Jumat, 14 Juli 2017

tentang bersyukur

setelah kemarin menulis tentang kesempurnaan, aku sadar bahwa sejatinya kebahagiaan yang hakiki dan "kesempurnaan" yang dilihat dari berbagai sudut pandang itu tadi, tergantung dari kadar syukurnya seseorang.

orang yang banyak bersyukur, akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dirasakan oleh mereka yang jauh dari rasa syukur. orang yang "sempurna" melihat hidupnya, adalah mereka yang bisa melihat sudut pandang lain dari segala nikmat dan cobaan yang diberikan. orang yang mampu menebarkan energi positif untuk lingkungannya, adalah mereka yang mampu menciptakan energi positif itu tadi pada dirinya terlebih dahulu.

kunci dari hidup memang rasa syukur. sesimpel kita sadar bahwa tanpa diminta pun kita sudah mendapatkan hal-hal luar biasa dalam hidup. nikmat sehat, nikmat bersama keluarga, sahabat, dan orang-orang terkasih, nikmat tidur, nikmat beribadah, nikmat bekerja, bahkan nikmat cobaan sekalipun.

saat rasa syukur kita hadirkan dalam setiap derap langkah yang diambil, kekuatan dan kebahagiaan akan selalu terasa mengelilingi kita.

tapi namanya manusia ya, terkadang tanpa sadar seringkali egois. berharapnya 10 tapi berdoanya 1. mimpinya 100 tapi usahanya 10. belum lagi diembel-embeli ngedumelnya yang 1000 kali lipat.

terima kasih untuk nikmat yang tak pernah putus dan maafkan kami yang seringkali khilaf Ya Allah, jangan biarkan kami kehilangan rasa malu, saat memaksa lebih tapi tidak mau dituntut "lebih".

#selfpunch


Senin, 10 Juli 2017

tentang kesempurnaan

nobody's perfect, katanya begitu.

setiap orang sepertinya mudah mengatakannya. tapi realitanya, banyak dari kita yang tanpa sadar hobi men-judge sesuatu dengan embel-embel bahwa sesuatu yang baik, adalah sesuatu yang terlihat sempurna.

fisik harus cantik atau tampan, pekerjaan harus mapan, kendaraan pribadi siap ditumpang, rumah siap huni sebagai papan, anak-anak berhasil terpandang, terkadang menjadi standar tentang kesempurnaan.

sebenarnya kita ini siapa? atau apa? bisa men-judge kesempurnaan dalam bilangan, menilai sesuatu dengan menentukan standar. padahal kita sendiri adalah ciptaan, yang fitrahnya adalah dinilai.

belakangan, aku sedang banyak menemukan standarisasi manusia terhadap manusia itu sendiri. sehingga kesan kesempurnaan hidup adalah mereka yang mampu mencapainya, jika dibawah itu atau tidak sama dengan itu, berarti bersiaplah untuk dicap tidak sempurna.

dan yang menerima "ketidaksempurnaan" itu tadi pun tanpa sadar ikut dalam arus penilaian, menjadikan "patokan" tadi sebagai dasar kebahagiaan. mereka berlomba-lomba menjadi "sempurna", hanya untuk dianggap "ada".

sedih. sedih sekali rasanya, saat kesempurnaan yang seharusnya tidak diagung-agungkan, bahkan harusnya ditiadakan itu, menjadi standar kebahagiaan. kenapa manusia menjadi begitu kejam? menghakimi "ketidaksempurnaan", menjadikan hal itu sesuatu yang menyedihkan.

haloooo, mari kita bangun. bahwa sejatinya kesempurnaan itu bukanlah milik kita. apa yang telah diciptakan pasti ada maksud dan tujuannya. sebagai lakon hidup, strata kita itu sama.

jangan, jangan sampai kita hanya berfokus pada penilaian sesama manusia. jangan, jangan jadikan penilaian manusia sebagai dasar kebahagiaan. jangan, jangan menjadikan dirimu sendiri menyedihkan.

bangun, dan lihatlah sekeliling kita. sadari hal kecil yang ada, rasakan setiap centi bahkan mili nikmat yang sudah diberikan. bahwa sejatinya, nikmat Tuhan itu lebiiiiih dari yang kita fikirkan. lebiiiiih dari yang kita harapkan. lebiiiiih jauuuuuh dari yang kita bayangkan.

karena, jika sebenarnya kita ini adalah proses (sebagai manusia di bumi) dan hasil akhirnya adalah akhirat, maka satu-satunya penentu dan penilai mutlak hanyalah Dia, Sang Maha Pencipta.