Selasa, 24 September 2013

Cerpen : Ibu yang Tak Pernah Membicarakan Ayah

Ibu menyaksikanku tumbuh sejak berada dalam rahimnya. Mual pertama kali hingga susah tidur dimalam hari. Aku tumbuh seperti tunas-tunas pohon pisang. Cepat sekali membesar.

Ini adalah beban yang dijalani dengan riang gembira. Semua orang menantikanku. Aku tidak pernah merasakan dinanti sedemikian berharga kecuali di hari itu. Kelahiran. Tangisanku yang disambut dengan gelak tawa dan air mata bahagia. Tanda bahwa aku hidup dan ada kehidupan setelahnya. Itulah awal hidupnya harapan Ibu.

Ibu menyaksikanku tumbuh membesar. Mulai mengenali kata dan tanda. Aku belajar segala hal mengenai dunia ini selama bertahun-tahun hanya dari seorang guru, Ibu. Setiap kali jemari kecilku menunjuk sesuatu, ibu akan menjelaskannya. Setiap kali pula aku menangis karena sesuatu, ibu selalu mencandaiku bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Ibu menyaksikanku tumbuh berkembang. Aku berlari-lari dalam hujan yang panjang. Ibu tidak mengkhawatirkan aku sakit atau apapun. Aku berhak menikmati masa kecil yang indah katanya. Katanya sambil matanya seperti ingin menangis. Tapi aku tidak mengerti mengapa, aku melepas tangannya dan berlari keluar rumah.

Pada hujan yang tak kunjung berhenti dan aku mulai kelelahan. Ibu telah menyiapkanku sebak penuh air hangat dan memandikanku sambil bertanya-tanya "tadi ngapain aja?". Dan kami tertawa sementara aku telanjang diatas bak kecil dan aku duduk didalamnya. Membiarkannya memandikanku.

Ibu menyaksikanku tumbuh cerdas. Aku mulai mengenal dunia dalam kata-kata dan lembar kertas. Setiap kali tak mengerti aku selalu bertanya. Pada usiaku yang baru masuk sekolah. Aku memegang buku mewarnai dan bacaan tingkat dasar.

Ini Budi
Ini Ibu Budi
Ini Ayah Budi

Ayah itu apa, aku bertanya pada ibu pada esok harinya. Mengapa ada sosok laki-laki dewasa dalam ilustrasi buku tersebut. Siapakah dia. Ayah itu siapa. Lalu aku melihat ibu seperti ingin menangis. Aku tidak bertanya lagi sampai hari itu. Hingga pada hari pertama masuk sekolah.

Teman-temanku memperkenalkan orang tua mereka. Menyebutkan kata ayah. Lalu aku tanya kepada bu guru. Ayah itu apa? Mereka semua tertawa. Sepanjang ibu memperkenalkan dunia kepadaku. Ia tidak pernah menyebut kata ayah. Mengapa harus ada sosok laki-laki dewasa di dalam rumah. Aku pulang kepada Ibu dan menangis. Aku menceritakan ejekan teman-temanku pada hari pertama.

Ibu menenangkanku. Sambil mengatakan,”Ayah adalah malaikat yang memberikan kita kehidupan dan perlindungan”, katanya sambil memelukku. Aku tidak bisa melihat air mukanya. Pada tangannya ada selembar foto yang kemudian aku temukan sudah sobek esok harinya. Aku tak pernah bertanya lagi sejak hari itu.

Aku tidak ingin membuat ibu sedih.

Bandung, 19 September 2013

MASGUN



Tiba-tiba mbrebes mili baca ini :')

1 komentar :

  1. Yah... ini nggak galau sih, cumaaa... kok tetep bikin pengen mewek. So touching. :")

    BalasHapus