Selasa, 03 Desember 2013

Anonymous #3

Belakangan ini Radit banyak diam, tidak seperti biasanya. Cahaya di mata itu agak redup, ada beban entah seberat apa, namun tak pernah ia ungkap dan akupun hanya bisa menerka.

Memasuki bulan ke-4 dan aku merasa bahwa ‘ruh’ kami baru ditiupkan. Mungkin karena itu, hubungan ini baru terasa ‘hidup’. Aku menjadi gampang khawatir dan parno sendiri saat Radit makin hobi hilang timbul tak karuan. Kadang dia begitu nyata, kadang samar, bahkan hilang pelan-pelan, lalu muncul lagi. Aneh , kan? Aku sebal.

Iya, terkadang aku merasa sudah mengenalnya dengan baik, sejak lama. Namun terkadang, aku dan dia bagai orang asing yang tak saling paham. Apalagi saat dia meminta satu hal kemarin.

“Aku butuh waktu”.

“Baik, pergilah dan kembali segera” kujawab seadanya, tanpa berpikir panjang, walau buntutnya penuh tanda tanya.

Kuberi ruang kecil diantara kami, sedikit jeda, bukan jarak. Kubiarkan dia menata diri, kubiarkan dia menyendiri. Dan tanpa sadar, aku sudah membiarkan diriku sendiri bermain dengan spekulasi tak jelas.

***

“Tia, apa kabar?” Brian menyapaku yang sedang duduk di sudut kafe dengan tatapan kosong ke lembaran novel yang kugenggam.

“Ng…baik, apa kamu sudah lama disini?”

“Yap, sekitar seperempat jam lalu kumemperhatikan lamunanmu itu” jawabnya.

Aku diam. Tak berani menatap.

“Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, Ti. Ada apa?” Tebakannya tepat, dan aku mati kutu.

Brian yang sudah setahun ini hilang dari otakku, tiba-tiba muncul begitu saja disaat jeda antara aku dan Radit makin melebar. Aku takut.

Tunggu dulu, apa aku sudah menceritakan siapa itu Brian? Oh, dia hanya masa lalu yang cukup lama mengenalku. Hm, sangat lama lebih tepatnya. Dan beruntungnya, aku sedang malas berbasa- basi, maka kehadirannya tidak terlalu berkesan hari itu.
 
***

Sudah hampir seminggu dan Radit belum menampakkan tanda- tanda memintaku menghapus jeda, entah aku pun tak mau menanyakannya. Aku hanya takut akan menambah panjang masalahnya saja. Aku benci menunggu tapi entah kenapa aku mau melakukannya kali ini.

Beberapa kali aku hampir kalah, khawatirku terlalu berlebih dan menunggu kabar darinya hampir membuatku gila. Kuhubungi dia, nihil. Kuhubungi temannya, sama nihilnya. Lalu? Aku kembali ke opsi awal, menunggu.

Sejujurnya aku paling tidak suka disetir oleh keparnoan seperti ini. Sepanjang hari aku sengaja mencari kesibukkan, entah dengan urusan kantor, urusan rumah, atau mencari-cari kegiatan yang bisa aku kerjakan di waktu senggang. Iya, supaya otakku tidak berpikir macam-macam soal Radit. Kamarku sudah tak layak huni, buku-buku bertebaran, laptop menyala semalaman, musik tak mau kalah meramaikan seisi kamar. Iya ramai, tapi aku kosong. 

Lagi-lagi aku dihujam beribu pertanyaan yang tak kutahu bisa kusampaikan pada siapa. Berkali- kali aku mengutuk waktu, kenapa saat itu aku mengiyakannya untuk membuat jeda? Buktinya aku kalah pada diriku sendiri.

Mungkin aku terdengar egois, menyimpulkan sendiri arti dari jeda ini. Harusnya aku sabar, menunggu penjelasannya dan sebisa mungkin memahami. Tapi lagi-lagi aku payah, egoku berontak dan membawaku pada arah yang makin tak jelas.

“Aku lelah” pesan itu kukirim pada Radit, di saat jeda kami masuk kehitungan minggu.

Tidak sampai 2 menit, handphone-ku menerima balasan kilat darinya. Tumben, batinku.

“Bersabarlah Tia, aku menyayangimu”. Singkat, padat, dan tidak jelas! Ingin rasanya aku mengigit lengan lelaki itu dan menghajarnya dengan serentet pertanyaan. Bisa-bisanya dia membalas pesanku secepat ini, padahal baru 5 menit lalu telfonku diabaikan!

Kutarik napas, kubuang panjang. Kujernihkan pikiranku, dan kuambil kesimpulan. Iya, dia hanya butuh waktu. Waktu untuk membereskan urusannya sendiri, waktu untuk mandiri tanpa aku. Kubaca berulang kali pesan itu, kucerna dan tunggu dulu, ada yang tersirat disana. Yap, dia pasti pulang.

***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar