Senin, 24 Maret 2014

Cerpen : Pulang

Satu persatu anakku tumbuh, memulai hidup masing- masing dan meninggalkan rumah. Sedangkan aku memilih untuk tetap disini, di tempat ternyamanku.

"Bu, apa ibu tidak kesepian di sini sendiri?" tanya Fika dengan raut muka bersalah. Fika yang selama ini bersamaku, anak perempuanku satu- satunya itu akhirnya meninggalkan rumah demi cita- cita yang selama ini dia impikan. Aku bahagia atas itu, walau berat sekali melepasnya untuk tinggal di tanah Jawa.

"Ibu baik- baik saja, Fik. Lagian nanti kan ada Lutfi yang jaga ibu. Kamu sendiri kan yang menyuruh dia singgah kesini seminggu sekali demi ibu? Untung dia manut ya sama kamu, Fik.”

Lutfi adalah kekasih Fika sejak SMA, dia anak yang baik dan sangat menyayangi Fika. Aku pun sudah menganggapnya seperti anakku sendiri, setelah Habib lebih dulu meninggalkan rumah pasca menikah 4 tahun lalu dan menetap di Jakarta.

“Iya bu. Fika usahakan 3 bulan sekali mengambil cuti untuk pulang. Lutfi sudah janji sama Fika bakal jagain ibu kok. Nanti kalau ada apa- apa, Fika dikabarin ya, bu.” dia mengecup keningku, air matanya jatuh persis di kelopak mataku.

Jumat, 21 Maret 2014

Momen 15 Menit

“Luangkan 15 menit sehari untuk keluarga anda”

Kalimat di atas sering sekali kita jumpai mengisi jeda di televisi akhir- akhir ini. Iklan teh Sariwangi yang menurutku simple tapi ngejleb. Menggambarkan betapa pentingnya waktu untuk keluarga, walau hanya 15 menit. Iya, 15 menit bukan waktu yang lama, kan? Harusnya ini menjadi hal mudah, tapi era modern saat ini mengubah itu menjadi hal yang sulit dan mahal bagi kita.

Nyatanya, tidak semua orang punya kesempatan berkumpul dengan keluarganya. Ada yang memang karena jarak yang berjauhan sehingga memaksa mereka untuk tidak bisa bertatap muka dan ngobrol dengan leluasa. Ada juga yang karena kesulitan memanage waktu karena kesibukan. Atau yang paling simple tapi menyebalkan adalah karena hadirnya gadget super canggih.

Gadget mungkin sangat bermanfaat bagi keluarga yang berjauhan untuk melepas rindu atau sekedar berbagi kabar. Gadget bisa mendekatkan mereka yang jauhnya bermil- mil hanya dengan bermodal kelengkapan fiture dan jaringan internet. 

Tapi, gadget juga bisa membunuh kebersamaan mereka yang dekat. Kecanggihan alat komunikasi ini bisa membangun “dunia” untuk masing-masing anggota keluarga. Mereka yang berada pada satu tempat yang sama, malah sibuk dengan gadgetnya masing- masing. Miris. Jadi tidak heran jika momen 15 menit berkumpul itu sulit didapat, kan?

Dulu saat di Bengkulu setiap menjelang tidur, kami sekeluarga pasti berkumpul di ruang TV yang kadang disulap menjadi tempat tidur bersama. Aku merindukan hal ini, kami yang sengaja tidur berjejer sambil menonton dan bercengkrama hangat, menceritakan hari melelahkan masing- masing, lalu tanpa sadar tertidur pulas. Sesibuk apapun, sesedikit apapun waktu yang dimiliki, kumpul keluarga itu wajib hukumnya.

Lain disana, lain pula disini. Seperti yang sudah sering aku ceritakan, kalau di Jogja aku pun punya keluarga yang sangat menyenangkan. Tiap pagi pasca subuhan, aku dan Tante selalu melakukan rutinitas seru. Ngopi bareng. 

Dari ngopi bareng itu aku merasakan sendiri tentang pentingnya menyisihkan waktu untuk sekedar duduk dan ngobrol bareng. Kita bisa menjadi dekat satu sama lain, bisa menjadi teman, sahabat, adik kakak, tante keponakan, bahkan aku merasa menemukan sosok seorang ibu. 

Obrolan pagi itu seperti suntikan semangat sebelum memulai hari. Dan saat sore hari menjelang waktu magrib, hal yang sama juga kami lakukan untuk melepas kepenatan setelah seharian sibuk dengan urusan masing- masing. 

Makanya aku sangat menyukai iklan ini yang bertujuan mengajak seluruh keluarga di Indonesia untuk menyisihkan waktu setidaknya 15 menit saja untuk “mengenal” anggota keluarganya lebih dalam. 

Aku pun juga akan membiasakan free gadget and family time saat dirumah bersama keluargaku nantinya. Jangan sampai momen seberharga ini menjadi hal langka dan asing bagi mereka.


Kamis, 20 Maret 2014

Pelupa

Menjadi pelupa itu menyebalkan, tapi kadang juga menyenangkan. Menyebalkannya adalah suka merasa berdosa kalau tiba- tiba ketemu temen lama, dia senyum terus nyapa bahkan nyamperin, tapi kita dengan bodohnya lupa itu siapa. Kadang inget sama mukanya doang, sedangkan namanya? Allahualam. Alhasil, bermodal senyum dan cuma nyapa “hai, kamu…

Selain nggak enakan sama mereka yang kadang “terlupakan”, menjadi pelupa itu juga menyebalkan buat diri sendiri. Untuk urusan menghapal jalan, contohnya. Khususnya untuk rute jalan yang baru 1-2 kali dilewati dengan selang waktu yang lama, dijamin nyasar dan bingung deh nyari jalan pulang. Bisa muter- muter ditempat yang sama sampai berkali- kali, sampai akhirnya mencoba semua kemungkinan untuk bisa pulang.

Selain itu, ada hal lain yang menyebalkan dari pelupa, yaitu suka lupa dengan list belanjaan. Misalnya dititipin buat beli A, B, C, D tanpa dicatat karena sebelumnya sudah yakin bakalan inget, eh ujung-ujungnya nanti yang dibawa pulang malah A, B, D, F, ditambah G. Udah diluar budget, eh barang yang dibutuhin malah nggak ada.

Belum lagi saat lupa meletakkan sesuatu. Kadang suka teledor sama kunci motorlah, duitlah, handphone dan hal remeh- temeh lainnya. Untung kepala nggak bisa dibongkar pasang, kalau bisa mah horor banget, kan?

Lalu, menyenangkannya apa? Ternyata ada sisi positif dari pelupa, yaitu suka lupa kalau lagi marah sama orang. Misalnya, aku lagi sebel banget sama si A, awal marahan aku pasti jutek abis- abisan, niat selama- lamaan diem. Tapi beberapa waktu kemudian, saat aku butuh si A, atau si A butuh aku dan kita tanpa sadar ngobrol, yaudah aku lupa kalau tadinya lagi sebel berat sama dia. Terus jadi biasa lagi dan akhirnya ya batal marahan deh.

Jadi ya alhamdulillah belum pernah ada musuh selama 20 tahun ini dan rasanya itu seneng banget punya hidup yang tenang, damai dan nggak punya musuh. Mau? Makanya jadi pelupa! Hahaha

Untuk Perempuan- Sheila On 7

Pagi ini playlist-ku di kantor adalah lagu- lagunya Sheila On 7, lagi rindu sama Mas Duta dkk kayaknya. Memang nggak bisa dipungkiri kan, semua lagu mereka itu asik? Nah seketika jari- jariku terhenti mengetik saat lagu Untuk Perempuan terputar. Ah, dalem. Nih dengerin baik-baik.



Jangan mengejarnya
Jangan mencarinya
Dia yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatinya
Di hari yang tepat

Jangan mengejarku
Jangan mencariku
Aku yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatiku
Di hari yang tepat
        
Reff:
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang dia kan datang
Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam

Bahkan dia takkan bertahan tanpamu

Sibukkan harimu

Jangan pikirkanku
Takdir yang kan menuntunku pulang kepadamu
Di hari yang tepat
Reff:
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang aku 'kan datang
Dan memungutmu ke hatiku yang terdalam

Bahkan 'ku takkan bertahan tanpamu

Aku yang 'kan datang (6x)

Jangan pikirkanku, takdir yang kan menuntunku pulang kepadamu di hari yang tepat. Tuh!

Selasa, 18 Maret 2014

Krisis

...karena menyemangati itu jauh lebih sulit ketimbang disemangati.

Pastilah, apalagi kasusnya dicerminkan pada diri sendiri. Selemah apapun kita, jika disemangati oleh diri sendiri maka semua masalah yang dihadapi hanyalah akan menjadi butiran debu. Kecil, ringan, terbang, lalu hilang. Pun sebaliknya, sekuat apapun kita menyemangati tapi jika dari dalam diri menolak, maka akan sia-sia belaka.

Duh, berasa krisis semangat.

Jumat, 14 Maret 2014

Nduk, Sounds Lovely


Apakah kamu masih ingat dengan panggilan kesayangan yang diberikan keluarga saat kamu masih anak- anak dulu? Panggilan yang mungkin dulunya menyebalkan, tapi sekarang malah dirindukan.

Dulu dengan tubuh bulat, mata belok dan kulit putih menggemaskan, aku seringkali dipanggil Gendut oleh setiap orang yang melihat. Sambil menyubit pipi dan ekspresi gemas setengah mati, mereka selalu berkata “Duh, si Gendut lucunya

Lalu seketika aku menangis. Entah kenapa, panggilan itu membuatku begitu sensitif. Bayangkan, begitu cengengnya aku dulu hanya karena dipanggil Gendut. Konyol sekali, kan? Tapi itulah nyatanya. 

Setelah adikku lahir, panggilan Mbak melekat hebat padaku. Dari orang tua, keluarga, serta tetangga. Kecuali Papa, beliau seringkali memanggilku dengan sebutan Nduk. Itulah kenapa aku selalu suka mendengar orang memanggilku dengan sebutan itu, merasa teduh.

Selain Nduk, panggilan lain dari Papa yang masih aku ingat adalah Wuk, dari tiwuk. Entah artinya apa, mungkin plesatan dari nama tiwi. Ya apapun alasannya, kedua panggilan itu memiliki arti tersendiri untukku.

Tapi sayang, panggilan sederhana itu perlahan hilang seiring bertumbuhnya usia. Sepeninggalan Papa, panggilan Nduk dan Wuk itu sudah sangat jarang aku dengar. Telingaku menjadi asing dengan panggilan itu. Sampai akhirnya aku pindah ke Jogja, aku menemukan keteduhan itu lagi. Panggilan favorit itu, perlahan mulai sering aku jumpai.

Keluarga di Jogja khususnya Om, adik dari Papa sering sekali memanggilku dengan sebutan Nduk. Serius, rasanya itu teduh, nyaman, dan bahagia sekali bisa mendengar panggilan itu lagi. Bayangkan, belasan tahun panggilan itu hilang, dan akhirnya sekarang kembali lagi. Panggilan Nduk yang njawani banget itu memang adem di telinga. Kesannya itu tulus dan kita disayaaaaang banget.

Ternyata, panggilan sederhana yang mungkin hanya sekedar sapaan biasa, untuk sebagian orang malah bermakna. Termasuk aku, walaupun panggilan Nduk sudah sering aku dengar sekarang, tapi tetap saja berhasil membuatku senyam- senyum sendiri saking bahagianya. Hihi.

Kamis, 13 Maret 2014

HAHAHA

“Pasangan yang seru diajak traveling adalah pasangan yang juga pasti seru untuk diajak menua bersama.” 
Entah itu kutipan dari mana sumbernya, yang pasti aku pernah membacanya di tumblr. Dan tanpa sadar langsung senyam- senyum sendiri. Iya, itu adalah salah satu cita- citaku pada pasanganku nantinya. Pasangan yang benar- benar pasangan seumur hidup. Bukan lagi pasangan ecek- ecek macam abege.

Sebagai anak yang agak sulit mendapatkan ijin untuk traveling kesana- kemari seperti naik gunung, diving, panjat tebing, bugging jumping, dan semua hal yang berbau tantangan, aku seringkali menahan diri untuk tidak iri pada teman- teman yang sudah lebih dulu merasakannya. Bolak- balik aku harus mengisi stok kesabaran untuk perjalanan yang sangat aku idam- idamkan itu. Dan percaya ataupun tidak, aku berangan- angan akan merealisasikan mimpi- mimpi itu bersama pasangan hidupku nantinya. 

Bersama dia, pasti Mama tidak akan keberatan kalau aku berkeliaran di alam bebas sesuka hati. Bersama dia, pasti tidak ada jam malam lagi. Bersama dia, pasti tidak akan ada lagi khawatir berlebihan seperti biasanya, karena Mama yakin aku sudah aman bersamanya. Bersama dia nantinya, aku akan membayar semua mimpi- mimpi yang tertunda selama ini.

Ah, pasti menyenangkan sekali bisa menemukan dia yang bisa menerima bahkan mewujudkan satu- persatu mimpi anehku itu. Dan dengan antusias dia pun berkata, "Yuk, lah!". HAHAHAHA


menunggu detik-detik jam makan siang, pantes

Rabu, 05 Maret 2014

Pandanglah Dengan Penuh Kekaguman!

Menurut de Mello, salah satu cara untuk mengatasi kebosanan dalam mengerjakan sesuatu adalah dengan mengubah sudut pandang kita, untuk hal-hal yang remeh- temeh dengan penuh kekaguman. Melihat dan mengerjakan sesuatu dengan penuh rasa kagum akan terasa menggairahkan.

"Wahai keajaiban yang mengagumkan. Aku memotong kayu! Aku menimba air dari sumur!" - Anthony de Mello 

Baiklah, mulai saat ini kala bosan melanda, aku akan mengingat "mantra ajaib" di atas. Gunakan perasaan kagum pada hal- hal yang membosankan, pandang mereka menjadi sesuatu yang sangat "wah" seperti ini adalah kali pertama. Yeeeeeeeeeey! *pasca mengintip naskah Obrolan di Kedai Plato*

Sabtu, 01 Maret 2014

"Teman" ngobrol terabsurd

Nowaday, kita cuek dikira sengak. Kita ramah dianya ngelunjak. Plis, men.

Jadi tadi siang aku ke bengkel sendirian buat servis motor. Pas aku dateng kebetulan sepi, jadi bisa request macem-macem deh sama mas mekaniknya. Servis rutin, ganti oli, cek aki, dll.

Udah hampir sejam aku nungguin dan belum selesai juga, eh dateng sepasang bapak ibu yang mau ganti oli.

T : buk.. (nyengir ke ibu-ibunya)
I : sendirian, neng?
T: iya buk

Terjadi basa-basi ringan nan basi antara aku dan si ibu sampai akhirnya kita bosan dan sibuk dengan gadget masing-masing.

Lalu beberapa saat kemudian, datanglah seorang mas-mas yang mau servis motor juga. Kayaknya sih udah kenal sama si mekaniknya, terus dia duduk disebelah kiriku.

X : motornya mbak? (sambil nunjuk motorku yang lagi dibongkar body-nya)
T : iya mas, servis juga? (berusaha ramah)
X : iya, aku langganan disini. Lah mbaknya mau kemana e?
T : nggak kemana-mana, mung servis tok. Lah kenapa?

Jadi masnya ini rada aneh, awalnya sih aku fine-fine aja, mungkin dia nyari temen ngobrol. Terus kok makin kesini nanyanya makin aneh.

X : pulang kuliah po mbak?
T : nggak mas
X : oalah kerja to?
T : iya, lah masnya?
X : sama kerja juga, asli jogja po mbak? Mananya?
T : bla bla bla (jelasin), masnya?
X : asli solo, kok gak kuliah aja mbak?
T: kan udah selesai mas
X : oalah, kok ke bengkelnya sendirian e gak nyuruh pacarnya aja?

Jeng jeng! Masuk ke pertanyaan yang ter-nggak banget. Pertama, emang salah kalau ke bengkel sendirian? Kedua, kok dia sotoy tanya-tanya soal pacar. Ketiga, memang kalau ada pacar harus pacarnya juga yang anterin ke bengkel? Keempat, masnya pancen sok tau dan sok kenal bianget.

T : lah kalau bisa sendiri ya sendiri aja mas, wong mung nunggoni servisan kok. Bukan nyervis dewe, kan?
X : hoo, udah punya suami to mbak?

Njis. Ini masnya belum pernah dilumeri oli setangki kali ya. Pertama, apa nggak ada pertanyaan lain yang lebih oke? Kedua, emang tampangnya aku udah cocok punya laki? Ketiga, soal pacar aja aku milih diem apalagi suami? Keempat, tingkat kesotoyan masnya ini meningkat ke status akut!

T : belum lah mas (nada emosi)
X : nggak pengen kerja di luar negeri aja po mbak?

Bingo! 3 pertanyaan absurd dalam waktu kurang dari 30 menit pertama. Apa dia ini penyalur tenaga kerja ke luar negeri? Apa dia ini penculik gadis-gadis unyu yang kemana-mana sendirian kayak anak hilang macam aku ini? Apa dia ini....

T : nggak lah mas
X : namanya siapa mbak? Minta nomer hapenya boleh?
T : he? Buat apa?
X : ya siapa tau besok ketemu lagi kan.

Deeem, speachless aku nemu orang beginian di tahun 2014.

T : buat apa sih? ya gak usah lah mas, kapan-kapan aja kalau emang ketemu lagi.
X : ya mbok sekarang aja mbak
T : nggak lah mas (titut, hape tiba-tiba bunyi karena bbm anak-anak gembel)

Alhamdulillah, aku jadi pura-pura sibuk mengotak-atik hape. Padahal yang dibahas di group cuma masalah "lotek colombo itu dimana?" Hahaha

Masnya juga keliatan ngotak-ngatik hape sih. Dan dalam hati aku berdoa semoga motorku cepet kelar.
15 menit aku sama si masnya cuma diem-dieman pasca gagal dimodusin minta nomer hape. Aku juga males lah, berasa freak banget nemu orang yang baru dikenal tapi udah macam tersangka diintrogasi penyidik.

Masnya mulai ngajak ngobrol lagi, kali ini soal motorku yang tampangnya udah codet dimana-mana karena keseringan jatuh. Dan aku menjawab singkat dengan ogah-ogahan. Ya menurut ngana? Kurang aneh apa pertanyaan-pertanyannya dia tadi kan? Dari kenapa gak kuliah aja? Pacar bahkan suaminya mana? Mau kerja keluar negeri apa nggak? Terus minta nomer hape? Jadi wajar dong kalau aku tiba-tiba nggak mood buat ngobrol?

10 menit setelahnya, motorku rampung dan aku langsung meninggalkan kursi panas itu menuju kasir.
Oke, sebelum pulang aku masih berusaha ramah dengan "teman" ngobrolku tadi.

T : duluan mas
X : iya, hati-hati dijalan ya mbaknya

Sembari berlalu di depannya aku mbatin, cukup sekali ini aja nemu yang beginian plis. Niat ramah malah jadi gila sendiri. Huuuuft lega.

Kebersamaan

Menyenangkan sih menemukan orang-orang yang saat dengan mereka, kita bisa menjadi diri sendiri. Tidak harus bersusah payah terlihat sempurna dan setengah mati menahan diri untuk tidak begini- begitu. Menjadi orang lain yang kita sendiri sulit untuk mengenali.

Tapi, senyaman apa pun kita, mereka bukanlah milik kita dan kita bukanlah milik mereka sepenuhnya. Jangan pernah sekali- kali mendekap terlalu erat, memaksa mereka untuk selalu ada, mengikat mereka agar tak lari kemana- mana, karena sejatinya tidak ada yang bisa dimiliki sepenuhnya di dunia ini.

Cukup nikmati saat- saat bersama mereka, ambil hal- hal positifnya, dan belajar banyaklah dari apa yang sudah sempat dilewati bersama.

Jika kita atau mereka harus pergi, lepaskan. Karena memang tidak ada yang abadi dan mutlak dimiliki, kan?