Rabu, 28 Mei 2014

Mencintai Proses

Hidup adalah proses pencarian. Mencari apapun itu, yang menurut setiap orang pasti berbeda- beda. Ada yang mencari jati diri, mencari Tuhan, mencari teman, mencari harta, mencari ilmu, mencari kebahagiaan, mencari segala hal yang ingin dicari.

Dalam proses mencari pasti tidaklah selalu mulus perjalanannya. Akan ada masa dimana jatuh menjadi membahagiakan, karena saat bangkit kita berada disisi orang- orang yang tak pernah absen memberikan semangat. Atau disaat pencapaian tertinggi malah kita bingung harus bahagia, bangga atau bagaimana.

Bisa juga kita bertemu pada masa ingin menyerah, merasa terlalu lelah. Atau, masa dimana kita sangat menikmati setiap rahmat yang datang, sekecil apapun itu, karena hati sedang sangat lapang dan dekat dengan Tuhan.

Iya, namanya proses. Kita tidak pernah tahu di depan sana akan ada apa. Kita tidak pernah tahu akan menjadi apa, akan bertemu siapa dan menjalani kehidupan yang bagaimana. Yang hanya perlu kita lakukan adalah melakukan yang terbaik.

Semakin sulit proses yang kita jalani, semakin terasa berharga apa yang kita dapatkan nanti. Dan selalu percaya bahwa dibalik proses akan ada pelajaran yang bisa diambil, bagi mereka yang ingin. Hanya mereka.

Kamis, 22 Mei 2014

Mereka Tahu Apa?

Tidak pernah ada penyesalan. Walau akhir yang kita terima bukan sesuatu yang bisa dikatakan indah. Sebagian orang memandang kasihan, lalu kita hanya bisa tertawa, tahu apa mereka?

Berulangkali kita mencoba terlihat tidak apa- apa, tapi mereka tetap menatap iba. Hih, menyebalkan ternyata. Menjadi pemeran yang nyatanya baik- baik saja tapi malah dikira menyedihkan. Lagi- lagi, kita bisa apa? Terlalu banyak mulut dan pandangan yang ikut menyimpulkan tanpa mau mengulik lebih dalam. 

Kita lagi- lagi hanya bisa tertawa melihat cibiran. Tanpa berniat mengkonfirmasi. Buat apa? Itu yang kamu bilang. Toh yang merasakan bahagia atau luka itu kita, bukan mereka. Toh yang selalu ada itu kita, bukan mereka. Lebih baik hidup pada apa yang kita rasa benar, menemukan kenyamanan pada apa yang kita anggap baik. Ketimbang bergerak kaku dan hati- hati hanya agar terlihat apik.

Bukan waktu yang sebentar untukku memahami hingga sedalam ini. Jadi, agak terasa sulit saat apa yang benar- benar aku pahami dipandang salah. Rasanya ingin berlari dan menghampiri, lalu menjelaskan sedetail- detailnya bahwa saat aku berkata baik- baik saja, itu adalah nyata.

Senin, 19 Mei 2014

Get Lost in Semarang!

Melakukan perjalanan ke tempat asing itu selalu menyenangkan. Tidak mengenal orang- orang, menikmati kebingungan, mencari jalan, tidur sesukanya, makan selapernya, pulang seselownya, istirahat secapeknya, melakukan perjalanan yang nggak ribet dengan diri sendirilah intinya.

Pergi ke Jombor di antar Adil jam 7 pagi. Mencari bus Nusantara jalur Jogja- Semarang. Beli tiket di pool dengan harga 40.000, fasilitasnya? Bus AC, tempat duduk nyaman dan luas untuk ukuran kaki panjang (hahaha) dan penumpang yang (kebetulan) nggak full.

Dapat kursi kosong di deretan kanan, milih yang sebelahan sama jendela. Entah kenapa selalu suka aja. Kursi sebelah kubiarkan terisi dengan tas ranselku yang lumayan berat. 4 jam perjalanan akan dimulai. Here we go!

ditemani yang beginian

Satu jam pertama aku habiskan dengan menikmati suguhan alam yang masih asri, jalanan yang masih sepi (karena masih pagi dan hari libur), menikmati pemandangan hijau dari persawahan dan aktifitas sosial orang- orang di pasar sampai daerah Magelang. Selanjutnya, aku lebih memilih mengistirahatkan diri. Tidur sampai hampir Semarang.

Tujuan utamaku ke Semarang adalah Masjid Agung Jawa Tengah, yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota. Tapi apadaya karena misskom antara aku, informasi, dan kernet bus, akhirnya aku diturunkan di terminal Terboyo, yang letaknya jauh dari pusat kota.

Setelah tiba di terminal Terboyo, aku diberi ancer- ancer untuk mencari bus kecil yang menuju Masjid Agung. Katanya si Bapak kernet, busnya itu jarang beroperasi kalau tanggal merah, alhasil nemu bus kota berukuran sedang ke arah Mangkang. Bingung? Jelas. Menurutku kondiri terminalnya agak suram. Aktifitas “keterminalan” hari itu agak sepi.

Setelah di dalam bus, aku sengaja memilih tempat duduk di dekat pak supir, sembari ngobrol- ngobrol dan nanya- nanya jalan di Semarang. Pak supirnya bilang aku harus naik angkotan kota warna kuning jurusan Citarum. Apalagi itu? Nah akhirnya aku diberhentikan di dekat jembatan (apa itu namanya nggak tau), deket parkiran becak. Tanya lagi ke bapak becak dan ibu- ibu yang lagi nunggu angkot juga, alhasil nemulah angkot kuning yang ternyata nggak sampai ke depan Masjid Agung.

Perjuangan belum berakhir, setelah turun dari angkot kuning yang salah tadi aku disarankan menunggu angkot diseberang jalan sana, tapi kata mereka angkotnya jarang lewat, mendingan jalan kaki karena jaraknya kurang lebih cuma 300 meteran.

Dan aku pilih opsi kedua, jalan kaki! Jam sudah menunjukkan pukul 11.30, aku juga sudah jalan dari setengah jarak yang (katanya) harus ditempuh. Lihat kanan kiri, banyak warung makan. Ada soto, bakso, dan berhentilah aku di warung rumah makan padang. Awalnya mampir hanya karena kecapekan jalan, ngaso bentar sambil nunggu angkot kuning yang dimaksud. Tapi ternyata perut juga butuh diisi, akhirnya sembari ngaso ya makanlah aku sepiring nasi padang plus es teh yang tumben seger banget siang itu.

Daerah Jalan Pemuda
Sambil makan juga sambil nanya sama si mbak penjual, apa tujuanku masih jauh? Ternyata tinggal 100 meter lagi. Wih, bentar lagi. Selesai makan, lanjut jalan lagi dan bener aja, tujuanku sudah di depan mata. And I'm proud to be me hahaha. Sampai saatnya pulang pun masih banyak cerita aneh. Dari yang dianterin temen naik motor nggak helm-an, nyasar nyari alamat sampai akhirnya nemu pool travel yang suram.

Masjid Agung dari sudut yang kurang oke versiku, karena cuma asal ngejepret
http://seputarsemarang.com/images/2011/05/masjid_diantara_pilar.jpg
nah ini yang oke. sumber
Jam 5 sorenya aku pulang dengan travel suram itu (bukan travel juga sih, masa nggak mau jemput, hih). Sebagai satu- satunya penumpang dari pool itu, aku sempat foto nggak jelas isi mobilnya. Dijalan kita nemu penumpang lain, sampai akhirnya ada 6 penumpang tujuan Jogja.

Kursi Travel yg masih plastikkan
Dan perjalanan singkat super nggak jelasku sendirian ke Semarang berakhir hari itu. Masih akan ada lagi lanjutan ceritaku tentang Semarang. See you!

Sabtu, 03 Mei 2014

"Tamparan" Pagi

Masih pagi disini, jam 9.30 tepatnya. Masih jam sibuk- sibuknya balesin inbox pemesanan dan prepare buat pengiriman hari ini. Seperti biasa, kadang diselingi buka blog- blog penyemangat pagi, salah satunya web Kek Jamil.

Berselancar ke bacaan rekomendasi dan menemukan tulisan ini, tiba- tiba rasanya sedih banget, yang terbayang cuma wajah Mama yang jauh disana. Selesai membaca, aku seperti ditampar. Apa yang aku baca itu seperti menggambarkan kegalauanku beberapa waktu belakangan. Tentang kapan lagi aku bisa membahagiakan Mama kalau aku terus- terusan jauh begini?

Ini tahun keempat aku jauh dari rumah. Dulu, aku selalu berandai- andai untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin supaya bisa pulang dan menghabiskan waktu bersama Mama disana. Menikmati tiap akhir pekan hanya untuk sekedar private time berdua, antara aku dan Mama. Tapi ternyata Allah punya rencana lain, kerjaan disini menunda kepulanganku. Dan tanpa sadar, aku melepaskan sendiri angan- angan itu.

Kalau masa kuliah, kerja dan nanti saat menikah aku di luar terus- terusan, kapan ada waktu buat Mama? Ini yang lagi sering berkeliaran hebat di kepala. Ya Allah tiba- tiba bisa semelow ini kalau udah bahas sosok Ibu ya? Ah, kangen berat.

Di salah satu komennya Kek Jamil bilang , “Kangen itu obatnya jumpa”. Jleb. Iya, insyaallah dalam waktu dekat ya Kek. Insyaallah waktu yang kami berdua korbankan ini bisa berbuah kebaikan kedepannya. Amin.

Untuk selengkapnya, ini aku copy- paste dari postingannya Kek Jamil yang bikin aku sedih banget pagi ini. Semoga kita semua bisa menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang tua, khususnya Ibu. Amin. 

Tadi malam saya berdiskusi dengan istri tentang bagaimana melahirkan trainer-trainer yang berkarakter. Salah satu yang harus dilakukan adalah support pasangan hidup dan keluarganya. Para trainer tak boleh hanya memikat di atas panggung tetapi mendapat penilaian yang rendah tentang perilaku dan karakternya dari orang terdekatnya.

Usai diskusi, pikiranku melayang ke wajah di balik ketegaran bapakku menghadapi berbagai ujian, hinaan dan kepahitan hidup. Wajah yang kini mulai renta itu adalah wajah ibuku. Wanita ini tak lulus dari Sekolah Rakyat atau setara SD. Tetapi bagi saya, ia adalah guru besar kehidupan yang sulit dicari tandingannya –Kerinduanku akhirnya kutuangkan dalam kulwit #RinduIbu di akun twiterku tadi malam.

Ibuku luar biasa, dia sangat berbeda denganku. Setiap jumpa dan kemudian berpisah dengannya ibuku selalu berkata, “Maaf, ibu tidak bisa memberi apa-apa kecuali doa.”

Ucapan itu terkadang menamparku. Ibuku yang sudah begitu banyak memberi pengorbanan, perhatian dan rasa cinta yang tiada tara masih berkata “maaf ibu tidak bisa memberi apa-apa”. Sementara aku, hanya cium tangan, memberi rupiah yang tak lebih dari 10 persen penghasilanku sudah merasa menjadi anak yang berbakti.

Ibuku tak merasa banyak berbuat kepadaku padahal kebaikan kepadaku amat sulit untuk dihitung. Sementara aku sudah merasa menjadi anak yang taat dan hebat hanya dengan sekelumit kebaikanku. Oh, betapa mulianya ibuku dan betapa naifnya diriku…

Bila aku sakit, ibuku rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dan menyeberangi lautan hanya seledar ingin menciumku. Sementara bila ibuku sakit, aku hanya mengangkat telepon untuk berkata, “Maaf, aku tak bisa menemani ibu.”

Oh, betapa bedanya aku dengan ibuku. Ia segera meninggalkan semua kesibukannya hanya untuk jumpa dengan anaknya. Sementara aku selalu beralasan sibuk untuk bisa menemaninya saat ia berbaring lemah karena sakitnya.

Saat aku sekolah dan kuliah, ibuku rela datang meminjam hutang walau mungkin mendapat cacian dari yang punya uang. Tetapi kini aku tega-teganya berkata, “Maaf ibu, belum bisa banyak membantu, aku masih harus mengembangkan bisnis dan keluargaku.” Saat seperti itu ibuku hanya berkata, “Ibu bahagia bila melihat kamu dan keluargamu bahagia. Ibu tak minta apa-apa darimu kecuali doa usai sholatmu.” Oh ibu, aku semakin malu…

Sebelum tidur aku menangis, betapa baktiku kepada ibuku belum seberapa. Dalam pelukan istriku, kukirimkan doa untuk ibuku, “Ya Allah jaga ibuku. Muliakan ibuku. Beri ia tempat terhormat di dunia dan berikan ia mahkota terindah di surga-Mu kelak.” Ah, betapa hinanya aku, karena hanya bisa menangis dan mengirimkan doa di usiaku yang semakin tua…

Itu bedaku dengan ibuku. Apa bedamu dengan ibumu?

(source : Bedanya Ibu dan Aku)

Betewe, selamat pagi Mam. Sehat terus ya disana. ^^