Jumat, 21 Februari 2014

Anonymous #4 (End)

Kita adalah kumpulan dari keputusan yang kita buat. Disaat kita berani mengambil sebuah keputusan, disaat itulah kita berharap bahwa kita tidak pernah salah dan itu yang terbaik. Disaat tekad sudah bulat, tapi hati masih sulit memberi keyakinan, disaat itulah ego harus dihilangkan. Disaat harapan tidak sesuai dengan kenyataan, disaat itulah harusnya kita belajar tentang arti mengikhlaskan.

Radit benar- benar pulang, seperti yang sudah aku tebak beberapa waktu lalu. Tapi dia memilih pulang pada dirinya sendiri, pada keputusan hati. 

Manusia memiliki pilihan dalam hidupnya, disaat mereka sudah memilih apa dan kemana harus melangkah, kita hanya perlu belajar memahami dan mendoakan pilihan mereka. 

Sejak menghilangnya Radit beberapa bulan lalu, aku berpikir bahwa dia memang butuh waktu. Waktu untuk menyelesaikan semua masalahnya. Waktu untuk menenangkan dirinya. 

Awalnya aku tidak berpikir bahwa jeda yang kami ciptakan adalah titik awal dari sebuah keputusan. Hanya masalah waktu, pikirku. Tapi nyatanya aku tidak sebegitu hebat bermain dengan waktu. Lelah lebih cepat hinggap dibanding rasa takut kehilangan atas apa yang sudah ada dalam genggaman. Lelah dengan waktu yang belum tahu kapan ujungnya. Lelah dengan rasa peduli yang pelan- pelan pudar karena terbiasa tanpa usikan. Iya, menjadi lelah itu lebih menakutkan dibandingkan dengan takut kehilangan itu sendiri.

Dengan kehilangan, kita jadi tahu mungkin jalan Tuhan memang bukan disitu. Dengan kehilangan, kita jadi tahu bahwa ternyata sempat dimiliki itu membahagiakan. Ternyata kehilangan yang walaupun menyakitkan, lebih gampang diterima nalar ya? Dengan kehilangan, paling tidak ada jawaban dari segala pertanyaan.

Sedangkan saat kita hanya terus- terusan menjadi lelah? Rasanya itu seperti pecundang yang berhenti di tengah jalan. Dengan ujung yang belum pernah kita tahu, tapi sudah kita eksekusi sendiri. Rasanya lebih menyakitkan daripada akhir yang pahit. Jadi, lebih baik kehilangan daripada lelah dengan ketidaktahuan, kan?

Aku masih mencerna kata-katanya semalam. Rangkaian kata yang keluar terdengar sederhana, tapi sulit diterima, awalnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba hati seperti terlepas dari ikatan yang menyesakkan. Luapan itu sampai membuatku tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang sudah kurangkai sedemikian rupa sebelumnya.

Masih dengan suara tertahan diujung telepon, aku berusaha melapangkan hati selapang- lapangnya. Mengikhlaskan semua hal yang tadinya dipertahankan. Menghilangkan kecewa yang memuncak. Menjauhkan pikiran dari semua yang berbau kesedihan. 

Keputusan ini tampak lebih indah dari sekedar bisu yang selama ini ada. Di ujung telepon sana, aku tahu bahwa Radit juga sudah bersusah payah mengumpulkan keberaniannya untuk ini.

Kita bukan lagi bocah yang dengan gampangnya marah saat tidak diijinkan bermain. Kita bukan lagi bocah yang hobi merengek hanya untuk memaksakan kehendak, kan? Maka, jangan pernah menyalahkan pilihan, apalagi takut untuk memilih. Karena hidup, memang selalu menawarkan pilihan :)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar