Kamis, 23 Januari 2014

Cerpen: Dinginnya Pelangiku

Dari balik rak- rak buku itu aku melihat mata teduh yang selama ini aku rindukan. Di balik tumpukkan buku itu, aku menemukan kamu. Kamu yang dulu pernah datang, mampir sebentar, lalu pergi tanpa berucap salam.

“Inferno?”

“Yep, Dan Brown terbaru. Hm, tinggal satu. Sorry.” aku memasang muka bersalah, lalu nyengir kuda.

“Oh, nggak papa. Aku udah pegang satu juga kok. Tapi komik, bukan bacaan berat itu” dia menenteng komik Kungfu Komang di tangan kanannya.

“Lalu?” aku heran dengan lelaki berkacamata di depanku ini yang tiba- tiba datang menghampiri.

“Aku suka memperhatikan kamu 3 hari ini, kenapa baru dibeli sekarang? Bukannya sudah dipegang- pegang sejak hari pertama kesini?” ucapan itu keluar saja, tanpa rasa canggung.

“Eng..itu..anu..hm…baru punya duitlah, Mas” sambarku cepat.

Gila. Bisa- bisanya orang yang tidak aku kenal ini membuatku kagok seperti orang yang ketahuan mencuri. Hih.

“Kuliah? Dimana?” kali ini dia bertanya dengan nada yang agak sedikit bersahabat. Catat, AGAK SEDIKIT.

“Masih SMA, ng..calon mahasiswa lebih tepatnya” aku mulai jutek.

Lelaki berkacamata itu perawakannya tinggi besar, putih dan mukanya aneh. Seperti karakter komik, absurd, ya bisa dibilang sedikit lucu.

“Aku Divo, kamu… Jingga kan?” dia seperti Mbah dukun yang bisa menebak kalau pasiennya sakit ambeyen saat datang menghadap.

“Jangan heran, aku membaca dari seragam sekolahmu kemarin hahaha” dia tertawa puas.

Sial. Berarti dia sudah tahu kalau aku ini bukan mahasiswa seperti yang dia tanyakan di awal. Orang sinting. Batinku.

“Yaudah, aku mau bayar dulu, sebelum toko ini tutup hanya karena aku kehabiskan waktu untuk berbasa- basi nggak jelas sama orang asing. Dah.” aku nyelonong pergi, meninggalkan rak- rak buku itu menuju kasir. Oh sial, jantungku….

***

“Jingga!” suara itu terdengar jelas dari arah belakang. Saat aku menoleh, tiba- tiba “JEDEEEEEEER” si pemilik suara itu menabrak troli belanjaan seorang ibu, konyol.

“Kenapa harus seheboh itu sih? Nggak malu apa?” mataku melotot saat dia mendekat.

“Iya habisnya kamu udah 2 kali aku panggil nggak noleh- noleh, Jing”

“Please, jangan potong namaku kayak begitu!” dia orang ke-seribu lima ratus delapan belas yang membuatku protes dengan panggilan “Jing”. Dih. Macam apa aja, kan?

“Oke, oke. J I N G G A A A A A” mulutnya terbuka lebar. Menyebalkan!

“Aku suka kalau kamu lagi manyun-manyun sok imut gitu deh, Jingga” kali ini dia berhasil membuat pipiku merona.

“Udah deh, kamu itu mau apa sebenarnya?” jawabku ketus.

“Mau jadi pacar kamu” sesantai berjemur di pantai dia menjawab pertanyaanku barusan. ORANG GILAAAAAK.

“Hahahahaha kamu ini sakit ya, Div?”

“Please, jangan potong namaku kayak begitu” kata-kata ini persis seperti yang tadi keluar dari mulutku.

“Nanti orang- orang mikirnya kamu lagi ngobrol sama cewek cantik bernama Diva, jatuhlah pasaranku ini. Ups!” tanpa disuruh dia sudah langsung menutup mulutnya rapat- rapat.

***

Di toko buku yang sama, di waktu yang lama sekali sejak hari dimana kamu hilang bak telan bumi, aku melihat kamu lagi. Melihat kamu yang sudah berbeda. Tidak dengan kacamata berframe hitam tebal, tidak dengan kemeja kotak- kotak yang dipakai untuk melapisi kaos hitam, tidak dengan sepatu sneakers buluk itu, tidak dengan rambut kriwil yang tidak terurus, tidak dengan komik kungfu-kungfuan yang entah apa judulnya, tidak dengan kesendirian itu lagi.

“Pah, buku Princess terbarunya kok belum ada ya? Habis ya, Pah?” gadis kecil itu menarik- narik tangan kanannya, menggemaskan sekali.

“Iya sayang, bentar ya Papa tanya Mbaknya dulu” suaranya samar- samar terdengar.

Aku sudah menatap mereka sejak 10 menit yang lalu, atau lebih lama dari itu? Sampai- sampai aku bisa mengikuti alur ceritanya, bahkan aku tahu nama gadis kecil itu. Pelangi.

***

“Kenapa kamu nggak pernah bertanya arti namaku? Biasanya orang- orang selalu bertanya kenapa namaku seperti warna pelangi? Atau begini, memang artinya apa?” aku menirukan cara bertanya orang- orang kebanyakan.

“ Aku sudah tahu. Aku bisa tahu dari hanya melihatmu saja” jawabnya santai.

“Jingga, melambangkan kekuatan, aktif, dan agresif. Selain itu kamu juga punya kemauan dan semangat yang besar. Kamu penuh dengan kegembiraan, keberanian dan kekuatan seperti warna merah, tapi juga melambangkan keagungan dan kehidupan, seperti warna kuning”. Dia menjelaskan panjang lebar, selebar taman bermain di area komplek ini.

Lagi- lagi aku menyebutnya Mbah dukun. Setelah pertemuan memalukan di Supermarket 2 minggu lalu, kami jadi berteman. Kami? Lebih tepatnya dia yang memaksaku untuk mau berteman dengannya. Setiap sore  jam 4 tet, dia mampir ke rumahku dengan menggunakan sepeda. Menjemputku yang ogah- ogahan berkeliling komplek untuk jogging. Iya, dia berkeliling naik sepeda sedangkan aku di wajibkan berlari- lari kecil, agar sehat katanya.

Berat badanku yang (sedikit) berlebih ini memang turun 3 kilogram! Hahaha ada gunanya aku berteman dengan lelaki aneh itu. Ternyata, selain hobi flirting dan menggodaku dengan rayuan kacangannya, ternyata dia sangat kakable sekali. Bisa mengayomi aku yang notabene anak satu- satunya di keluarga.

“Terakhir olahraga kapan?”

“Lupa” jawabku bangga.

“Cepet mati, mau?”

Gilaaaaaak. Siapa yang nggak manut kalau di takut- takuti begitu. Itulah sejarah kedekatan kami yang hanya…..sesaat.

***

Mereka menuju kasir, dia masih tidak sadar dengan kehadiranku yang sedari tadi mengamati dari seberang sini. Aku pun tidak berani menyapanya, jangan- jangan dia sudah lupa. Semua itu sudah lama sekali, aku yang kala itu duduk di bangku kelas 2 SMA, dan dia adalah mahasiswa semester akhir.
Bagiku, kedekatan kami kala itu memang sangat berkesan, masih sering terbayang- bayang kekonyolan dan perlakuannya hingga saat ini. Tapi untuk lelaki yang hobi flirting seperti dia? Hah, ini seperti cerita tentang abege yang dibodohi seniornya.

“Apa kabar?” suara itu mengagetkanku, menyadarkanku dari lamunan masa lalu.

“Kamu Jingga, kan? Aku Bintang, masih ingat kan?” sapa perempuan cantik itu.

Bintang, gadis dewasa yang cantik, pintar, dan selalu membuatku malas setiap kali dia hadir diantara aku dan Divo kala itu.

“Eh Mbak Bintang, baik kok. Sendirian?” kupasang wajah termanis yang kubisa.

“Nggak, bertiga kok sama…Div!” tiba- tiba dia melambaikan tangan ke arah lelaki yang sejak tadi aku buntuti, lelaki yang saat ini belum siap aku temui.

***

Ternyata aku salah, dia tidak pernah berubah. Masih dengan kacamatanya, walaupun bukan dengan frame tebal. Masih dengan hobi flirtingnya. Masih dengan mata teduhnya. Masih dengan senyum khasnya. Walaupun status di KTP nya sudah menjadi DUDA.

Iya, dia memang sudah menikah dengan wanita pilihannya sendiri. Kata Mbak Bintang, gadis itu adalah teman sekantornya. Wanita dewasa, cantik, terpandang, dan sempurna. Tapi Divo kehilangan istri terkasihnya itu 2 tahun lalu, saat Pelangi, anak mereka baru saja berusia 2 tahun.

Mbak Bintang? Iya, mereka memang sudah bersahabat sejak kuliah hingga saat ini. Dan Mbak Bintang pun sudah memiliki keluarga sendiri. Lalu aku? Aku...apa aku belum bercerita? Aku juga sudah berpisah dengan mantan suamiku setahun yang lalu. Alasan klasik bagi mereka yang sudah berumah tangga di tahun ke-5 namun belum juga dikaruniai anak. Iya, untuk masalah itu, Tuhan belum mempercayakannya padaku.

***

Cinta lama akhirnya kesampaian juga, mungkin bisa disebut begitu. Divo dan Pelangi akhirnya pergi menemui ayah untuk memintaku hidup bersama mereka. Dan aku? Tidak ada alasan untuk menolaknya.

Jika bukan karena campur tangan Tuhan, mana mungkin aku bisa menikmati kebahagian seperti ini di usiaku yang hampir berkepala 3. Bersama Divo dan Pelangi, aku memulai lembaran baru. Saling mewarnai dan mengisi kekosongan selama ini.

***

“Selamat ulang tahun, cantik” aku mengecup pipi putri kesayangan kami.

“Cieee anak Papa udah mulai pakai seragam putih biru” Divo menggelitik Pelangi yang malu-malu.

“Hehehe iya makasih ya Pah. Makasih juga...Tante untuk surprisenya” gadis mungil itu memelukku. Dingin, seperti biasanya.

Tuhan, sampai kapan?

1 komentar :