Minggu, 17 Februari 2013

Pembelokkan Hati (Part 3)


Bunga- bunga lainnya selalu menghiasi meja kerjaku selama satu minggu ini. Pesan- pesan singkat pun tak lupa ketinggalan.
Hari kedua,
Kamu masih seperti dulu, tetap indah. -A-
Hari ketiga,
Aku ingin menjadi bunga ini, dapat memandangimu sepanjang hari. -A-
Hari keempat,
Jangan tanya kenapa, karena mengagumi indahmu tidak pernah butuh alasan. -A-
Hari kelima,
Aku tak suka melihat air matamu itu, hapuslah atau akan kudoakan kerutan wajahmu dipercepat saja oleh Tuhan. -A-
Hari keenam,
Please jangan jadi orang bodoh, cukup aku yang bodoh sudah berlari sejauh ini.  -A-
Hari ketujuh,
Kalimat yang tak sempat aku ucapkan, telah kuutarakan dari dulu, melalui mataku. -A-
Otomatis otakku berputar dan mencari tahu darimana bunga-bunga ini berasal. Security kantor sudah kutanyai dan kumintai alamat toko bunga ini. Dan siang ini sewaktu jam makan siang aku mampir ke sebuah toko bunga bernama “Florista”.
“Selamat siang, selamat datang di Florista, ada yang bisa dibantu?” sapa dari dalam ramah.
“Saya mau mencari bunga seperti ini mbak” sembari menyodorkan bunga yang kubawa dari meja kerja.
“Mbak, boleh tahu gak siapa pengirim bunga ini dari satu minggu yang lalu, ke alamat kantor saya ini?” tambahku.
“Ooh iya mbak, ada seorang laki- laki yang selalu memesan bunga ini setiap pagi dengan alamat ini mbak”
“Boleh saya tahu ciri- ciri orangnya mbak?”
“Tubuhnya tinggi mbak, putih, suaranya sedikit berat, dan tampan sih keliatannya, tapi kurang begitu jelas karena dia selalu menggunakan kacamata hitam dan topi merah mbak”
Tidak salah lagi! Itu Andre!”
=0=

Esok paginya, pagi sekali. Aku sudah standbye di depan toko bunga yang selalu didatangi Andre itu. Aku akan segera mendatanginya dan akan aku bantai habis- habisan laki- laki menyebalkan itu. Bisa- bisanya dia mempermainkan ini semua dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku selama ini. Awas saja!
Lima belas menit aku menunggu dengan emosi yang sudah hampir meluap. Aku melihat sosok lelaki berkacamata hitam dan bertopi merah itu mendatangi Florista. Itu dia!
=0=

Beberapa menit kemudian dia keluar dari toko itu, kutepuk pundaknya.
“Hey!”
“Keyla”
“Kamu, siapa?” tanyaku bingung melihat sosok yang hampir aku hajar ini. Dia bukan Andre!
“Key, maaf. Aku..” dia menjawab terbata.
“Kamu siapa dan kenapa kamu tahu namaku, dan kenapa juga kamu selalu mengirimkan bunga- bunga menyebalkan itu ke kantorku? Mana Andre? Mana?” aku memaki lelaki yang tak kukenal ini.
“Aku..”
“Aku disuruh Andre, Key. Biar aku jelaskan”
=0=

Setalah pertemuan aku dengan lelaki bertopi merah itu, Iqbal, yang tak lain adalah adik kandung Andre, aku masih yakin dengan perasaan Andre, dia masih menjadi Andre yang aku kenal. Dan kurasa sudah cukup penjelasan yang diberikan Iqbal kemaren.
Mas Andre yang nyuruh aku mengawasi kamu terus, Key. Walau dari jauh. Walau kamu gak tahu. Mas Andre gak mau kamu kenapa- kenapa. Dia khawatir banget sama kamu, Key. Dia gak sejahat yang kamu fikir. Dia punya alasan yang aku sendiri gak tau apa. Apapun maksud dari semua ini, semuanya cuma bentuk sayang dia ke kamu, yang mungkin gak bakal pernah kamu ngerti, Key”
Lamunanku mengingat kata- kata Iqbal tadi pagi membuat aku mendapat teguran dari atasan yang menagih laporan keuangan bulan ini. Damn!
=0=

Entah apa yang bersemayam disini, ya organ hatiku. Logika tak lagi jalan tiap nama Andre mengisi pikiran dan hati. Rasa marah yang tadinya ingin aku keluarkan, hilang sudah dengan pernyataan dari Iqbal. Entah. Aku begitu saja percaya. Aarrgh yang aku tahu Andre baik- baik saja saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Nanti sore adalah untuk kedua kalinya aku bertemu dengan Iqbal, ya aku sudah membuat janji dengannya untuk menanyakan perihal Andre. Aku hanya ingin tahu apa yang Andre lakukan beberapa tahun belakangan dan bagaimana ia sekarang.
=0=

Jika lautan itu kamu, tiap kali riakmu besar dan mengerikan, aku tahu itu semua pasti akan berarkhir keindahan. Melihatnya pun menenangkan, menyejukkan, dan begitu dirindukan. Ya, begitulah kamu Ndre. Lelaki bermata hangat yang senantiasa bermain komedi putar di saraf otakku.
3 tahun belakangan Andre berada di luar negeri, melanjutkan studinya dan berhenti dari kampus kami yang lalu. Saat ini, dia sedang menjalankan bisnis ayahnya, seorang pemilik restoran mewah di Ibukota. Lelakiku yang dulu, saat ini terdengar begitu mapan dan dewasa, ya aku sangat merindukannya.
=0=

Bising ibukota kurasakan pagi ini. Lalu lalang kendaraan dan macetnya jalanan tak kuhiraukan, karena yang menjadi target utamaku pagi ini adalah restoran Andre.
=0=

Matanya masih sama, hanya saja keriput diwajahnya dan putih rambutnya mulai terlihat jelas. Sosok lelaki paruh baya itu tak asing bagiku. Busananya rapi dan tampaknya ia sedang sangat sibuk dengan gadget nya. Dengan langkahnya yang cepat ia melangkah keluar dari dalam resto. Dia papa. Orang yang sudah berapa belas tahun terakhir tak pernah pulang kerumah, menemui aku dan mama. Lelaki yang dulunya aku segani. Lelaki yang dulunya selalu kutunggu kepulangannya. Lelaki yang pernah menjadi panutan. Lelaki yang dulu pernah dengan bangganya aku panggil, papa.
=0=

“Andre!” teriakku melepaskan pandangan dari sosok tua tadi dan memanggil lelaki bertubuh tinggi itu. Gayanya terlihat santai dari bos- bos kebanyakan. Kemeja ngepas body dengan lengan panjang yang digulung sesiku, dengan Denim dan sepatu pantofel semiformalnya. Tampak begitu mengagumkan, seperti biasa.
Waktu terasa terhenti ketika mata itu bertemu lagi. Masih sama, masih hangat. Tapi tunggu sebentar, aku salah melihat. Mata itu ada yang mengganjal, terlihat banyak kekhawatiran. Kamu tak kuat untuk melihatku lebih dalam, tak seperti biasanya. Alihanmu itu membuatku sadar, ada sesuatu yang kamu sembunyikan.

Bersambung...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar