Aku berlari kecil, sengaja tidak berpayung, membiarkan air
hujan yang jatuh rintik- rintik ini membasahi seragam sekolahku. Aku hampir
saja terlambat, tapi angkutan umum yang biasa membawaku ke sekolah belum juga
datang. Entah sudah lewat, atau masih mengetem di tempat lain.
Aku berteduh di halte bus yang sudah lama tidak beroperasi. Biasanya
hanya dipakai orang- orang untuk menunggu angkutan seperti yang aku lakukan saat
ini, menunggu jemputan, atau berteduh dari hujan pun terik matahari.
Pagi ini hanya ada aku, seorang ibu yang tampak hendak
mengantar anaknya ke sekolah, dan lelaki tua yang tertidur di kursi paling
sudut sana. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.15, harusnya bel sekolah sudah
berbunyi. Hah hukuman berkeliling lapangan 10 kali akan menjadi sarapanku pagi
ini di sekolah.
Aku ogah- ogahan saat turun dari angkutan dan menatap satpam
sekolah yang sudah daritadi menggembok gerbang.
“Loh terlambat lagi. 2 hari ini kenapa, neng?” tanya Pak
Parjo, satpam berbadan buntal itu.
“Pak, sekali ini saja, please ya. Ada tugas dari Bu Kasmi
pagi ini. Bapak tahu kan bagaimana nasib saya jika berurusan dengan guru
Matematika yang satu itu. Please, Pak. Terakhir!” bujukku.
Tapi nampaknya Pak Parjo sudah kebal dengan kata “terakhir”
yang selama ini diucapkan siswa- siswa telatan sepertiku. Akhirnya aku harus
ikhlas menunggu diluar gerbang sampai jam pertama selesai. Setelah itu, bersiap “olahraga”
sekitar 10 menit untuk mengelilingi lapangan basket. Hah betapa malasnya.
10 menit pertama tadi sudah aku habiskan untuk membujuk Pak Parjo dan
hasilnya nihil, dan saat ini perutku tidak bisa diajak kompromi. Butuh sarapan.
Dan akhirnya aku memutuskan pergi ke warung di sebelah sekolahan yang menjual
nasi kuning favorit anak- anak telatan.
“Buk, satu ya” aku
mengambil kursi di sudut kiri. Kuperhatikan sekelilingku, hanya aku pengunjung wanita disini. Sisanya? Seorang anak laki- laki dari sekolah sebelah
dan beberapa orang karyawan yang sedang sarapan dan merokok santai. Kulihat anak laki-
laki berseragam itu, dia hanya seorang diri dengan dandanan seperti anak yang
tidak niat sekolah. Hah, ciri siswa yang sudah bisa ditebak bagaimana prestasinya di
sekolah, pasti dia langganan telat dan pembuat masalah disekolahnya, batinku.
“Kenapa melihatku begitu, mau gabung?” celetuknya saat
mataku terlihat tak berkedip memperhatikannya sedari tadi.
“Hah, aku hanya melihat coretan yang kamu buat itu. Kamu
suka menggambar? Hm lumayan juga” aku mendatangi mejanya sembari membawa
sepiring nasi kuning penuh ditangan kiriku.
“Oh, iya. Aku sedang membuat gambar untuk diwarnai nantinya”
“Siapa yang mewarnai?” tanyaku lagi.
“Anak ibu ini, itu dia disana.” Dia menunjuk seorang anak
yang tertidur di sudut ruangan lain yang hanya terpisahkan oleh gorden
tipis . Gordennya tersibak dan terlihat samar sosok anak yang tadi ia tunjuk.
“Dia sakit?” tanyaku berbisik.
“Iya, lumpuh. Tertabrak sepeda motor” ia masih
mencoret- coret kertasnya.
“Dan setiap hari kamu menyiapkan gambar untuknya?” mulutku
penuh dengan nasih kuning yang lezat ini.
“Iya, begitulah” jawabnya santai.
Don’t judge a book by its cover, batinku. Anak bandel ini
berhati malaikat, aku malu.
“Maaf” suaraku terdengar lirih.
“Untuk?” dia heran. Tangannya masih menggores- goreskan
pulpen di kertas yang sama.
“Ah sudah lupakan, aku harus masuk. Kamu bolos?” kali ini
aku tidak menunggu jawabannya. Segera berlari ke sekolah dan gerbang baru saja
terbuka. Hah, waktunya “olahraga”.
***
Saat jam pulang sekolah pun cuaca tetap tak bersahabat, masih dengan hujan yang
rintik- rintik, membuatku malas untuk bergegas pulang. Tiba- tiba langkahku
menuju ke warung nasi kuning tadi pagi. Kulihat warung sudah tutup, tapi pintu
sampingnya terbuka. Mungkin aku sedikit lancang, kuberanikan diri untuk menilik
ke dalam, dan sosok adik kecil tadi terlihat sendirian, sedang mewarnai gambar
dari si anak bandel. Ia hanya tertelungkup sambil memegang pensil warna dengan
wajah yang ceria. Oh Tuhan, tiba- tiba mataku basah.
***
Keesokan harinya aku sengaja datang terlambat ke sekolah,
bawaanku cukup banyak. Mainanku yang sudah tidak terpakai lagi, pensil warna, dan buku
gambar sudah aku persiapkan untuk adik kecil itu.
“Nasi kuning, neng?” ibu itu menyapaku ramah.
Aku tersenyum kaku, bingung harus bagaimana dan seketika
mataku tertuju ke arah jam 12, anak bandel
itu ada lagi, dia tersenyum sembari melambaikan tangan. Sok kenal, batinku. Aku melewati ibu nasi kuning dan menuju laki- laki di sudut
sana.
“Aku membawa ini untuk adik kecil, boleh kutitip padamu?”
satu kantung plastik yang kubawa tadi kutaruh di kursi kosong disebelahnya. Dia
hanya menatapku, lalu kembali sibuk menggambar.
“Hei, boleh atau tidak aku menitipnya?” lengannya kupukul pelan.
“Kasih sendiri saja sana, sulit?” jawabnya pendek.
Aku melirik ibu nasi kuning, ia tersenyum lagi dan mengangguk
pelan. Aku masuk, mendatangi adik kecil itu, menyalaminya, mencium keningnya
yang basah karena keringat.
“Ini kakak bawa mainan untuk kamu. Nama kamu siapa, sayang?”
tanyaku sembari mengusap lembut kepalanya. Usianya sekitar 10 tahun, dan dia
begitu cantik. Matanya bulat, alis matanya lebat, bulu matanya lentik, manis
sekali. Aku menunggu reaksi dan jawaban darinya, tapi nihil. Dia hanya
tersenyum, sembari bertepuk tangan dengan mimik wajah bahagia.
“Dia tidak bisa bicara” suara anak bandel itu menghapus
lamunanku. Aku hanya ber-oh pelan, dan berbisik pada adik kecil itu
lagi.
“Nanti siang sepulang sekolah, kakak janji kesini lagi ya?”
kukecup sekali lagi keningnya dan berlalu meninggalkan warung itu.
***
Aku suka berlari kecil saat rintik hujan datang menemaniku di
jam pulang sekolah, aku berlindung dibawah pohon besar didepan sekolah sembari menunggu
angkutan umum seperti biasanya. Didalam angkutan ini sebenarnya sesak, tapi aku
tetap memilih naik. Sesampai dirumah, aku langsung masuk ke kamar dan
merebahkan badan. Tugas dari Bu Kasmi hari ini super sekali, membuat otakku
bekerja keras. Tiba- tiba aku teringat sesuatu, adik kecil di warung nasi
kuning! Astaga.
Diluar masih hujan, aku ingin kesana, tapi ibu pasti tidak mengizinkanku keluar rumah. Besok saja, batinku. Tapi semalaman ini aku gelisah, aku sudah berbohong pada adik kecil itu. Aku tidak menepati janji. Ah, rasanya ini adalah tidur malam ter-tidak-nyenyak-ku.
***
Mulai hari ini, aku percaya pada firasat. Mulai hari ini, aku
takut pada hujan. Karenanya, aku keasyikan dan lupa pada sesuatu. Mulai hari
ini, aku tidak berani berjanji. Karena aku takut tidak bisa menepatinya lagi.
Anak bandel itu berdiri di depan warung yang ramai sekali
dengan pelayat. Ya, adik kecil itu pergi untuk selamanya. Adik kecil itu
meninggal dunia semalam. Ternyata, selain lumpuh akibat dari kecelakaan sebulan
lalu, adik kecil itu mengalami pendarahan di otaknya. Aku hanya bisa menangis
saat memeluk ibu penjual nasi kuning itu. Si anak bandel hanya diam terpaku
dengan seragamnya yang kusam di depan pintu. Aku mendekatinya dan melihat ujung mata itu, agak basah.
“Dia anak baik ya. Siapa namanya?” tanyaku dengan suara yang
agak parau.
“Gita” jawabnya pelan.
“Kamu tahu kenapa aku setiap hari menggambar untuknya?”
tiba- tiba air matanya turun begitu saja.
“Aku yang membuat dia begini, kau tahu?” suaranya agak
meninggi.
Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi dari
mata itu aku tahu, dia sangat menyesal, dia amat sedih, dia takut. Aku tak
berani bertanya lebih jauh.
Ternyata pertemuan itu sesingkat hujan, datang dengan tiba-tiba dan berhenti sesuka hatinya. Seperti yang aku alami dengan si anak bandel, ibu penjual nasi kuning dan Gita. Hah, aku masih dalam diam, berdoa.
Ternyata pertemuan itu sesingkat hujan, datang dengan tiba-tiba dan berhenti sesuka hatinya. Seperti yang aku alami dengan si anak bandel, ibu penjual nasi kuning dan Gita. Hah, aku masih dalam diam, berdoa.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar