. Keyakinan itu mengatakan bahwa Andre pasti kembali, untukku.
“Aku capek, Cil. Aku capeeek. Aku marah sama Andre. Kenapa dia meninggalkan perasaan yang begitu besar ini di aku? Aku gak suka perasaan ini cuma tersimpan gini aja tanpa Andre tahu. Aku butuh dia tahu apa yang aku rasain, Cil. Aku butuh dia ada disini, aku butuh penjelasan. Aku butuh itu semua, Cil.” Suaraku sudah tak karuan, terdengar sengau.
=0=

Pagi ini aku mendapatkan seikat bunga cantik diatas meja kerjaku. Ada secarik kertas wangi bertengger pula disana.
Aku selalu melihatmu, mengawasimu, dari dulu hingga saat ini. -A-
“A? Andre?” sontak aku kaget.

Bersambung...

Pembelokkan Hati (Part 1)


Cinta tak pernah salah. Tak kenal siapa, kapan dan dimana kita dipertemukan, menjadi paduan indah berbalut bahagia. Tak tahu alasan apa dan kenapa pada suatu rasa yang bak anugrah Sang Pencipta. Indah.
“Lihat langit itu, Cil” kataku sembari menunjuk gerombolan awan yang membentuk kepala beruang pagi ini ditempat favorit aku dan Cicil, sahabatku.
“Yang mana sih, Key?” Cicil menolehkan kepala dan mengitari pandangannya ke langit biru itu.
Ya, aku biasa menghabiskan akhir pekanku dengannya. Kadang berkeliling mencari tempat baru yang mempesona, jogging mengitari stadion kota sambil mencuci mata, atau sekedar berbaring di loteng gedung ini. Di gedung kampus kami dulu, tempat yang tenang dan belum banyak orang yang tahu.
“Kamu percaya takdir gak, Cil?”
“Percaya! Setiap jalan hidup manusia itu sudah diatur,Key. Ya itu yang namanya takdir”
“Lalu, apakah semua orang akan bertemu dengan pasangan sejatinya? Dan bagaimana dengan aku yang bego ini, Cil? Apa penantianku untuk dia selama ini akan berakhir sia- sia atau berakhir bahagia?”
Cicil mendekap aku yang mulai terisak, sesak rasanya. Ingatanku kembali berputar ke 3 tahun silam. Saat aku pertama kali bertemu dengannya, sosok pria yang sampai saat ini masih aku tunggu, dan tak tahu sampai batas mana.
=0=

Siang itu, aku duduk dipelataran kantin bersama Cicil dan beberapa teman kampus. Tanpa sengaja mataku bertemu pada sepasang mata lain yang begitu hangat. Dia tersenyum dan menganggukkan sedikit kepalanya sembari berlalu menuju kelas. Dia santun, manis, dan menggetarkan.
Aku terdiam sesaat hingga lamunanku menyadarkan hilangnya aku dalam gerombolan tawa teman- temanku.
“Key, kamu kesambet hah? Daritadi kita ketawa- tawa kamunya mah diem aja, bengong gitu” sambar Cicil mengganggu lamunanku.
“Hm eng..engga papa kok hahaha sori yaa”
=0=

Satu semester ini sudah berapa puluh kali aku memanjakan mataku bertemu dengan mata yang hangat itu. Aku membiarkan perkenalan ini berlangsung lama tanpa pernah berucap kata. Hatiku sudah cukup bahagia tiap kali pertemuan mata itu singgah sesaat, walau beberapa detik saja.
Aku mengagumi dalam diam. Suaraku tak bervolume setiap nafasmu teraba oleh pendengaranku. Dari kejauhan kamu sudah begitu indah, lebih dari cukup. Maka izinkan aku tetap begini, sebagai pengamat setiamu, mengagumi kehangatan yang Tuhan beri, dimatamu.
=0=

Suatu hari, aku tak sengaja menjatuhkan dompetku di pintu perpustakaan dan saat aku kembali, sosok lelaki bertubuh tinggi, putih, dengan alis tebalnya sedang memegang benda itu sambil tersenyum. Begitu manis.
“Ini punya kamu? Lain kali jangan teledor gitu kenapa” ujarnya sambil memberikan dompetku.
Aku yang hanya diam tak cukup kuat melontarkan kata- kata terima kasih atau sebagainya. Ini pertama kalinya selama satu semester aku mendengar suara pemilik mata hangat itu! Ooh damn, I love it!
Punggungnya perlahan menjauh dan lamunanku menghilang.
“Mas! Makasih ya!” teriakku pada sosok yang menjauh itu.
=0=

Sejak kejadian di pintu perpustakaan itu, malamku menjadi sedikit rumit dari malam biasanya. Pikiranku berkeliaran entah kemana hingga aku sendiri bingung dengan yang aku rasa. Yang aku tahu, mata itu bukan hanya hangat, tapi juga suara itu, sedikit berat namun menenangkan.
=0=

“Hai Key, sini aku bantu” suara yang tak asing itu terdengar persis di telinga kananku.
“Lain kali kalo parkir itu yang bener, hobinya kok ngawur
“Iya mas, aku tadi buru- buru hehe”
“Key, kamu mau langsung pulang nih?”
“Iya”
“Temenin aku ke toko buku depan bisa kan?”
“Anjirrrr! Mimpi apa aku semalem Tuhan…….. “  gumamku dalam hati.
“Baiklah bos! Sebagai rasa terima kasih yang ntah keberapa kalinya, permintaan anda saya kabulkan hehe” tawaku langsung sumringah diikuti jempol tangannya yang keluar.
=0=

Rasa nyaman akan membuatmu begitu saja menuangkan cerita pada seseorang yang bahkan belum pernah kamu kenal sebelumnya. Bibirmu tak bisa terkatup, terus saja mencuap- cuapkan segala jenis bahan cerita dan tertawaan hingga kamu lupa bahwa kamu belum mengetahui, namanya.
“Mas, sori nih bukannya sombong atau gak sopan atau apa ya. Satu pertanyaan penting yang mau aku ajukan buat mas. Boleh?”
“Oke boleh, apa?”
“Boleh tahu namanya siapa gak mas? Hahahahha” aku tertawa hingga seluruh badankku terguncang.
Bego! Kalo mau kenalan gak gini juga caranya dek hahaha Namaku Andre. Aku aslinya Jakarta. Aslinya sih anak mama, tapi semenjak mamaku meninggal 2 tahun lalu, aku jadi anak kosan di Jogja ini dan kalau pulang sih ya aku tinggal bertiga doang sama Papa dan adik laki- lakiku. Gimana? Kurang lengkap? Jangan aja kamu tanya aku angkatan berapa loh ya, malu aku hahaha”
“Iya aku tahu kok, mas angkatan tua kan? Hahaha”
Sejak perkenalan itu aku tahu, bahwa Andre adalah sosok yang menyenangkan, mandiri, dan penyayang. Ya nampak dewasa dan menenangkan. Dia adalah seniorku dikampus, perbedaan usia kita sekitar 2 tahun. Dan entah kenapa aku merasa telah mengenal Andre begitu lama, begitu dekat.
=0=

Sejak saat itu, kampus menjadi lebih mengasyikkan bagiku. Aku, Andre, kantin kampus, hujan dan segelas cappuccino hangat menemani obrolan kami sore itu, manis. Semanis itu juga rasa yang Andre titipkan di organ hatiku. Lagi- lagi semesta keren dengan keajaiban rasanya ya?
=0=

“Mas Andre! Mas!” aku memanggilnya sembari berlari kecil.
“Eh Keyla, kenapa?”
“Ayuk mas temenin aku yuk nyari bahan buat laporannya Pak Syueb nih besok dikumpulin, atau mas Andre punya bahannya mungkin?”
“Yah gak punya nih sori yah, lagian aku hari ini ada keperluan, Key. Jadi gak bisa nemenin kamu”
Sorot mataku tiba-tiba terlihat redup. Dan pintarnya dia langsung mengetahui itu.
“Tapi besok aku punya rencana keluar, ke suatu tempat. Mau ikut?” saut Andre merubah moodku dua kali lipat jadi lebih baik.
Is it dating huh?” gumamku sambil mengangkat kedua jempol tangan dan berlari.
“Jemput aku dirumah jam 4 sore besok dan awas aja kalo telat ya mas! Daaaah”
Terima kasih semesta yang keren! Senyumku tak hilang hingga esok harinya tiba.
=0=

“Kemana kita? Aku saltum gak sih ini, mas?”
“Udah gak papa, jeans dan kaos cukup. Yuk!” dia mengegas motornya dengan kencang dan membawaku ke dunia yang begitu aku sukai. Dunia imajinasiku yang sedang dibawa berkuda oleh seorang pangeran tampan. Aaaaaah.
“Sudah sampai, tuan putri” ujarnya menghapus lamunanku.
“Kebun binatang? Serius ini mas? Mau ngapain?” balasku ragu.
“Serius lah, ngapainnya? Lihat aja nanti. Yuk!” dia menarik pergelangan tanganku pelan. Deg! Aku mau mati!
=0=

Jika tiap lelaki yang pernah mengajakku dating selalu mengajakku ke tempat- tempat romantis atau candle light dinner-an. Maka Andre adalah orang pertama yang membuatku terkesan. Tempat ini tidak terlalu buruk ternyata. Banyak hal- hal menarik di dalamnya dan membuat ini sungguh berkesan. Mengitari tempat ini berjam-jam sembari memberi makan hewan- hewan lucu nan menggemaskan. Duduk- duduk dibawah pohon sembari melontarkan candaan garing. Yah, dia berhasil meninggalkan kesan yang….mendalam.
“Kamu ngerasa aneh gak kita ngedate disini, Key?”
What? He said it’s a date? Huahahhaa. Hm gak lah mas, malah aku seneeeeng banget. Seumur- umur orang ngedate di kebon binatang ya baru mas ini, aneh iiih”
“Hahaha tapi suka kan, Key?” dia memicingkan matanya.
Ya, aku paling tidak bisa menipu diriku yang begitu lemah jika menatap mata hangatnya itu, dia mengingatku pada papa. Ya, sehangat papa. Setua itukah sosoknya? Hahahaha

Bersambung...