Minggu, 22 Desember 2013

Sesingkat Hujan



Aku berlari kecil, sengaja tidak berpayung, membiarkan air hujan yang jatuh rintik- rintik ini membasahi seragam sekolahku. Aku hampir saja terlambat, tapi angkutan umum yang biasa membawaku ke sekolah belum juga datang. Entah sudah lewat, atau masih mengetem di tempat lain. 

Aku berteduh di halte bus yang sudah lama tidak beroperasi. Biasanya hanya dipakai orang- orang untuk menunggu angkutan seperti yang aku lakukan saat ini, menunggu jemputan, atau berteduh dari hujan pun terik matahari.

Pagi ini hanya ada aku, seorang ibu yang tampak hendak mengantar anaknya ke sekolah, dan lelaki tua yang tertidur di kursi paling sudut sana. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 07.15, harusnya bel sekolah sudah berbunyi. Hah hukuman berkeliling lapangan 10 kali akan menjadi sarapanku pagi ini di sekolah. 

Aku ogah- ogahan saat turun dari angkutan dan menatap satpam sekolah yang sudah daritadi menggembok gerbang.

“Loh terlambat lagi. 2 hari ini kenapa, neng?” tanya Pak Parjo, satpam berbadan buntal itu.

“Pak, sekali ini saja, please ya. Ada tugas dari Bu Kasmi pagi ini. Bapak tahu kan bagaimana nasib saya jika berurusan dengan guru Matematika yang satu itu. Please, Pak. Terakhir!” bujukku.

Tapi nampaknya Pak Parjo sudah kebal dengan kata “terakhir” yang selama ini diucapkan siswa- siswa telatan sepertiku. Akhirnya aku harus ikhlas menunggu diluar gerbang sampai jam pertama selesai. Setelah itu, bersiap “olahraga” sekitar 10 menit untuk mengelilingi lapangan basket. Hah betapa malasnya.

10 menit pertama tadi  sudah aku habiskan untuk membujuk Pak Parjo dan hasilnya nihil, dan saat ini perutku tidak bisa diajak kompromi. Butuh sarapan. Dan akhirnya aku memutuskan pergi ke warung di sebelah sekolahan yang menjual nasi kuning favorit anak- anak telatan.

“Buk, satu ya”  aku mengambil kursi di sudut kiri. Kuperhatikan sekelilingku, hanya aku pengunjung wanita disini. Sisanya? Seorang anak laki- laki dari sekolah sebelah dan beberapa orang karyawan yang sedang sarapan dan merokok santai. Kulihat anak laki- laki berseragam itu, dia hanya seorang diri dengan dandanan seperti anak yang tidak niat sekolah. Hah, ciri siswa yang sudah bisa ditebak bagaimana prestasinya di sekolah, pasti dia langganan telat dan pembuat masalah disekolahnya, batinku.

“Kenapa melihatku begitu, mau gabung?” celetuknya saat mataku terlihat tak berkedip memperhatikannya sedari tadi.

“Hah, aku hanya melihat coretan yang kamu buat itu. Kamu suka menggambar? Hm lumayan juga” aku mendatangi mejanya sembari membawa sepiring nasi kuning penuh ditangan kiriku.

“Oh, iya. Aku sedang membuat gambar untuk diwarnai nantinya”

“Siapa yang mewarnai?” tanyaku lagi.

“Anak ibu ini, itu dia disana.” Dia menunjuk seorang anak yang tertidur di sudut ruangan lain yang hanya terpisahkan oleh gorden tipis . Gordennya tersibak dan terlihat samar sosok anak yang tadi ia tunjuk.

“Dia sakit?” tanyaku berbisik.

“Iya, lumpuh. Tertabrak sepeda motor” ia masih mencoret- coret kertasnya.

“Dan setiap hari kamu menyiapkan gambar untuknya?” mulutku penuh dengan nasih kuning yang lezat ini.

“Iya, begitulah” jawabnya santai.

Don’t judge a book by its cover, batinku. Anak bandel ini berhati malaikat, aku malu.

“Maaf” suaraku terdengar lirih.

“Untuk?” dia heran. Tangannya masih menggores- goreskan pulpen di kertas yang sama.

“Ah sudah lupakan, aku harus masuk. Kamu bolos?” kali ini aku tidak menunggu jawabannya. Segera berlari ke sekolah dan gerbang baru saja terbuka. Hah, waktunya “olahraga”.

***

Saat jam pulang sekolah pun cuaca  tetap tak bersahabat, masih dengan hujan yang rintik- rintik, membuatku malas untuk bergegas pulang. Tiba- tiba langkahku menuju ke warung nasi kuning tadi pagi. Kulihat warung sudah tutup, tapi pintu sampingnya terbuka. Mungkin aku sedikit lancang, kuberanikan diri untuk menilik ke dalam, dan sosok adik kecil tadi terlihat sendirian, sedang mewarnai gambar dari si anak bandel. Ia hanya tertelungkup sambil memegang pensil warna dengan wajah yang ceria. Oh Tuhan, tiba- tiba mataku basah.

***

Keesokan harinya aku sengaja datang terlambat ke sekolah, bawaanku cukup banyak. Mainanku yang sudah tidak terpakai lagi, pensil warna, dan buku gambar sudah aku persiapkan untuk adik kecil itu.

“Nasi kuning, neng?” ibu itu menyapaku ramah.

Aku tersenyum kaku, bingung harus bagaimana dan seketika mataku tertuju ke arah jam 12,  anak bandel itu ada lagi, dia tersenyum sembari melambaikan tangan. Sok kenal, batinku. Aku melewati ibu nasi kuning dan menuju laki- laki di sudut sana. 

“Aku membawa ini untuk adik kecil, boleh kutitip padamu?” satu kantung plastik yang kubawa tadi kutaruh di kursi kosong disebelahnya. Dia hanya menatapku, lalu kembali sibuk menggambar.

“Hei, boleh atau tidak aku menitipnya?” lengannya kupukul pelan.

“Kasih sendiri saja sana, sulit?” jawabnya pendek.

Aku melirik ibu nasi kuning, ia tersenyum lagi dan mengangguk pelan. Aku masuk, mendatangi adik kecil itu, menyalaminya, mencium keningnya yang basah karena keringat.

“Ini kakak bawa mainan untuk kamu. Nama kamu siapa, sayang?” tanyaku sembari mengusap lembut kepalanya. Usianya sekitar 10 tahun, dan dia begitu cantik. Matanya bulat, alis matanya lebat, bulu matanya lentik, manis sekali. Aku menunggu reaksi dan jawaban darinya, tapi nihil. Dia hanya tersenyum, sembari bertepuk tangan dengan mimik wajah bahagia.

“Dia tidak bisa bicara” suara anak bandel itu menghapus lamunanku. Aku hanya ber-oh pelan, dan berbisik pada adik kecil itu lagi.

“Nanti siang sepulang sekolah, kakak janji kesini lagi ya?” kukecup sekali lagi keningnya dan berlalu meninggalkan warung itu.

***

Aku suka berlari kecil saat rintik hujan datang menemaniku di jam pulang sekolah, aku berlindung dibawah pohon besar didepan sekolah sembari menunggu angkutan umum seperti biasanya. Didalam angkutan ini sebenarnya sesak, tapi aku tetap memilih naik. Sesampai dirumah, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan badan. Tugas dari Bu Kasmi hari ini super sekali, membuat otakku bekerja keras. Tiba- tiba aku teringat sesuatu, adik kecil di warung nasi kuning! Astaga.

Diluar masih hujan, aku ingin kesana, tapi ibu pasti tidak mengizinkanku keluar rumah. Besok saja, batinku. Tapi semalaman ini aku gelisah, aku sudah berbohong pada adik kecil itu. Aku tidak menepati janji. Ah, rasanya ini adalah tidur malam ter-tidak-nyenyak-ku.

***

Mulai hari ini, aku percaya pada firasat. Mulai hari ini, aku takut pada hujan. Karenanya, aku keasyikan dan lupa pada sesuatu. Mulai hari ini, aku tidak berani berjanji. Karena aku takut tidak bisa menepatinya lagi.

Anak bandel itu berdiri di depan warung yang ramai sekali dengan pelayat. Ya, adik kecil itu pergi untuk selamanya. Adik kecil itu meninggal dunia semalam. Ternyata, selain lumpuh akibat dari kecelakaan sebulan lalu, adik kecil itu mengalami pendarahan di otaknya. Aku hanya bisa menangis saat memeluk ibu penjual nasi kuning itu. Si anak bandel hanya diam terpaku dengan seragamnya yang kusam di depan pintu. Aku mendekatinya dan melihat ujung mata itu, agak basah.

“Dia anak baik ya. Siapa namanya?” tanyaku dengan suara yang agak parau.

“Gita” jawabnya pelan.

“Kamu tahu kenapa aku setiap hari menggambar untuknya?” tiba- tiba air matanya turun begitu saja.

“Aku yang membuat dia begini, kau tahu?” suaranya agak meninggi.

Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi dari mata itu aku tahu, dia sangat menyesal, dia amat sedih, dia takut. Aku tak berani bertanya lebih jauh.

Ternyata pertemuan itu sesingkat hujan, datang dengan tiba-tiba dan berhenti sesuka hatinya. Seperti yang aku alami dengan si anak bandel, ibu penjual nasi kuning dan Gita. Hah, aku masih dalam diam, berdoa.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar