Bunga- bunga lainnya selalu
menghiasi meja kerjaku selama satu minggu ini. Pesan- pesan singkat pun tak
lupa ketinggalan.
Hari kedua,
Hari kedua,
Kamu masih seperti dulu, tetap indah. -A-
Hari ketiga,
Aku ingin menjadi bunga ini, dapat memandangimu sepanjang hari. -A-
Hari keempat,
Jangan tanya kenapa, karena mengagumi indahmu tidak pernah butuh alasan.
-A-
Hari kelima,
Aku tak suka melihat air matamu itu, hapuslah atau akan kudoakan kerutan
wajahmu dipercepat saja oleh Tuhan. -A-
Hari keenam,
Please jangan jadi orang bodoh, cukup aku yang bodoh sudah berlari
sejauh ini. -A-
Hari ketujuh,
Kalimat yang tak sempat aku ucapkan, telah kuutarakan dari dulu,
melalui mataku. -A-
Otomatis otakku berputar dan
mencari tahu darimana bunga-bunga ini berasal. Security kantor sudah kutanyai dan kumintai alamat toko bunga ini.
Dan siang ini sewaktu jam makan siang aku mampir ke sebuah toko bunga bernama “Florista”.
“Selamat siang, selamat datang di
Florista, ada yang bisa dibantu?” sapa dari dalam ramah.
“Saya mau mencari bunga seperti
ini mbak” sembari menyodorkan bunga yang kubawa dari meja kerja.
“Mbak, boleh tahu gak siapa
pengirim bunga ini dari satu minggu yang lalu, ke alamat kantor saya ini?”
tambahku.
“Ooh iya mbak, ada seorang laki-
laki yang selalu memesan bunga ini setiap pagi dengan alamat ini mbak”
“Boleh saya tahu ciri- ciri
orangnya mbak?”
“Tubuhnya tinggi mbak, putih,
suaranya sedikit berat, dan tampan sih keliatannya, tapi kurang begitu jelas
karena dia selalu menggunakan kacamata hitam dan topi merah mbak”
“Tidak salah lagi! Itu Andre!”
=0=
Esok paginya, pagi sekali. Aku
sudah standbye di depan toko bunga
yang selalu didatangi Andre itu. Aku akan segera mendatanginya dan akan aku
bantai habis- habisan laki- laki menyebalkan itu. Bisa- bisanya dia mempermainkan
ini semua dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku selama ini. Awas saja!
Lima
belas menit aku menunggu dengan emosi yang sudah hampir meluap. Aku melihat
sosok lelaki berkacamata hitam dan bertopi merah itu mendatangi Florista. Itu
dia!
=0=
Beberapa menit kemudian dia
keluar dari toko itu, kutepuk pundaknya.
“Hey!”
“Keyla”
“Kamu, siapa?” tanyaku bingung
melihat sosok yang hampir aku hajar ini. Dia bukan Andre!
“Key, maaf. Aku..” dia menjawab
terbata.
“Kamu siapa dan kenapa kamu tahu
namaku, dan kenapa juga kamu selalu mengirimkan bunga- bunga menyebalkan itu ke
kantorku? Mana Andre? Mana?” aku memaki lelaki yang tak kukenal ini.
“Aku..”
“Aku disuruh
Andre, Key. Biar aku jelaskan”
=0=
Setalah pertemuan aku dengan
lelaki bertopi merah itu, Iqbal, yang tak lain adalah adik kandung Andre, aku
masih yakin dengan perasaan Andre, dia masih menjadi Andre yang aku kenal. Dan
kurasa sudah cukup penjelasan yang diberikan Iqbal kemaren.
“Mas Andre yang nyuruh aku mengawasi kamu terus, Key. Walau dari jauh.
Walau kamu gak tahu. Mas Andre gak mau kamu kenapa- kenapa. Dia khawatir banget
sama kamu, Key. Dia gak sejahat yang kamu fikir. Dia punya alasan yang aku
sendiri gak tau apa. Apapun maksud dari semua ini, semuanya cuma bentuk sayang
dia ke kamu, yang mungkin gak bakal pernah kamu ngerti, Key”
Lamunanku
mengingat kata- kata Iqbal tadi pagi membuat aku mendapat teguran dari atasan
yang menagih laporan keuangan bulan ini. Damn!
=0=
Entah apa
yang bersemayam disini, ya organ hatiku. Logika tak lagi jalan tiap nama Andre mengisi
pikiran dan hati. Rasa marah yang tadinya ingin aku keluarkan, hilang sudah dengan
pernyataan dari Iqbal. Entah. Aku begitu saja percaya. Aarrgh yang aku tahu Andre
baik- baik saja saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Nanti
sore adalah untuk kedua kalinya aku bertemu dengan Iqbal, ya aku sudah membuat
janji dengannya untuk menanyakan perihal Andre. Aku hanya ingin tahu apa yang Andre
lakukan beberapa tahun belakangan dan bagaimana ia sekarang.
=0=
Jika lautan itu kamu, tiap kali riakmu besar dan mengerikan, aku tahu
itu semua pasti akan berarkhir keindahan. Melihatnya pun menenangkan,
menyejukkan, dan begitu dirindukan. Ya, begitulah kamu Ndre. Lelaki bermata
hangat yang senantiasa bermain komedi putar di saraf otakku.
3 tahun
belakangan Andre berada di luar negeri, melanjutkan studinya dan berhenti dari
kampus kami yang lalu. Saat ini, dia sedang menjalankan bisnis ayahnya, seorang
pemilik restoran mewah di Ibukota. Lelakiku yang dulu, saat ini terdengar
begitu mapan dan dewasa, ya aku sangat merindukannya.
=0=
Bising ibukota
kurasakan pagi ini. Lalu lalang kendaraan dan macetnya jalanan tak kuhiraukan,
karena yang menjadi target utamaku pagi ini adalah restoran Andre.
=0=
Matanya
masih sama, hanya saja keriput diwajahnya dan putih rambutnya mulai terlihat
jelas. Sosok lelaki paruh baya itu tak asing bagiku. Busananya rapi dan
tampaknya ia sedang sangat sibuk dengan gadget
nya. Dengan langkahnya yang cepat ia melangkah keluar dari dalam resto. Dia
papa. Orang yang sudah berapa belas tahun terakhir tak pernah pulang kerumah,
menemui aku dan mama. Lelaki yang dulunya aku segani. Lelaki yang dulunya
selalu kutunggu kepulangannya. Lelaki yang pernah menjadi panutan. Lelaki yang
dulu pernah dengan bangganya aku panggil, papa.
=0=
“Andre!” teriakku melepaskan
pandangan dari sosok tua tadi dan memanggil lelaki bertubuh tinggi itu. Gayanya
terlihat santai dari bos- bos kebanyakan. Kemeja ngepas body dengan lengan panjang yang digulung sesiku, dengan Denim dan sepatu pantofel semiformalnya.
Tampak begitu mengagumkan, seperti biasa.
Waktu terasa terhenti ketika mata itu bertemu lagi. Masih sama, masih
hangat. Tapi tunggu sebentar, aku salah melihat. Mata itu ada yang mengganjal,
terlihat banyak kekhawatiran. Kamu tak kuat untuk melihatku lebih dalam, tak seperti
biasanya. Alihanmu itu membuatku sadar, ada sesuatu yang kamu sembunyikan.
Bersambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar