Jumat, 17 Januari 2014

Cerpen: Mengakhiri Diam Dalam Diam

Aku mengenal diam sejak dulu, dulu sekali. Sebelum aku mengenal kamu, bahkan sebelum aku mengenal huruf-huruf acak ditiap buku.

Ibu mengajarkanku banyak hal dalam diam. Ibu mengajarkanku bahwa diam adalah bahasa terindah dibandingkan apapun.

Dengan diam, aku tahu ibu menyayangiku. Dengan diam, aku tahu bahwa ibu tidak suka dengan yang aku lakukan. Dengan diam, aku pun tahu kebanggan itu hinggap pada Ibu ditiap tahun sekolahku. Karena diam adalah satu- satunya bahasa yang Ibu bisa.

Tapi diamku kali ini bukan seperti yang Ibu lakukan padaku. Aku diam karena aku sudah terlalu lelah berdebat, terlalu malas melakukan pembenaran.

Aku menangis di pangkuan ibu semalam, dia mengusap kepalaku lembut.

“Ternyata saat kita bicara dan sama sekali tidak dihiraukan itu sangat menyakitkan ya, Bu?” tanpa sadar aku sudah membasahi daster batik kesayangannya. Lengannya memegang erat pundakku, menegakkan kepalaku lalu menatap dan menguatkanku. Kuperhatikan gerak tangannya, bahasa isyarat yang sejak dulu menjadi perantara obrolan kami.

Ibu bilang bahwa aku sudah dewasa sekarang. Ibu bilang, aku tidak boleh menjadi lemah hanya karena perasaan. Ibu bilang, jadilah kuat seperti dirinya. Diacuhkan adalah hal yang menyakitkan, memang. Namun dengan diacuhkan, setidaknya kita paham arti dari menghargai. Setidaknya kita pun tidak berlaku hal yang sama kepada orang lain.

Ibu bilang, datanglah pada orang- orang yang mau di datangi, temanilah orang- orang yang mau ditemani, berdirilah disamping mereka yang membutuhkanmu, bukan pada mereka yang tidak bisa menghargai kehadiranmu. Karena hidup kita terlalu berharga untuk dihabiskan bersama mereka yang tidak benar- benar menginginkan kita.

Aku diam, ya lagi-lagi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Mataku tidak lagi basah, ibu yang menghapuskannya. Memang aku tidak banyak bercerita tentang kamu, apalagi kita. Tapi ibu tahu kalau anak gadisnya sedang jatuh saat bermain dengan perasaan dan itu begitu dalam.

"Aku lelah bermain dalam diam" kata-kata ini hanya tersangkut di kerongkongan. Tak bisa kuucap, saat kamu datang lagi setelah berbulan- bulan ini hilang entah kemana. Tanpa penjelasan, tanpa mengakhiri apa pun.

Bukannya aku tidak peduli. Bukannya aku tidak mencari. Sudah cukup usahaku selama ini dan hanya berbuah kebisuan. Kamu yang masih dalam diam, menyeka air mataku yang seenaknya jatuh tanpa permisi.

"Maaf" satu kata itu saja yang keluar. Lalu lenganmu menjauhiku, lagi.

Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang menjauh, tidak bisa lagi menangis. Penantian selama ini hanya berakhir dengan kata maaf, tidak lebih.

Aku ingin menjadi seperti Ibu, tidak perlu bicara namun mampu memberi pemahaman luar biasa. Entah selama ini kamu mengerti atau tidak bahwa diamku berarti kemarahan, diamku yang berarti penantian, diamku yang berarti pengharapan. Entah kamu menginginkan apa, tapi malam itu kita tetap dalam diam. Perpisahan dalam diam, mungkin lebih baik kusebut begitu. Akhir yang tak pernah kusuka, menggantungkan tanya.

Ibu selalu benar, aku hanya boleh menemani orang yang mau ditemani. Maka saat kamu diam dan memilih menjauh, aku tahu harus bagaimana.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar