Minggu, 13 Juli 2014

Kembali ke yang Berhati Nyaman

Siang ini aku pulang dari Surabaya menuju Jogja menggunakan kereta ekonomi Sri Tanjung.

Sekilas kereta ini memang tampak lebih lawas ketimbang Pasundan, tapi fasilitasnya ya sama saja, AC yang dinginnya agak anget.

Sebelum naik dan mencari tempat duduk, aku memang datang di waktu yang mepet. Asal naik dan duduk di kursi 12 D, gerbong 6.

Di depanku ada sepasang suami istri yang duduk berdampingan, usianya sekitaran ibuku lah. Tapi satu hal yang membuatku iri, kelakuan mereka bagaikan muda-mudi yang kasmaran di awal bulan jadian.

Ibu yang terkesan manja dan bapak yang bisa mengayomi. Memijit- mijit kaki, rangkul- rangkul lengan, teleponin anak, bahkan sesederhana tertawa bersama, mampu membuat iri anak muda macam aku yang baru saja terkena sindrom malas meles pasca hari panjang nan random di tanjung perak.

Satu jam disana, ternyata aku salah tempat duduk. Blekek. Aku sampai lupa mengecek gerbong berapa di tiketku, hanya karena terburu-buru. Sampai si empunya tempat duduk datang dan mengharuskanku pindah. Akhirnya aku menuju gerbong 2, lumayan jauh dan membuat mual karena tergoncang kereta yang sedang jalan.

Sampai di gerbong dan kursi yang benar, lagi-lagi view di depanku menimbulkan rasa "pengenan". Kali ini bukan tentang masa depan yang kuharap bisa seperti ibu bapak di gerbong 6 tadi, tapi tentang bapak anak yang sangat lovely.

Usia anaknya sekitar 6 atau 7 tahunan, laki-laki. Saat aku sampai dan duduk tepat di depannya, ia masih tertidur menyender pada bahu sang ayah.

Dengan perlahan, sang ayah mengangkat kepala anaknya dan menaruh sweater tebal sebagai bantal. Ekspresi wajah anaknya yang sedang tertidur pulas itu loh yang bikin iri, nyamaaaan sekali.

Sesekali si ayah juga mengelus- elus kepala anaknya sambil senyum. Aih, apalah yang ada dipikirannya, batinku.

Berjam- jam perjalananku terlalui dengan hati yang ikut bahagia dan perlahan laju kereta mulai melambat. Sambil menulis ini aku masih memandangi mereka berdua yang sedang tertidur, lengkap dengan perandaian "seandainya aku ya".


Masih melek dari kursi 12 D gerbong 2 Sri Tanjung. Menuju realita Jogja

Tidak ada komentar :

Posting Komentar