Sabtu, 28 Desember 2013

Kaleidoskop 2013

Tahun 2013 terasa berlalu begitu cepat dengan meninggalkan potongan- potongan kenangan yang aku kunci rapat disini (nunjuk hati, men). Awal tahun yang bisa dibilang salah satu big moment di sejarah hidup. Bulan Januari yudisium dan sebulan setelahnya wisuda. Mengantarkanku pada gerbang lain dalam hidup. Dunia kerja.

Sebelum dipusingkan oleh lamar- melamar kesana- kemari, aku memutuskan singgah ke timur pulau Jawa terlebih dahulu. Merefresh diri dari 2,5 tahun di bangku kuliah tanpa pernah berlibur! Deeem, it’s true. Surabaya, Malang, Gresik dan sekitarnya menjadi pilihan.

Pulang dari liburan ternyata bukan bertambah fresh. Tuntutan untuk mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat dari dalam diri sendiri muncul, begitu besar. Menenggelamkan diri dengan sibuk mencari info sana sini, tes ini itu, dapat pengharapan lalu dijatuhkan, bangun dan jatuh lagi sampai akhirnya bulan keempat, aku resmi menghilngkan title pengangguran dan bekerja disini. Alhamdulillah sampai sekarang.

Bulan- bulan berikutnya terlewati begitu cepat. Semua berubah. Lingkungannya, orang- orangnya, rutinitasnya, cara berpikirnya, masalahnya, semuanya berbeda dan aku berusaha menikmati. And see, I did it.
 
Hah bisa dibilang 2013 ini banyak memberi perubahan dan kejutan dalam hidup. Hal- hal baru banyak aku temui di tahun ini. Banyak masalah dan pelajaran yang aku dapatkan pula. Banyak yang datang dan pergi juga. Iya, intinya banyak cerita di tahun 2013, seperti yang sudah aku tulis di postingan- postingan blog ini (yang isinya curhatan semua hahaha).

Semoga tahun depan bisa menjadi tahun yang penuh kejutan dan perubahan lebih baik lagi dalam hidup. Semoga target di 2014 yang sudah aku list panjang lebar itu bisa terwujud semua. Semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih bermanfaat dari hari ke hari. Amin. Kenapa jadi curhat dan doa pribadi gini. Hih.
 
Selamat tahun baru 2014 semuanya! Teeeeeeeeeeeeeetretetetetet (tiup terompet) :D

Kamis, 26 Desember 2013

Cooking Time!

Malu bertanya sesat di jalan, begitu kata pepatah. Kalau banyak bertanya? Bingung pilih jalan? Nah bisa jadi. Belakangan ini, jadwal liburanku banyak di habiskan di rumah. Membaca setumpuk novel yang baru dibeli, menonton film, menulis atau ha-ha-hi-hi dengan orang rumah. Nah minggu kemarin, aku dan tante lagi tumben- tumbennya nih pengen main masak- masakan.

Sebagai calon mantu idaman mertua, dapur harusnya menjadi tempat favorit wanita- wanita unyu seperti aku ini. Tapi apa daya, tante pernah bilang sesuatu yang agak ngejleb dan membuat drop mental kewanitaanku.

“Wik, kalo bedain mana sere mana lengkuas aja gak bisa. Gimana mau jadi mantu orang?”

“Hasil ulekan gak halus gini, ntar dapet lakinya brewokan loh. Terus nanti gak disayang mertua”

Atau pernah juga yang lebih dalem.

“Tangannya kamu lebih cocok megang alat perkakas deh, ketimbang sutil”. Jleb!

Usut punya usut, penyebab aku belum lihai dalam memasak di usia 20 tahun ini adalah karena faktor jarang diajak turun langsung ke lapangan. Dari jaman di rumah Bengkulu sampai pindah ke Jogja, baik mama ataupun tante punya sifat yang sama. Males di retokkin pada saat memasak. Dan penyebab utamanya adalah karena aku banyak bertanya, sedikit bekerja. That's why, ini yang membuat mereka berdua malas melibatkanku ke dalam dunia perdapuran.

Tapi semenjak lulus kuliah kemarin, pelan- pelan aku suka memaksakan diri untuk terjun langsung ke dapur. Ya minimal saat ini sudah fasih dalam urusan sambel- menyambel, sop- mengesop, oseng- mengoseng, ulek- mengulek lah.

Contohnya hari minggu kemarin, resep yang kami coba adalah membuat brownies. Brownies gagal. Duh, definisi brownies itu kan bolu bantet alias bolu gagal. Nah kalau judulnya aja udah brownies gagal, gimana ceritanya kan? Yaelah begini mau jadi idaman mertua.

Jadi ceritanya, dulu aku adalah spesialis pembuat brownies waktu di rumah Bengkulu. Bisa dibilang brownies buatanku selalu berhasil, dengan catatan ya selalu nyontek resep dari mama. Nah, semenjak pindah ke Jogja aku belum pernah mencoba membuat lagi dan resep mama itu gak tau dimana keberadaannya. Alhasil, bermodal resep seingetnya dan takaran kira-kira serta sok tau yang super gede, aku pede aja mencampur adukan bahan- bahan brownies.

Sebelumnya sih aku udah searching-searching video pembuatannya gitu, tapi  tanpa mencatat resepnya. Yaelah, begono doang mah gampang, batinku. Dan taraaaaa sewaktu hari H praktek, brownies alias bolu bantet itu pun gagal! Bahahahahaha kurang manis lah, bentuknya gak layak makan lah, bantet tet tet banget pulak huaaaaa :((( beruntunglah kami orang serumah adalah tipe pemakan segala, tanpa melihat bentuk dan rasa, brownies gagal itu pun ludes! Hahahaha betapa bahagianya!

Hari kedua, saat libur natal. Rencananya sih pengen bobok cantik seharian, tapi apadaya pagi-pagi tante udah nyamperin ke kamar dan ngeluh kelaperan. Yaudah deh, berhubung perut kita berdua satu aliran, akhirnya diniatin bikin Cake Sukade. Dengan takaran resep versi tante (karena tante kapok dengan resepku) akhirnya cake kali ini berhasil! Walaupun pinggirannya gosong T__T

Saat proses pembuatan cake, aku lebih memilih menjadi penonton daripada pembuat. Ketimbang salah lagi kan ya? Dan saat cake jadi, akulah spesialis icip- icipnya hahaha. Nah, udah agak siangan dikit tante bingung mau masak apa. Ya kalau soal ide mah aku juara. Tapi untuk eksekusinya? Hehe yagitu deh.

Akhirnya kita memutuskan untuk membuat sambel mateng, capcai dan ayam panggang Klaten! Kita? Iya,kali ini aku turun tangan langsung dari membeli bahan-bahan, mengulek, masak dan tentunya icip-icip! Aaaaak enak. No pictures, hoax? Iya sayangnya kemaren nggak sempet difoto, jadi gak bisa pamer deh.

Ternyata menjadi wanita seutuhnya itu rempong ya. Eits, seru jugalah pastinya. Bisa pinter dan rajin masak juga salah satu resolusiku di 2014 nanti loh, selain rajin mandi pastinya #ups. Doakan!

Minggu, 22 Desember 2013

Sesingkat Hujan



Aku berlari kecil, sengaja tidak berpayung, membiarkan air hujan yang jatuh rintik- rintik ini membasahi seragam sekolahku. Aku hampir saja terlambat, tapi angkutan umum yang biasa membawaku ke sekolah belum juga datang. Entah sudah lewat, atau masih mengetem di tempat lain. 

Aku berteduh di halte bus yang sudah lama tidak beroperasi. Biasanya hanya dipakai orang- orang untuk menunggu angkutan seperti yang aku lakukan saat ini, menunggu jemputan, atau berteduh dari hujan pun terik matahari.

Pagi ini hanya ada aku, seorang ibu yang tampak hendak mengantar anaknya ke sekolah, dan lelaki tua yang tertidur di kursi paling sudut sana. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.15, harusnya bel sekolah sudah berbunyi. Hah hukuman berkeliling lapangan 10 kali akan menjadi sarapanku pagi ini di sekolah. 

Aku ogah- ogahan saat turun dari angkutan dan menatap satpam sekolah yang sudah daritadi menggembok gerbang.

“Loh terlambat lagi. 2 hari ini kenapa, neng?” tanya Pak Parjo, satpam berbadan buntal itu.

“Pak, sekali ini saja, please ya. Ada tugas dari Bu Kasmi pagi ini. Bapak tahu kan bagaimana nasib saya jika berurusan dengan guru Matematika yang satu itu. Please, Pak. Terakhir!” bujukku.

Tapi nampaknya Pak Parjo sudah kebal dengan kata “terakhir” yang selama ini diucapkan siswa- siswa telatan sepertiku. Akhirnya aku harus ikhlas menunggu diluar gerbang sampai jam pertama selesai. Setelah itu, bersiap “olahraga” sekitar 10 menit untuk mengelilingi lapangan basket. Hah betapa malasnya.

10 menit pertama tadi  sudah aku habiskan untuk membujuk Pak Parjo dan hasilnya nihil, dan saat ini perutku tidak bisa diajak kompromi. Butuh sarapan. Dan akhirnya aku memutuskan pergi ke warung di sebelah sekolahan yang menjual nasi kuning favorit anak- anak telatan.

“Buk, satu ya”  aku mengambil kursi di sudut kiri. Kuperhatikan sekelilingku, hanya aku pengunjung wanita disini. Sisanya? Seorang anak laki- laki dari sekolah sebelah dan beberapa orang karyawan yang sedang sarapan dan merokok santai. Kulihat anak laki- laki berseragam itu, dia hanya seorang diri dengan dandanan seperti anak yang tidak niat sekolah. Hah, ciri siswa yang sudah bisa ditebak bagaimana prestasinya di sekolah, pasti dia langganan telat dan pembuat masalah disekolahnya, batinku.

“Kenapa melihatku begitu, mau gabung?” celetuknya saat mataku terlihat tak berkedip memperhatikannya sedari tadi.

“Hah, aku hanya melihat coretan yang kamu buat itu. Kamu suka menggambar? Hm lumayan juga” aku mendatangi mejanya sembari membawa sepiring nasi kuning penuh ditangan kiriku.

“Oh, iya. Aku sedang membuat gambar untuk diwarnai nantinya”

“Siapa yang mewarnai?” tanyaku lagi.

“Anak ibu ini, itu dia disana.” Dia menunjuk seorang anak yang tertidur di sudut ruangan lain yang hanya terpisahkan oleh gorden tipis . Gordennya tersibak dan terlihat samar sosok anak yang tadi ia tunjuk.

“Dia sakit?” tanyaku berbisik.

“Iya, lumpuh. Tertabrak sepeda motor” ia masih mencoret- coret kertasnya.

“Dan setiap hari kamu menyiapkan gambar untuknya?” mulutku penuh dengan nasih kuning yang lezat ini.

“Iya, begitulah” jawabnya santai.

Don’t judge a book by its cover, batinku. Anak bandel ini berhati malaikat, aku malu.

“Maaf” suaraku terdengar lirih.

“Untuk?” dia heran. Tangannya masih menggores- goreskan pulpen di kertas yang sama.

“Ah sudah lupakan, aku harus masuk. Kamu bolos?” kali ini aku tidak menunggu jawabannya. Segera berlari ke sekolah dan gerbang baru saja terbuka. Hah, waktunya “olahraga”.

***

Saat jam pulang sekolah pun cuaca  tetap tak bersahabat, masih dengan hujan yang rintik- rintik, membuatku malas untuk bergegas pulang. Tiba- tiba langkahku menuju ke warung nasi kuning tadi pagi. Kulihat warung sudah tutup, tapi pintu sampingnya terbuka. Mungkin aku sedikit lancang, kuberanikan diri untuk menilik ke dalam, dan sosok adik kecil tadi terlihat sendirian, sedang mewarnai gambar dari si anak bandel. Ia hanya tertelungkup sambil memegang pensil warna dengan wajah yang ceria. Oh Tuhan, tiba- tiba mataku basah.

***

Keesokan harinya aku sengaja datang terlambat ke sekolah, bawaanku cukup banyak. Mainanku yang sudah tidak terpakai lagi, pensil warna, dan buku gambar sudah aku persiapkan untuk adik kecil itu.

“Nasi kuning, neng?” ibu itu menyapaku ramah.

Aku tersenyum kaku, bingung harus bagaimana dan seketika mataku tertuju ke arah jam 12,  anak bandel itu ada lagi, dia tersenyum sembari melambaikan tangan. Sok kenal, batinku. Aku melewati ibu nasi kuning dan menuju laki- laki di sudut sana. 

“Aku membawa ini untuk adik kecil, boleh kutitip padamu?” satu kantung plastik yang kubawa tadi kutaruh di kursi kosong disebelahnya. Dia hanya menatapku, lalu kembali sibuk menggambar.

“Hei, boleh atau tidak aku menitipnya?” lengannya kupukul pelan.

“Kasih sendiri saja sana, sulit?” jawabnya pendek.

Aku melirik ibu nasi kuning, ia tersenyum lagi dan mengangguk pelan. Aku masuk, mendatangi adik kecil itu, menyalaminya, mencium keningnya yang basah karena keringat.

“Ini kakak bawa mainan untuk kamu. Nama kamu siapa, sayang?” tanyaku sembari mengusap lembut kepalanya. Usianya sekitar 10 tahun, dan dia begitu cantik. Matanya bulat, alis matanya lebat, bulu matanya lentik, manis sekali. Aku menunggu reaksi dan jawaban darinya, tapi nihil. Dia hanya tersenyum, sembari bertepuk tangan dengan mimik wajah bahagia.

“Dia tidak bisa bicara” suara anak bandel itu menghapus lamunanku. Aku hanya ber-oh pelan, dan berbisik pada adik kecil itu lagi.

“Nanti siang sepulang sekolah, kakak janji kesini lagi ya?” kukecup sekali lagi keningnya dan berlalu meninggalkan warung itu.

***

Aku suka berlari kecil saat rintik hujan datang menemaniku di jam pulang sekolah, aku berlindung dibawah pohon besar didepan sekolah sembari menunggu angkutan umum seperti biasanya. Didalam angkutan ini sebenarnya sesak, tapi aku tetap memilih naik. Sesampai dirumah, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan badan. Tugas dari Bu Kasmi hari ini super sekali, membuat otakku bekerja keras. Tiba- tiba aku teringat sesuatu, adik kecil di warung nasi kuning! Astaga.

Diluar masih hujan, aku ingin kesana, tapi ibu pasti tidak mengizinkanku keluar rumah. Besok saja, batinku. Tapi semalaman ini aku gelisah, aku sudah berbohong pada adik kecil itu. Aku tidak menepati janji. Ah, rasanya ini adalah tidur malam ter-tidak-nyenyak-ku.

***

Mulai hari ini, aku percaya pada firasat. Mulai hari ini, aku takut pada hujan. Karenanya, aku keasyikan dan lupa pada sesuatu. Mulai hari ini, aku tidak berani berjanji. Karena aku takut tidak bisa menepatinya lagi.

Anak bandel itu berdiri di depan warung yang ramai sekali dengan pelayat. Ya, adik kecil itu pergi untuk selamanya. Adik kecil itu meninggal dunia semalam. Ternyata, selain lumpuh akibat dari kecelakaan sebulan lalu, adik kecil itu mengalami pendarahan di otaknya. Aku hanya bisa menangis saat memeluk ibu penjual nasi kuning itu. Si anak bandel hanya diam terpaku dengan seragamnya yang kusam di depan pintu. Aku mendekatinya dan melihat ujung mata itu, agak basah.

“Dia anak baik ya. Siapa namanya?” tanyaku dengan suara yang agak parau.

“Gita” jawabnya pelan.

“Kamu tahu kenapa aku setiap hari menggambar untuknya?” tiba- tiba air matanya turun begitu saja.

“Aku yang membuat dia begini, kau tahu?” suaranya agak meninggi.

Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi dari mata itu aku tahu, dia sangat menyesal, dia amat sedih, dia takut. Aku tak berani bertanya lebih jauh.

Ternyata pertemuan itu sesingkat hujan, datang dengan tiba-tiba dan berhenti sesuka hatinya. Seperti yang aku alami dengan si anak bandel, ibu penjual nasi kuning dan Gita. Hah, aku masih dalam diam, berdoa.

Minggu, 15 Desember 2013

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

"...orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tau lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”

Tania. Gadis 11 tahun yang sehari-hari mengamen dari bus ke bus bersama Adiknya, Dede. Rumah kardus menjadi tempat tinggal mereka bersama Ibu yang sakit-sakitan, semenjak Ayah mereka meninggal 3 tahun lalu.

Hidup mereka berubah drastis semenjak bertemu dengan kakak malaikat yang baik hati, Danar. Usianya sekitar 20-an. Seorang karyawan yang tidak memiliki keluarga.

Tania dan Dede pun kembali merasakan bangku sekolah, ibu diberikan modal untuk membuka usaha, dan mereka bertiga tidak lagi tinggal dirumah kardus.

Hidup Tania dan Dede semakin berat saat ibu harus pergi meninggalkan mereka seperti ayah, lengkap sudah mereka menjadi yatim piatu diusia yang masih sangat kecil. Namun malaikat mereka masih setia menemani, masih selalu ada untuk mereka berdua.

Berawal dari kekaguman seorang anak kecil, muncul perasaan aneh yang tidak pernah dimengerti Tania hingga ia merampungkan sekolah tingkat SMP-nya di Singapura dan saat kehadiran Ratna, kekasih Danar yang selalu membuatnya tidak suka.

Novel ini lebih menceritakan konflik batin Tania yang tidak pernah bisa mengungkapkan isi hatinya pada Danar. Seorang gadis cilik yang mencintai malaikat keluarganya, yang usianya terpaut 14 tahun. Tania berupaya menjadi gadis cantik, pintar dan pantas untuk Danar nantinya. Dan memang dia berhasil mengubah dirinya yang dulu hanyalah seorang gadis jalanan dekil, kini menjadi gadis yang lebih matang setelah menjadi lulusan terbaik di SMA Singapura dan menjadi incaran para lelaki. Namun tetap saja, Tania tidak bisa mengubah status kakak-adiknya bersama Danar.

Hingga Danar dan Ratna akhirnya menikah, hingga muncul konflik pada keluarga baru Danar, hingga akhirnya Tania tahu bahwa Danar juga memiliki perasaan yang sama padanya sejak dulu. Hingga semuanya jelas dan berakhir dengan keilkhlasan, mereka tetap tidak bisa bersama.

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.”
 
Ending yang menyedihkan, tapi manis karena tidak terkesan memaksa. Bahwa cinta tidak harus memiliki, bahwa kita tidak boleh kalah oleh perasaan, bahwa kesakitan haruslah diimbangi dengan kesuksesan. Apik!
 
Novel dengan tebal 264 halaman ini memang menggunakan bahasa yang lebih ringan dan sederhana dari karya-karya Tere Liye lainnya. Walaupun ceritanya terkesan drama sekali, tetapi dia mampu menarik pembaca untuk terus menyelami teka-teki yang dia buat ditiap bab-nya. Keceh!

Selasa, 10 Desember 2013

Pentingkah Komunikasi dan Kepekaan?

Habis baca postingan Isti yang ini, tiba- tiba jadi ngejleb sendiri pas baca bagian akhir, Apa aku punya masalah di yang namanya perhatian ya? Apa aku udah begitu apatisnya sampe gak care sama yang begitu"? Allah, pelisss jangan matiin kepekaan hati aku ke sekitar.

Sama. Aku pernah kepikiran begini dan sempet minta sama Allah semoga dijauhin dari sifat “ga peduli lingkungan” atau “ga perhatian” ini. Pernah sadar, tapi banyak lupanya, kadang kalau lagi inget suka tiba-tiba nanyain kabar temen lama, ya kali aja mereka heran nerima sms mendadakku. Tapi setelah pembahasan mulai ga penting ya udahan. Besoknya lupa lagi, dan begitu lagi, jedanya agak lama sampai menemukan mood atau pas sadar lagi ya baru deh ngubungin, atau kalau ga dimulai duluan, ya ga bakal memulai.

Kadang ngerasa bersalah juga sih, jadi terkesan “dateng pas butuh aja”. Padahal ya ga gitu juga. Cuma bingung harus membahas apa, dan takut ngeganggu aja sih misalnya timing yang ga pas, gitu.

Nah kadang bukan cuma ketemen doang, ke keluarga juga gitu. Kalau Mama, Adek atau Mas ga rajin nanyain kabar atau ngirim- ngirim foto mereka, mungkin aku cuma semacam ngasih laporan bulanan kali ya, harusnya kan 1 x 24 jam wajib lapor. Makanya beruntung banget punya keluarga yang rempong, et care ding lebih tepatnya hihi. Pernah nih waktu aku lagi selo banget pas jaman jadi jobseeker, tiap hari pasti jadi rajin nelponin Mama.

“Mama lagi apa?” tanyaku dengan kemayu.

“Tumben Mbak pagi-pagi udah nelponin, mending nyuci atau nyapu- nyapu dulu sana, ntar biar Mama aja yang nelpon ya”

Tumben. Iya gak gitu juga kali Ma. 

“Mas, kangeeeeeen” ngechat si abang dengan emot peluk super cute di Line.

“Apasih, tumben banget. Kesambet apa kamu dek?” jawabnya. Jleb, batinku.

Tanpa sadar, aku seperti sudah membentuk image yang segitunya dimata orang sekitarku, sampai-sampai cuma kata "tumben" yang bisa mendeskripsikannya.

Beruntung juga punya temen kayak Difa (jangan ge-er plis) yang rajin banget tiap hari nanyain kabar, cerita macem- macem, atau menginfokan hal terkini. Dari segambreng temen jaman SMA ya memang Difa yang masih selalu eksis menuhin notif handphone setiap hari. Pasti ada aja yang diceritain, ditanyain, didiskusiin, ngalah- ngalahin orang pacaran deh care-nya.

Bener kalau ada yang bilang, komunikasi itu nyawa dari sebuah hubungan. Walau jauhnya Jogja-Bengkulu kayak begini, aku masih ngerasa deket sama orang rumah, sama Difa juga. Untungnya sifat mereka itu berkebalikan sama aku, jadi bisa selalu ngingetin kalau aku lagi khilaf. Kalau sama-sama cuek mah, tauk deh.

Itu tadi contoh dari pentingnya komunikasi untuk menjaga hubungan supaya tetap baik. Supaya gak merasa asing sama orang- orang yang penting di hidup kita. Supaya selalu inget, diluar sana ada banyak orang yang nungguin kabar kita, orang yang sayang sama kita, orang yang khawatirin kita. Jadi, ya jangan deh bersikap cuek bebek ke lingkungan, sibuk sama hidup sendiri. Sibuk mah boleh, tapi sisihkan waktu untuk sekedar menanyakan kabar atau minimal say hello ke mereka.

Aku ya udah pelan- pelan sih menghilangkan kebiasaan jelek ga peka atau kurang perhatian ini. Ya dimulai dari sesimpel ga nganggurin sms mereka, kasih feedback berupa tanda tanya di akhir pesan, atau juga berusaha lebih aktif menghubungi mereka. Walaupun masih suka lupa, minimal kan usaha. Pembelaan.

Jadi, jangan biarin kesibukkan mengontrol hidup kamu, tapi kontrol-lah kesibukkan itu supaya kamu tetap “hidup". Duh, jadi sok banget gini bahasanya hihi. Tulisan ini jadi catetan buat diri sendiri juga sih, kali- kali pas mulai lupa ya ga sampai kebablasan. Semoga.

Minggu, 08 Desember 2013

Pantai Terpanjang di Indonesia

Ini dia pantai terpanjang di Indonesia, dengan garis pantai sepanjang 7 km. Suguhan panorama laut yang biru ditambah pasir putih yang halus seolah tidak ada habisnya. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar 3 km dari pusat kota dan dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau pribadi.

Ombak yang tidak terlalu besar, wisata naik gajah, jogging track, dan penyewaan sepeda yang ditawarkan, menjadi daya tarik lain dari pantai ini.

Selain itu, pantai ini juga menyuguhkan hijaunya pepohonan pinus dan cemara yang berdiri kokoh di pinggirnya, sehingga membuat suasana semakin sejuk. Ada pula penjual panganan khas laut seperti ikan dan cumi- cumi serta minuman andalan, es kelapa muda yang bisa menghilangkan dahaga setelah lelah bermain seharian. Maka tak heran, banyak keluarga yang menghabiskan akhir minggu bersama ke pantai ini.

Datanglah kesini pada sore hari jika ingin melihat penduduk sekitar atau pengunjung dari luar kota yang ramai berdatangan ke pantai ini. Ada yang hanya ingin menikmati angin laut, jogging, bersepeda, bermain layang- layang atau menunggu datangnya sunset, karena memang sayang jika harus melewatkan momen sunset terindah. Dengan garis pantai yang luas, seolah tidak ada penghalang untuk menikmati indahnya sunset yang berwarna merah kekuningan.  


Pantai ini juga menyediakan banyak penginapan untuk bermalam, sehingga pengunjung dari luar kota tidak perlu khawatir jika masih ingin menikmati indahnya pantai ini lebih dari sehari. Penasaran untuk menikmati indahnya pantai ini? Lokasinya bukan di Bali atau Lombok, pantai terpanjang di Indonesia itu ada di Bengkulu, Pantai Panjang namanya.


Nb: all photos from google

Selasa, 03 Desember 2013

Anonymous #3

Belakangan ini Radit banyak diam, tidak seperti biasanya. Cahaya di mata itu agak redup, ada beban entah seberat apa, namun tak pernah ia ungkap dan akupun hanya bisa menerka.

Memasuki bulan ke-4 dan aku merasa bahwa ‘ruh’ kami baru ditiupkan. Mungkin karena itu, hubungan ini baru terasa ‘hidup’. Aku menjadi gampang khawatir dan parno sendiri saat Radit makin hobi hilang timbul tak karuan. Kadang dia begitu nyata, kadang samar, bahkan hilang pelan-pelan, lalu muncul lagi. Aneh , kan? Aku sebal.

Iya, terkadang aku merasa sudah mengenalnya dengan baik, sejak lama. Namun terkadang, aku dan dia bagai orang asing yang tak saling paham. Apalagi saat dia meminta satu hal kemarin.

“Aku butuh waktu”.

“Baik, pergilah dan kembali segera” kujawab seadanya, tanpa berpikir panjang, walau buntutnya penuh tanda tanya.

Kuberi ruang kecil diantara kami, sedikit jeda, bukan jarak. Kubiarkan dia menata diri, kubiarkan dia menyendiri. Dan tanpa sadar, aku sudah membiarkan diriku sendiri bermain dengan spekulasi tak jelas.

***

“Tia, apa kabar?” Brian menyapaku yang sedang duduk di sudut kafe dengan tatapan kosong ke lembaran novel yang kugenggam.

“Ng…baik, apa kamu sudah lama disini?”

“Yap, sekitar seperempat jam lalu kumemperhatikan lamunanmu itu” jawabnya.

Aku diam. Tak berani menatap.

“Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, Ti. Ada apa?” Tebakannya tepat, dan aku mati kutu.

Brian yang sudah setahun ini hilang dari otakku, tiba-tiba muncul begitu saja disaat jeda antara aku dan Radit makin melebar. Aku takut.

Tunggu dulu, apa aku sudah menceritakan siapa itu Brian? Oh, dia hanya masa lalu yang cukup lama mengenalku. Hm, sangat lama lebih tepatnya. Dan beruntungnya, aku sedang malas berbasa- basi, maka kehadirannya tidak terlalu berkesan hari itu.
 
***

Sudah hampir seminggu dan Radit belum menampakkan tanda- tanda memintaku menghapus jeda, entah aku pun tak mau menanyakannya. Aku hanya takut akan menambah panjang masalahnya saja. Aku benci menunggu tapi entah kenapa aku mau melakukannya kali ini.

Beberapa kali aku hampir kalah, khawatirku terlalu berlebih dan menunggu kabar darinya hampir membuatku gila. Kuhubungi dia, nihil. Kuhubungi temannya, sama nihilnya. Lalu? Aku kembali ke opsi awal, menunggu.

Sejujurnya aku paling tidak suka disetir oleh keparnoan seperti ini. Sepanjang hari aku sengaja mencari kesibukkan, entah dengan urusan kantor, urusan rumah, atau mencari-cari kegiatan yang bisa aku kerjakan di waktu senggang. Iya, supaya otakku tidak berpikir macam-macam soal Radit. Kamarku sudah tak layak huni, buku-buku bertebaran, laptop menyala semalaman, musik tak mau kalah meramaikan seisi kamar. Iya ramai, tapi aku kosong. 

Lagi-lagi aku dihujam beribu pertanyaan yang tak kutahu bisa kusampaikan pada siapa. Berkali- kali aku mengutuk waktu, kenapa saat itu aku mengiyakannya untuk membuat jeda? Buktinya aku kalah pada diriku sendiri.

Mungkin aku terdengar egois, menyimpulkan sendiri arti dari jeda ini. Harusnya aku sabar, menunggu penjelasannya dan sebisa mungkin memahami. Tapi lagi-lagi aku payah, egoku berontak dan membawaku pada arah yang makin tak jelas.

“Aku lelah” pesan itu kukirim pada Radit, di saat jeda kami masuk kehitungan minggu.

Tidak sampai 2 menit, handphone-ku menerima balasan kilat darinya. Tumben, batinku.

“Bersabarlah Tia, aku menyayangimu”. Singkat, padat, dan tidak jelas! Ingin rasanya aku mengigit lengan lelaki itu dan menghajarnya dengan serentet pertanyaan. Bisa-bisanya dia membalas pesanku secepat ini, padahal baru 5 menit lalu telfonku diabaikan!

Kutarik napas, kubuang panjang. Kujernihkan pikiranku, dan kuambil kesimpulan. Iya, dia hanya butuh waktu. Waktu untuk membereskan urusannya sendiri, waktu untuk mandiri tanpa aku. Kubaca berulang kali pesan itu, kucerna dan tunggu dulu, ada yang tersirat disana. Yap, dia pasti pulang.

***

Sabtu, 30 November 2013

Senja dan Mbah Kakung

Kemarin sore aku mengunjungi Mbah Kakung di Rejowinangun, memang sudah hampir sebulan ini aku tidak kesana. Entah aku yang sok sibuk atau memang lupa pada kewajiban (eh ngga ding).

Wajah Mbah Kakung nampak ceria saat aku datang menghampiri beliau yang sedang duduk di kursi goyang favoritnya . Kuraih tangannya, kucium dan kurasakan genggaman itu agak lama dan terasa hangat sekali. Dia merindu, pikirku.

Kutemani beliau duduk dengan secangkir teh hangat, obrolan dimulai dari “seko endi, nduk?” dan berlanjut hingga cerita hidup beliau di masa revolusi, saat bekerja di angkatan laut, masa pencarian Ibunya, saat  jatuh bangunnya mencari pekerjaan baru, masa sulit beliau bekerja dengan Belanda, saat pertemuannya dengan Mbah Putri, saat masa kerja hingga pensiunnya di Pertamina, dan masa  tuanya saat ini.

Memang bukan kali pertama ini beliau bercerita tentang sejarah hidupnya. Aku pun sudah bisa menebak lanjutan cerita itu, namun aku tak tega memotong ceritanya, beliau sedang bersemangat. Aku hanya bisa tersenyum, sesekali menimpali, atau hanya merespon “iya ya Mbah?” dengan antusias.

Kuperhatikan wajahnya, keriput-keriput hingga matanya yang agak kebiruan itu. Mbah Kakung menerawang jauh ke arah jendela, inilah yang beliau lihat setiap harinya. Kendaraan lalu lalang, orang-orang pabrik yang pergi dan pulang, juga langit senja yang menguning, cantik. Tapi kebanyakan hanya dinikmatinya sendiri, pasti sepi, batinku.

Menjadi tua dan merasa sepi itu pasti, pasti kita alami nanti. Satu persatu anak dan cucu mempunyai hidupnya sendiri dan kita tetap disini, menunggu mereka menghampiri. Dan kulihat beliau tampak bahagia sore itu, ya aku pun. Disaat bisa berbagi cerita atau minimal didengarkan saja, arti bahagia yang sederhana itu sudah terdefinisikan.

Senja bersama Mbah Kakung kemarin, membuat aku berpikir untuk sebisa mungkin tetap menjadi telinga baginya. Ya namanya juga orang tua, bukan buah tangan yang aneh- aneh harapan mereka, cukup kunjungan rutin. Bukan iming- iming uang yang berlimpah, cukup berikan mereka waktu.

Yap, momen menjadi pendengar adalah momen yang selalu mengasyikan. Suatu hari nanti, aku pun akan berada diposisi Mbah Kakung saat ini, dan cucuku sedang menuliskannya dengan bangga. Hihi