"Makanya bacaanmu mbok diganti soal adab nikah, jangan novel terus."
Pasca menilik tasku yang berisi buku tebal yang ternyata adalah novel percintaan dan ke-tidak-ngeh-an-ku pada hadist- hadist yang sering Mr. R bahas, spontan dia menyuruhku mengganti haluan bacaan. Setelah kupikir-pikir, benar juga pernyataan yang menohok itu.
Selama ini, novel-novel Tere Liye, Dee, Paulo Coelho, Arswendo Atmowiloto dan sejenisnya lah yang sudah meracuni otakku. Kisah- kisah teladan sahabat Rasul, Halaqah Cinta dan sejenisnya baru sempat kupegang akhir- akhir ini dan itu pun belum khatam.
Yaya. Sepertinya tidak salah untuk mempertimbangkan perubahan haluan ini, karena kita nggak pernah tahu kan kapan waktu itu datang. Paling nggak, mempersiapkan diri sedini mungkin itu baik dan tidak akan pernah rugi.
Kamis, 24 Juli 2014
Rabu, 23 Juli 2014
Air
"Jadilah seperti air, yang bisa menyesuaikan diri di berbagai tempat. Kamu bisa asik ngobrol ke siapa saja tanpa mengubah wujud aslimu, tetap air kan?"
Mr. R pada sebuah obrolan
Minggu, 13 Juli 2014
Kembali ke yang Berhati Nyaman
Siang ini aku pulang dari Surabaya menuju Jogja menggunakan kereta ekonomi Sri Tanjung.
Sekilas kereta ini memang tampak lebih lawas ketimbang Pasundan, tapi fasilitasnya ya sama saja, AC yang dinginnya agak anget.
Sebelum naik dan mencari tempat duduk, aku memang datang di waktu yang mepet. Asal naik dan duduk di kursi 12 D, gerbong 6.
Di depanku ada sepasang suami istri yang duduk berdampingan, usianya sekitaran ibuku lah. Tapi satu hal yang membuatku iri, kelakuan mereka bagaikan muda-mudi yang kasmaran di awal bulan jadian.
Ibu yang terkesan manja dan bapak yang bisa mengayomi. Memijit- mijit kaki, rangkul- rangkul lengan, teleponin anak, bahkan sesederhana tertawa bersama, mampu membuat iri anak muda macam aku yang baru saja terkena sindrom malas meles pasca hari panjang nan random di tanjung perak.
Satu jam disana, ternyata aku salah tempat duduk. Blekek. Aku sampai lupa mengecek gerbong berapa di tiketku, hanya karena terburu-buru. Sampai si empunya tempat duduk datang dan mengharuskanku pindah. Akhirnya aku menuju gerbong 2, lumayan jauh dan membuat mual karena tergoncang kereta yang sedang jalan.
Sampai di gerbong dan kursi yang benar, lagi-lagi view di depanku menimbulkan rasa "pengenan". Kali ini bukan tentang masa depan yang kuharap bisa seperti ibu bapak di gerbong 6 tadi, tapi tentang bapak anak yang sangat lovely.
Usia anaknya sekitar 6 atau 7 tahunan, laki-laki. Saat aku sampai dan duduk tepat di depannya, ia masih tertidur menyender pada bahu sang ayah.
Dengan perlahan, sang ayah mengangkat kepala anaknya dan menaruh sweater tebal sebagai bantal. Ekspresi wajah anaknya yang sedang tertidur pulas itu loh yang bikin iri, nyamaaaan sekali.
Sesekali si ayah juga mengelus- elus kepala anaknya sambil senyum. Aih, apalah yang ada dipikirannya, batinku.
Berjam- jam perjalananku terlalui dengan hati yang ikut bahagia dan perlahan laju kereta mulai melambat. Sambil menulis ini aku masih memandangi mereka berdua yang sedang tertidur, lengkap dengan perandaian "seandainya aku ya".
Masih melek dari kursi 12 D gerbong 2 Sri Tanjung. Menuju realita Jogja
Sekilas kereta ini memang tampak lebih lawas ketimbang Pasundan, tapi fasilitasnya ya sama saja, AC yang dinginnya agak anget.
Sebelum naik dan mencari tempat duduk, aku memang datang di waktu yang mepet. Asal naik dan duduk di kursi 12 D, gerbong 6.
Di depanku ada sepasang suami istri yang duduk berdampingan, usianya sekitaran ibuku lah. Tapi satu hal yang membuatku iri, kelakuan mereka bagaikan muda-mudi yang kasmaran di awal bulan jadian.
Ibu yang terkesan manja dan bapak yang bisa mengayomi. Memijit- mijit kaki, rangkul- rangkul lengan, teleponin anak, bahkan sesederhana tertawa bersama, mampu membuat iri anak muda macam aku yang baru saja terkena sindrom malas meles pasca hari panjang nan random di tanjung perak.
Satu jam disana, ternyata aku salah tempat duduk. Blekek. Aku sampai lupa mengecek gerbong berapa di tiketku, hanya karena terburu-buru. Sampai si empunya tempat duduk datang dan mengharuskanku pindah. Akhirnya aku menuju gerbong 2, lumayan jauh dan membuat mual karena tergoncang kereta yang sedang jalan.
Sampai di gerbong dan kursi yang benar, lagi-lagi view di depanku menimbulkan rasa "pengenan". Kali ini bukan tentang masa depan yang kuharap bisa seperti ibu bapak di gerbong 6 tadi, tapi tentang bapak anak yang sangat lovely.
Usia anaknya sekitar 6 atau 7 tahunan, laki-laki. Saat aku sampai dan duduk tepat di depannya, ia masih tertidur menyender pada bahu sang ayah.
Dengan perlahan, sang ayah mengangkat kepala anaknya dan menaruh sweater tebal sebagai bantal. Ekspresi wajah anaknya yang sedang tertidur pulas itu loh yang bikin iri, nyamaaaan sekali.
Sesekali si ayah juga mengelus- elus kepala anaknya sambil senyum. Aih, apalah yang ada dipikirannya, batinku.
Berjam- jam perjalananku terlalui dengan hati yang ikut bahagia dan perlahan laju kereta mulai melambat. Sambil menulis ini aku masih memandangi mereka berdua yang sedang tertidur, lengkap dengan perandaian "seandainya aku ya".
Masih melek dari kursi 12 D gerbong 2 Sri Tanjung. Menuju realita Jogja
Sabtu, 12 Juli 2014
Pasundan Sore Ini
Hari yang sulit, akan diikuti esok yang baik hati. Di sepanjang jalan ini masih terbayang betapa kacaunya tadi pagi. Tentang kepasrahan yang berujung harapan baru. Kepada esok hari, kutunggu kabar baik darimu!
Salam damai dari gerbong Pasundan, kursi nomer 20 C
Salam damai dari gerbong Pasundan, kursi nomer 20 C
Senin, 07 Juli 2014
Girls!
“Cewek logika kamu mah." kata-kata ini terlontar dari
Oknum N, pasca kami membahas tafsir mimpi. Loh apa hubungannya? Memang
ada ya cewek logika, cewek perasaan, dan cewek jadi- jadian?
Jujur saja, bukannya aku tidak percaya dengan yang semacam
itu. Tapi aku hanya tidak terlalu memusingkan saat aku bermimpi A, bakal ada
apa ya kedepannya? Saat aku bermimpi B, apa iya aku akan begitu?
Menurutku, mimpi adalah bunga tidur. Bisa muncul tentang apa
saja, siapa saja, dan terlupakan begitu saja. Pernah aku bermimpi aneh, sempat
terpikir tapi tidak terlalu kuambil pusing. Jadi tidak perlu disangkut- pautkan
dengan A, B, C dan bla- bla.
Lalu aku berpikir, selama ini perempuan memang lebih identik menggunakan perasaan ketimbang logika,terus aku ini apa kalau sudah ada yang mengecap begitu? HAHA
Suatu ketika Oknum R pernah juga membahas ini padaku, saat
dia curhat panjang lebar mengenai kisah cintanya yang ruwet dengan sang pujaan
hati, lagi- lagi saran yang kuberikan nampaknya sulit diterima olehnya.
“Mungkin sibuk kali, dia udah berumur juga kan harusnya tau
mana yang pantes dan nggak, walau kalian jauh sekalipun” jawabku. Dan masih
dengan segala keparnoannya, Oknum R malah mengataiku, “Harusnya kamu mikirin
perasaan aku dong, harusnya kamu ngerti kalau khawatir itu kan wajar, Wi”. Duh,
aku salah lagi.
Menggunakan perasaan itu tetap penting, tapi logika yang dipandang
lebih simple, praktis dan tentunya sangat rasional juga tidak kalah penting, walau
untuk sebagian orang terkesan kejam.
Menurutku, sebagai perempuan kita wajib menyeimbangkan
logika dan perasaan. Boleh bersedih, tapi harus cepat berpikir tetang manfaat
apa yang didapat? Rugi iya. Boleh kita merasa putus asa, tapi apa iya bisa merubah
keadaan jika hanya diratapi? Boleh kita bermimpi, tapi juga harus realistis.
Iya, realistis. Cintai saja orang- orang yang
mau dicintai, menetaplah pada mereka yang mau ditinggali. Kenapa harus repot-
repot membuang waktu pada mereka yang tidak mengingini? Jangan terlalu cepat menumbuhkan sesuatu yang jelas-jelas belum ada eksekusi.
Perempuan, kadang suka menciptakan kemungkinan yang ujung-
ujungnya menyakiti dirinya sendiri, suka menumbuhkan sesuatu yang belum pasti, suka membuat dirinya parno tiada henti. Come on girls, life is really simple but we
insist on making it complicated. Kita itu tidak lemah, hanya terkadang suka melemahkan diri sendiri.
Rabu, 02 Juli 2014
"Kita bukanlah penduduk asli bumi, asal kita adalah surga. Tempat, dimana orangtua kita, Adam, tinggal pertama kali. Kita tinggal di sini hanya untuk sementara, untuk mengikuti ujian lalu segera kembali." kuntawiaji
Selasa, 01 Juli 2014
Monolog Sebelum Tidur
Tik tok tik tok, pukul 11.48 waktu Indonesia bagian gagal tidur. Akibat menonton drama korea yang terpotong karena baterai habis dan malas memasang charger, jadilah aku manusia malam yang kesusahan memejamkan mata.
Langit kamar sudah gelap. Kebisingan pun mulai membungkam, sunyi. Beberapa waktu lalu aku masih menatap langit-langit itu, begitu dalam. Ada apa ya?
Nafas terasa panjang kuhembuskan, rasanya lega entah apa yang kubawa sampai berat terasa. Haaaaah, ingatan malah memutar banyak kejadian.
Sudah sejauh ini ternyata langkahku menapak. Melihat ke belakang pun sedikit sulit, banyak yang tertutupi dan tertumpuk hal-hal baru. Apa kabar harapanku?
Malam ini, aku bermonolog seperti malam-malam lalu kala kantuk sulit kutemui. Obat pelega hati yang entah mengapa membuatku merasa dekat dengan-Nya. Lebih intim dari curhatan ala-ala manusia.
Aku heran dengan mereka yang merasa kesepian tak berkawan. Menganggap tiada seorang pun yang mampu memahami kehendak hati. Bingung harus membuka pembicaraan, takut mengungkapkan.
Padahal ada yang senantiasa dekat dan selalu memahami. Yang tanpa harus bingung mengutarakan, takut tidak dimengerti, malu mengakui, takut dimarahi, apalagi dibenci, karena memang walau sekedar diam, tapi mampu melegakan hati.
Malam ini, lagi-lagi aku berbagi dan meminta. Dalam keheningan ruang gelap, dibalik bantal basah yang kudekap erat, aku mengadu dan menutupnya dengan doa-doa yang membumbung tinggi. Berlama-lama menghabiskan malam yang semakin sunyi. Lalu menuju alam yang bisa membawaku... bermimpi.
Langit kamar sudah gelap. Kebisingan pun mulai membungkam, sunyi. Beberapa waktu lalu aku masih menatap langit-langit itu, begitu dalam. Ada apa ya?
Nafas terasa panjang kuhembuskan, rasanya lega entah apa yang kubawa sampai berat terasa. Haaaaah, ingatan malah memutar banyak kejadian.
Sudah sejauh ini ternyata langkahku menapak. Melihat ke belakang pun sedikit sulit, banyak yang tertutupi dan tertumpuk hal-hal baru. Apa kabar harapanku?
Malam ini, aku bermonolog seperti malam-malam lalu kala kantuk sulit kutemui. Obat pelega hati yang entah mengapa membuatku merasa dekat dengan-Nya. Lebih intim dari curhatan ala-ala manusia.
Aku heran dengan mereka yang merasa kesepian tak berkawan. Menganggap tiada seorang pun yang mampu memahami kehendak hati. Bingung harus membuka pembicaraan, takut mengungkapkan.
Padahal ada yang senantiasa dekat dan selalu memahami. Yang tanpa harus bingung mengutarakan, takut tidak dimengerti, malu mengakui, takut dimarahi, apalagi dibenci, karena memang walau sekedar diam, tapi mampu melegakan hati.
Malam ini, lagi-lagi aku berbagi dan meminta. Dalam keheningan ruang gelap, dibalik bantal basah yang kudekap erat, aku mengadu dan menutupnya dengan doa-doa yang membumbung tinggi. Berlama-lama menghabiskan malam yang semakin sunyi. Lalu menuju alam yang bisa membawaku... bermimpi.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)