Memasuki bulan ke-4 dan aku merasa bahwa ‘ruh’ kami baru
ditiupkan. Mungkin karena itu, hubungan ini baru terasa ‘hidup’. Aku menjadi gampang
khawatir dan parno sendiri saat Radit makin hobi hilang timbul tak karuan.
Kadang dia begitu nyata, kadang samar, bahkan hilang pelan-pelan, lalu muncul
lagi. Aneh , kan? Aku sebal.
Iya, terkadang aku merasa sudah mengenalnya dengan baik,
sejak lama. Namun terkadang, aku dan dia bagai orang asing yang tak saling
paham. Apalagi saat dia meminta satu hal kemarin.
“Aku butuh waktu”.
“Baik, pergilah dan kembali segera” kujawab seadanya, tanpa
berpikir panjang, walau buntutnya penuh tanda tanya.
Kuberi ruang kecil diantara kami, sedikit jeda, bukan jarak.
Kubiarkan dia menata diri, kubiarkan dia menyendiri. Dan tanpa sadar, aku sudah
membiarkan diriku sendiri bermain dengan spekulasi tak jelas.
***
“Tia, apa kabar?” Brian menyapaku yang sedang duduk di sudut
kafe dengan tatapan kosong ke lembaran novel yang kugenggam.
“Ng…baik, apa kamu sudah lama disini?”
“Yap, sekitar seperempat jam lalu kumemperhatikan lamunanmu
itu” jawabnya.
Aku diam. Tak berani menatap.
“Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, Ti. Ada apa?” Tebakannya
tepat, dan aku mati kutu.
Brian yang sudah setahun ini hilang dari otakku, tiba-tiba
muncul begitu saja disaat jeda antara aku dan Radit makin melebar. Aku takut.
Tunggu dulu, apa aku sudah menceritakan siapa itu Brian? Oh,
dia hanya masa lalu yang cukup lama mengenalku. Hm, sangat lama lebih tepatnya.
Dan beruntungnya, aku sedang malas berbasa- basi, maka kehadirannya tidak
terlalu berkesan hari itu.
***
Sudah hampir seminggu dan Radit belum menampakkan tanda-
tanda memintaku menghapus jeda, entah aku pun tak mau menanyakannya. Aku hanya
takut akan menambah panjang masalahnya saja. Aku benci menunggu tapi entah
kenapa aku mau melakukannya kali ini.
Beberapa kali aku hampir kalah, khawatirku terlalu berlebih
dan menunggu kabar darinya hampir membuatku gila. Kuhubungi dia, nihil.
Kuhubungi temannya, sama nihilnya. Lalu? Aku kembali ke opsi awal, menunggu.
Sejujurnya aku paling tidak suka disetir oleh keparnoan
seperti ini. Sepanjang hari aku sengaja mencari kesibukkan, entah dengan urusan
kantor, urusan rumah, atau mencari-cari kegiatan yang bisa aku kerjakan di
waktu senggang. Iya, supaya otakku tidak berpikir macam-macam soal Radit. Kamarku
sudah tak layak huni, buku-buku bertebaran, laptop menyala semalaman, musik tak
mau kalah meramaikan seisi kamar. Iya ramai, tapi aku kosong.
Lagi-lagi aku dihujam beribu pertanyaan yang tak kutahu bisa
kusampaikan pada siapa. Berkali- kali aku mengutuk waktu, kenapa saat itu aku mengiyakannya
untuk membuat jeda? Buktinya aku kalah pada diriku sendiri.
Mungkin aku terdengar egois, menyimpulkan sendiri arti dari
jeda ini. Harusnya aku sabar, menunggu penjelasannya dan sebisa mungkin
memahami. Tapi lagi-lagi aku payah, egoku berontak dan membawaku pada arah yang
makin tak jelas.
“Aku lelah” pesan itu kukirim pada Radit, di saat jeda kami
masuk kehitungan minggu.
Tidak sampai 2 menit, handphone-ku menerima balasan kilat
darinya. Tumben, batinku.
“Bersabarlah Tia, aku menyayangimu”. Singkat, padat, dan tidak jelas!
Ingin rasanya aku mengigit lengan lelaki itu dan menghajarnya dengan serentet
pertanyaan. Bisa-bisanya dia membalas pesanku secepat ini, padahal baru 5 menit
lalu telfonku diabaikan!
Kutarik napas, kubuang panjang. Kujernihkan pikiranku, dan
kuambil kesimpulan. Iya, dia hanya butuh waktu. Waktu untuk membereskan
urusannya sendiri, waktu untuk mandiri tanpa aku. Kubaca berulang kali pesan
itu, kucerna dan tunggu dulu, ada yang tersirat disana. Yap, dia pasti pulang.
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar