Kamis, 24 Agustus 2017

Jangan Dibutakan Dunia ya, Nak.


Semakin kita mengejar dunia, semakin terasa berat langkah kita menuju surga. Karena pada hakikatnya, dunia memang hanyalah tipu daya.

Jika dilihat lebih dalam, dunia adalah racun yang terbungkus manis. Nikmat sesaat, akherat melarat.

Cinta pada dunia, kadang membuat semua indra tertutup tidak peka. Mata tidak bisa melihat selain keindahan semu, lidah tak jemu mengucap keburukan, telinga hanya mendengar yang tidak semestinya, hidung terus mencium wangi-wangi duniawi, peraba selalu bersentuhan dengan kemudhorotan. 

Cinta pada dunia hanyalah cinta yang membunuh perlahan. Cinta yang membuat kita terlena, hanyut, hingga kadang hilang arah.

Tapi dunia memang selalu menjanjikan hawa bahagia, yang bisa membuat makhluk lupa, bahwa disini hanyalah...sementara. 


Dunia ini kejam, Nak. Berhati- hatilah. Jangan tergoda dengan yang serba indah. Jagalah selalu hatimu, hanya dengan mengingat-Nya. Karena musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Jangan biarkan dia mengendalikanmu pada kebatilan. Jangan biarkan hatimu terisi iri dengki. Damaikan hati dan ingatlah selalu akherat, maka kamu akan selamat.


-orangtuamu di masa depan, yang semakin takut melihat dunia

Rabu, 16 Agustus 2017

Kembalinya Pena Merah

Setelah tidur panjang yang cukup lama, akhirnya komunitas menulis bersama mbak- mbak kantor dulu bisa hidup kembali. Pena Merah, adalah semangat awalku tentang menulis. Karena apa? Karena dengan adanya Pena Merah, aku yang dulunya antipati dengan menulis, buku, membaca dan teman- temannya itu, akhirnya terbakar untuk mulai menyalakan semangat menulis sebagai terapi diri.

Semenjak bergabung di Pena Merah, blogku sedikit berisi dengan coret-coretan yang agak berbobot. Kadang kita membahas resensi buku, film, jenis- jenis tulisan, dan sebagainya (walaupun kadang masih banyak curhatnya).

Sebenarnya aku masih dalam fase mencari- cari passionku dalam hidup. Kata orang, passion itu adalah kegiatan yang terus menerus kita lakukan dengan bahagia. Dan menulis, adalah salah satu kegiatan yang sempat kukira sebuah passion. Menulis memang terkadang menjadi obat dikala hati membutuhkan wadah kosong untuk menumpahkan kerandoman diri. Tapi terkadang, ide-ide tulisan hanya sebatas imajinasi liar yang sulit untuk dituangkan, yang belum bisa menjadi nafas, belum menjadi kebutuhan yang selalu dicari.

Dengan hidupnya kembali Pena Merah, besar harapanku kegiatan menulis ini bisa menjadi begitu membahagiakan dalam segala kondisi, dalam segala suasana hati. Pena Merah, mari kita bekerjasama, demi hidup yang lebih produktif lagi.

Rabu, 09 Agustus 2017

Ada Banyak Guru di Sekitar Kita

Di hari kepulanganku mudik dari Palembang kemarin, 2 hari berturut- turut Allah seperti mengetuk pintu hati yang lagi keras-kerasnya. Benar ternyata, dari perjalanan kita bisa menemukan sesuatu yang tidak kita temukan saat kita berdiam diri di rumah.

Sesampai di bandara Jogja, aku sengaja tidak mau dijemput orang rumah dan lebih memilih taksi online. Mengingat beberapa waktu lalu, Jogja sempat ramai- ramai diberitakan adanya perlakuan kurang baik yang dilakukan oknum taksi bandara kepada pengemudi taksi online, aku jadi penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah pesan, benar saja. Bapak pengemudi taksi online tadi tidak berani masuk ke kawasan bandara dengan alasan di atas. Akhirnya, aku sepakat pesan di jalan besar dengan konsekuensi berjalan kaki terlebih dahulu.

Setelah ketemu si bapak, aku langsung disapa dengan senyum sumringah tapi khawatir- khawatir cemas. Ternyata si bapak sembari mengawasi sekitar, dan langsung tancap gas. Sebut saja si bapak ini Pak X. Usianya masih di kisaran 30 akhir atau 40an awal. 

Sepanjang perjalanan, Pak X bercerita perihal kegamangannya dengan sistem online yang ada. Di satu sisi, Pak X tidak mau mengambil resiko seperti rekannya terdahulu yang sempat dianggap 'menikung' oknum bandara, tapi disisi lain Pak X juga harus menjaga kinerjanya.

"Kalau saya tolak penumpang, kinerja saya jelek. Saya nggak tolak, nanti saya kena. Bingung to Mbak?"

Kudengarkan keluhan Pak X dengan seksama, diselingi "oooh" dan "yaampun, ya tho Pak?" yang entah sudah berapa kali.

Salah satu curhatan Pak X yang mengena di aku adalah saat beliau bercerita seringkali mendapat orderan fiktif atau sering kali dianggap remeh oleh konsumen. Sehari saja, Pak X bisa sampai 7 kali mendapat orderan fiktif. Saat menerima orderan dan menghubungi konsumen, tahu-tahu nomernya tidak bisa dihubungi padahal status pesanan masih menggantung. Kalau si bapak cancel, kinerja beliau jelek. Kalau dilanjutkan, kok ya kayak diphp-in. Ya begitulah mungkin perasaan Pak X, antara sedih, gemas dan nerimo. 

"Kita kan yang butuh mereka ya Mbak kesannya?"

"Ndak lah Pak, kan saya juga butuh bapak."

"Padahal belum lagi nanti kalau sudah dijemput nih Mbak, nungguinnya bisa ada yg sampai sejam loh. Ditinggal nanti salah, ditunggu kok ya kebangetan. Kadang gak pada paham yo Mbak, nek kita di jalan itu udah macet-macetan, nyusu-nyusu takut kelamaan, ninggali anak istri, kadang lupa makan. Eh sampe lokasi ternyata masih santai-santai, diprenguti lagi. Ya, raja tetaplah raja tho Mbak? Tapi insyaAllah saya ndak papa, kan niatan saya bikin pelanggan seneng, saya kebagian dapet pahala juga tho."

Aaaak rasanya pengen pukpuk si bapak huhu.

Banyak cerita Pak X yang membuatku geleng-geleng kepala, si bapak antara curhat, ngeluarin unek-unek atau sekedar mencairkan suasana. 

Pernah juga saat musim lebaran, konsumen Pak X kali ini anak-anak remaja yang jumlahnya 9 orang. Bayangkan bagaimana mereka segambreng impil-impilan di dalam mobil beliau kan?

"Itu saja saya hampir di cancel loh mbak, gara-gara kelamaan katanya. Padahal mbak tahu sendiri tho nek lebaran, jogja ini macetnya kayak apa. Akhirnya pas sampe lokasi, ya saya terima omelan lah tapi alhamdulillah tetep pada naik."

"Bapak stok sabarnya banyak ya."

"Alhamdulillah Mbak, tapi kan yang nyenengin juga banyak loh Mbak. Tergantung bejo nya kita hari itu ketemu penumpang yang gimana. Lucu lah mbak pokoknya."

Aku menghela nafas panjang, kadang hal remeh temeh bagi kita adalah hal besar bagi sebagian orang di luar sana ya memang. 

Sesampai di rumah setelah hampir 40 menitan kita ngalor ngidul, Pak X tidak langsung tancap gas. Beliau menutup pertemuan yang sweet ini dengan ucapan terima kasih yang jleb.

"Maaf ya Mbak saya sudah curhat panjang lebar dan bersemangat. Terima kasih Mbak sudah mau dengerin, kadang saya bingung mau ceritanya ke siapa. Ambil yang baiknya, yang jeleknya dibuang aja ya Mbak. Jangan lupa bintangnya!"

"Haha siap Pak. Hati-hati di jalan dan terima kasih untuk pelajarannya ya Pak!"

Tidak berhenti disitu. Esok harinya, sehabis perjalanan super kilat pasca rewang-rewang di seberang pulau, aku datang ke tempat pijat refleksi langganan. Kali ini aku dibantu Mbak Y, sebut saja begitu. Mbak Y ini terapis yang berhijab, baru kali ini sih aku kebagian si mbaknya. 

Seperti biasa, 90 menit ke depan aku lebih memilih cerita ngalor ngidul sama si Mbak ketimbang tidur. Dan benar saja, lagi-lagi Allah kasih pelajaran lewat Mbak Y ini. Beliau ini aslinya dari jawa barat, merantau ke jogja karena mau move on pasca dikhianati mantan suaminya. 

Dari Mbak Y, aku belajar soal ketangguhan seorang wanita yang rela mati-matian menjaga harkat martabat keluarga dan tentang menjaga dirinya sendiri. 

"Pekerjaan saya ini kan kadang dipandang sebelah mata tho mbak sama orang. Kalau judulnya tukang pijet, pasti bayangannya udah yang  nggak-nggak tho mbak? Padahal, mereka ndak tahu seberapa besar upaya saya menjaga diri. Alhamdulillahnya di tempat kerja saya ini kan blaaasss ndak boleh pegang konsumen yang lawan jenis. Tapi namanya orang jahil ki pasti ada aja mbak, yang bikin pesanan palsu ke rumah lah, ngakunya yang dipijet si ibu, ternyata yang siap-siap si bapak. Astagfirulloh mbak, nek nggak kuat iman piye kuwi jal. Ya saya nekat kabur mbak, biarin lah dilaporin atau gimana, toh memang peraturan kantor memang nggak boleh dan saya juga ogah mbak. kalau mau sih, udah dari dulu-dulu mbak kita rusak. banyak soalnya yang salah jalan juga."

"Ya Allah, Mbak."

"Dan yang pasti saya masih takut sama Allah mbak, saya masih takut akherat, saya nggak mikir sesempit itu."

That's the poin! Salut! Aku gemas sembari ngelus dada denger cerita Mbak Y. Alhamdulillah Allah masih sayang sama Mbak Y dan beliau masih dikasih kekuatan iman. Mbak Y beruntung! 

Ternyata ya, banyak cara Allah memberikan pelajaran untuk kita. Tidak harus dibangku sekolah, tidak harus dengan guru berseragam. Nyatanya kemarin, dari beliau- beliau ini lah aku belajar banyak tentang kesabaran, ketulusan, tanggung jawab, ketaqwaan, ilmu akherat dan rasa syukur.

Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dalam rel-Nya. Supaya tidak tersesat, jauh, lebih dalam, hingga lupa jalan pulang. 

Aamiinn. 

Senin, 07 Agustus 2017

Sudah Baikkah Kita Sebagai Anak?

Setiap kita adalah seorang anak. Kita terlahir dari seorang ibu terhebat dan keluarga terbaik yang sudah Allah titipkan. Tapi pernah tidak kita berpikir, apakah kita sudah baik menjadi seorang anak?

Selama ini, kelihatannya orang tualah yang terkesan selalu dituntut. Anak harus baik, anak harus mendapat pendidikan yang layak, kebutuhan anak juga harus terpenuhi, belum lagi keinginan anak yang kadang diluar nalar juga harus dipikirkan dan diupayakan.

Tapi, pernahkah kita balik bertanya pada diri sendiri. Apakah kita sudah layak untuk diperjuangkan? Apakah kita sudah memberikan kontribusi baik pada orang tua kita? Apakah setimpal yang kita perbuat ke mereka, dengan apa yang kita terima selama ini?

Suatu malam, aku pernah terbersit sesuatu. Sesuatu yang sangat menyakitkan, sehingga membuat aku merasa begitu tidak berguna. Di malam ulang tahun Papa, aku berdoa pada Allah, untuk memohon ampunan pada-Nya atas segala dosa-dosa Papa selama di dunia, untuk dapat diterima segala amal ibadahnya selama hidup, untuk dapat diterangkan dan dilapangkan kuburnya.

Dan sekian detik kemudian, aku menangis sejadi- jadinya bukan karena merindukan sosok Papa. Tapi, perihal apakah aku sudah menjadi anak yang dulu diharapkan orang tuaku, Papa khususnya? Apakah aku malah akan menjadi pemberat orang tuaku saat mereka dihisab nanti? Apakah selama mereka hidup, aku sudah membahagiakan mereka? Apakah perkataan dan perbuatanku sudah menyakiti mereka? Apakah dosa-dosa yang aku perbuat selama ini, akan benar- benar ditanggung mereka di akhirat? Apakah aku sudah benar-benar ikhlas mendoakan mereka disetiap sujudku? Apakah nantinya, pertanggung jawaban mereka atas aku yang mereka didik di dunia ini akan membawa mereka ke surga atau sebaliknya?

Pertanyaan- pertanyaan tadi berkeliaran hebat dikepala. Ternyata, bukan hanya menjadi orang tua sajalah yang berat. Menjadi anak pun, sebenarnya ada kewajiban- kewajiban yang kadang kita anggap remeh. Menjadi seorang anak pun, ada beban yang kita emban, dan itu besar pengaruhnya pada hidup seseorang di akhirat sana.

Nyatanya, doa seorang anak pada orang tuanya lah yang menjadi amalan yang tak putus. Jika kita sebagai anak saja seringkali lupa, bahkan terkadang terlalu menganggap remeh peran kita ini, bagaimana kabar orang tua kita?

Benar jika dikatakan, anak adalah investasi orang tuanya di masa depan. Secara harafiah, mungkin kita menangkapnya adalah anak haruslah disekolahkan setinggi- tingginya supaya mendapat pekerjaan yang lebih layak dari orang tuanya, dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, yang nantinya akan mengangkat derajat orang tuanya.

Namun, jika ditilik lebih dalam, investasi masa depan yang dimaksud mungkin adalah masa dimana mereka sudah tidak ada lagi di dunia, maka akan ada amalan yang tak penah putus dari anak-anaknya. Mereka bisa benar- benar merasakan ketenangan dan kebahagiaan di sana, karena doa yang tulus untuk mereka. Doa- doa tadi bagaikan asupan makanan yang membuat mereka "kenyang" dan terlepas dari "dahaga".

Lalu, baik yang seperti apa yang benar- benar diharapkan kepada kita? Harapan semua orang tua (pun kita yang nantinya akan menjadi orang tua) hanyalah, memiliki anak yang benar- benar bisa menjadi investasi masa depan bagi mereka, yang tidak akan pernah melupakan mereka, walau nantinya raga sudah tidak lagi ada.

ALLOHUMMAGHFIRLII WALIWAALIDAYYA WAR HAMHUMAA KAMA RABBAYAANII SHAGIIRAA




*lagi-lagi self reminder untuk diri, yang kadang seringkali menganggap remeh perihal mendoakan*



Jumat, 14 Juli 2017

tentang bersyukur

setelah kemarin menulis tentang kesempurnaan, aku sadar bahwa sejatinya kebahagiaan yang hakiki dan "kesempurnaan" yang dilihat dari berbagai sudut pandang itu tadi, tergantung dari kadar syukurnya seseorang.

orang yang banyak bersyukur, akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dirasakan oleh mereka yang jauh dari rasa syukur. orang yang "sempurna" melihat hidupnya, adalah mereka yang bisa melihat sudut pandang lain dari segala nikmat dan cobaan yang diberikan. orang yang mampu menebarkan energi positif untuk lingkungannya, adalah mereka yang mampu menciptakan energi positif itu tadi pada dirinya terlebih dahulu.

kunci dari hidup memang rasa syukur. sesimpel kita sadar bahwa tanpa diminta pun kita sudah mendapatkan hal-hal luar biasa dalam hidup. nikmat sehat, nikmat bersama keluarga, sahabat, dan orang-orang terkasih, nikmat tidur, nikmat beribadah, nikmat bekerja, bahkan nikmat cobaan sekalipun.

saat rasa syukur kita hadirkan dalam setiap derap langkah yang diambil, kekuatan dan kebahagiaan akan selalu terasa mengelilingi kita.

tapi namanya manusia ya, terkadang tanpa sadar seringkali egois. berharapnya 10 tapi berdoanya 1. mimpinya 100 tapi usahanya 10. belum lagi diembel-embeli ngedumelnya yang 1000 kali lipat.

terima kasih untuk nikmat yang tak pernah putus dan maafkan kami yang seringkali khilaf Ya Allah, jangan biarkan kami kehilangan rasa malu, saat memaksa lebih tapi tidak mau dituntut "lebih".

#selfpunch


Senin, 10 Juli 2017

tentang kesempurnaan

nobody's perfect, katanya begitu.

setiap orang sepertinya mudah mengatakannya. tapi realitanya, banyak dari kita yang tanpa sadar hobi men-judge sesuatu dengan embel-embel bahwa sesuatu yang baik, adalah sesuatu yang terlihat sempurna.

fisik harus cantik atau tampan, pekerjaan harus mapan, kendaraan pribadi siap ditumpang, rumah siap huni sebagai papan, anak-anak berhasil terpandang, terkadang menjadi standar tentang kesempurnaan.

sebenarnya kita ini siapa? atau apa? bisa men-judge kesempurnaan dalam bilangan, menilai sesuatu dengan menentukan standar. padahal kita sendiri adalah ciptaan, yang fitrahnya adalah dinilai.

belakangan, aku sedang banyak menemukan standarisasi manusia terhadap manusia itu sendiri. sehingga kesan kesempurnaan hidup adalah mereka yang mampu mencapainya, jika dibawah itu atau tidak sama dengan itu, berarti bersiaplah untuk dicap tidak sempurna.

dan yang menerima "ketidaksempurnaan" itu tadi pun tanpa sadar ikut dalam arus penilaian, menjadikan "patokan" tadi sebagai dasar kebahagiaan. mereka berlomba-lomba menjadi "sempurna", hanya untuk dianggap "ada".

sedih. sedih sekali rasanya, saat kesempurnaan yang seharusnya tidak diagung-agungkan, bahkan harusnya ditiadakan itu, menjadi standar kebahagiaan. kenapa manusia menjadi begitu kejam? menghakimi "ketidaksempurnaan", menjadikan hal itu sesuatu yang menyedihkan.

haloooo, mari kita bangun. bahwa sejatinya kesempurnaan itu bukanlah milik kita. apa yang telah diciptakan pasti ada maksud dan tujuannya. sebagai lakon hidup, strata kita itu sama.

jangan, jangan sampai kita hanya berfokus pada penilaian sesama manusia. jangan, jangan jadikan penilaian manusia sebagai dasar kebahagiaan. jangan, jangan menjadikan dirimu sendiri menyedihkan.

bangun, dan lihatlah sekeliling kita. sadari hal kecil yang ada, rasakan setiap centi bahkan mili nikmat yang sudah diberikan. bahwa sejatinya, nikmat Tuhan itu lebiiiiih dari yang kita fikirkan. lebiiiiih dari yang kita harapkan. lebiiiiih jauuuuuh dari yang kita bayangkan.

karena, jika sebenarnya kita ini adalah proses (sebagai manusia di bumi) dan hasil akhirnya adalah akhirat, maka satu-satunya penentu dan penilai mutlak hanyalah Dia, Sang Maha Pencipta.

 

Senin, 22 Mei 2017

tentang penjagaan diri

ia yang pandai menjaga diri ketika sendiri seharusnya menjadi lebih pandai ketika ia telah menikah. ia yang pandai menjaga perasaan orang lain, menyembunyikan perasaannya dan menumbuhkan empati kepada sesama. menjaga kehormatan diri dan saudara seiman. pernikahan yang selalu di nantikan, amat boleh dirayakan. hanya saja coba ingat kembali sewaktu dulu kita menanti. betapa risihnya melihat orang lain merayakannnya berlebihan (utamanya di media sosial). ingat bahwa barangkali ada saudara seiman yang tengah mempersiapkan kapalnya saat kita sudah berlayar. ia belum siap, tapi menjadi ingin segera masuk ke lautan padahal kapalnya belum selesai. bagi yang sudah dan baru menikah, simpanlah kebahagiaan itu sebagaimana kita dulu mampu menyimpan keresahan dan kegelisahan kita sewaktu sendiri. karena jangan sampai kita menjadi sebab rusaknya perjagaan diri saudara-saudara seiman kita yang lain. biarkanlah mereka mempersiapkan diri dengan tenang, membangun sebaik mungkin bahteranya sebelum masuk ke samudara kehidupan yang entah-bagaimana-menjelaskannya :)

MAS GUN! reblogged yaaa. entah ini disebut jawaban dari keresahan hati atau gimana. Pagi ini, momen menemukan tulisan mas gun yg ini bisa ngepas banget, sedetik kemudian setelah aku berpikir pengen menulis sesuatu tentang hal serupa, eh nemu aja tulisan ini. bisa gitu banget yaaa? daaaan, bapernya terus lanjut hahaha gak papa, baper bukan aib kok. toh baper kali ini disponsori oleh baja hati yg semakin menebal, tapi sekitarnya lagi panas. nyaris leleh deeeeh.

sudahlah, mari teguhkan hati. kuatkan diri. jaga iman. pasang tameng. sabaaaaar

source. MASGUN

Senin, 17 April 2017

Refleksi Diri

Manusia memang tempatnya keliru. Kita diciptakan dengan perasaan yang gampang berubah-ubah layaknya cuaca. Begitu pula dengan iman, kadang bak rollercoster yang hobinya naik turun dengan mendadak.

Kata orang, menjadi baik itu mudah. Lalu kenapa tidak banyak orang baik di dunia ini? Karena ternyata yang sulit itu adalah mempertahankan diri supaya tidak goyah, konsistensinya yang payah.

Kita sebagai manusia sudah fitrahnya menjadi penuntut, tanpa pernah sadar untuk bercermin terlebih dahulu. Inginnya sempurna, padahal kita sendiri tidak punya apa-apa. Terlalu berekspektasi tinggi, tanpa mencoba memperbaiki diri.

Ya, manusia memang terlahir egois. Padahal nyatanya kita hanyalah makhluk kecil bak remahan kismis. Harta, tahta, nafsu dunia lah yang membuat kita kadang lupa, bahwa posisi kita saat ini hanyalah seujung kuku dari seluruh perjalanan yang ada. Seandainya, seluruh manusia, setiap detiknya sadar akan hal ini, maka kedamaian akan terasa diobral, dan bukan jadi barang mahal.

Kita seringkali berlomba-lomba terlihat sempurna di mata dunia, tanpa sadar bahwa kita sedang mengumpulkan catatan buruk di akhirat sana. Perasaan bahagia ini, hanyalah sementara, sekedipan mata.

Dunia, sampai kapan kamu sanggup menghadapi kami yang serakah ini?
 

Selasa, 04 April 2017

Wadah Kosong

Jika spasi adalah cara terbaik dari penjagaan diri, maka biarkan kita memilih berlari.

Jika jatuh hati menciptakan lubang-lubang dosa pada diri, biarkanlah kita menjadi petarung yg selalu memasang tameng dengan setengah mati.

Karena hati adalah wadah kosong yg hanya mampu menampung satu jenis cinta. Jangan sampai hati ini terpenuhi selain cinta pada-Nya atau cinta karena-Nya.

Selamat menjaga hati, pejuang sejati!





*untuk semua hati yg belum menemukan pengawal pribadi