Kamis, 19 September 2013

Diujung Temu


Suatu hari nanti, temukanlah aku diantara lukisan- lukisan seperti yang ada di pameran ini, maka permintaan maafmu akan aku kabulkan.
“Akhirnya aku menemukan kamu, Abi. Rasanya bahagia bisa melihatmu lagi, walau hanya dari goresan di lukisan ini. Masih sama. Sama- sama berhasil menghentikan sepersejuta detik degup jantungku” ucap Bara lirih seraya memandangi hasil lelangnya tadi sore.

Sebenarnya bukan tidak ada waktu untuk menghadiri salah satu acara penting itu. Abi memang paling tidak suka menunggu apalagi harus melobi orang- orang untuk membeli karyanya. Maka ia lebih memlilih dirumah, duduk di balkon ditemani secangkir kopi hangat dan bacaan ringan. Tapi kabar dari Pak Brata sore tadi membuatnya tertarik untuk beranjak dari spot favoritnya itu.

Banyak pertanyaan berkeliaran di benaknya. Siapa yang membeli salah satu karya favoritnya itu? Apa dia benar- benar menyukainya? Apa dia bisa merasakan jiwanya? Atau orang itu hanyalah orang kaya iseng yang sengaja menghabiskan uangnya hanya untuk membeli sesuatu yang tidaklah begitu berarti bagi mereka?

Abi pun tiba di tempat temu yang sudah dijanjikan. Ternyata orang yang ditunggu- tunggu tak kunjung datang. Ia pun sibuk menekan digit angka di telepon genggamnya dan berbincang hangat dengan orang di seberang telepon sana. Tanpa sadar ada sesosok pria yang sudah menunggu untuk menyela obrolan itu.

“Apakah permintaan maafku masih berlaku?” 

 Abi diam.

 “Abita Nouvendra, aku sedang bertanya padamu. Kamu tidak lupa dengan ikrarmu di pameran 7 tahun lalu, kan?” Bara kembali melemparkan pertanyaan.

“Lagi-lagi kamu membuatku menunggu. Kali ini hanya 5 menit, maka maafmu aku terima” senyum tipis mengembang di wajah Abi, dia ingin marah tapi kerinduannya lebih mendominasi.

Tanpa sadar keduanya tenggelam dalam nostalgia yang menyimpan begitu banyak cerita. Kepergian Bara yang terbilang mendadak 7 tahun silam dan hubungan mereka yang tak kunjung memiliki kejelasan, menciptakan keletihan yang amat besar bagi Abi. 

“Boleh aku bertanya lagi, bi?”

Telepon genggam Abi tiba- tiba berdering sebelum ia sempat mengiyakan pertanyaan Bara.

“Aku harus pulang, Bar. Ken sudah menjemput di depan, aku tidak mau membiarkan suamiku menunggu terlalu lama. Karena aku tahu bagaimana rasanya.”

“Suami? Sejak kapan?” nada bicara Bara meninggi.

“3 tahun lalu, sejak aku sadar bahwa setiap ada bayang- bayangmu pasti selalu ada ketidakpastian. Sejak lelah yang hanya bisa aku rasakan. Dan sejak aku mengerti, bahwa menunggu pun ada batasan. Thanks for coming. Sebenarnya aku tahu kamu pasti akan datang. Sudah 5 tahun berturut- turut aku ikut dalam pameran sejenis, tapi kenapa baru sekarang? Kamu sudah benar- benar terlambat, Bar. Keep this painting, I'm happy to see you again.” Abi tersenyum datar dan berlalu meninggalkan meja disudut CafĂ© itu.

Bara terdiam. Lalu perlahan meneguk kopi yang dibiarkannya dingin sejak tadi. Pahit.

***

4 komentar :