Masih pagi disini, jam 9.30 tepatnya. Masih jam sibuk-
sibuknya balesin inbox pemesanan dan prepare buat pengiriman hari ini. Seperti biasa,
kadang diselingi buka blog- blog penyemangat pagi, salah satunya web Kek Jamil.
Berselancar ke bacaan rekomendasi dan menemukan tulisan ini,
tiba- tiba rasanya sedih banget, yang terbayang cuma wajah Mama yang jauh
disana. Selesai membaca, aku seperti ditampar. Apa yang aku baca itu seperti
menggambarkan kegalauanku beberapa waktu belakangan. Tentang kapan lagi aku
bisa membahagiakan Mama kalau aku terus- terusan jauh begini?
Ini tahun keempat aku jauh dari rumah. Dulu, aku selalu
berandai- andai untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin supaya bisa pulang
dan menghabiskan waktu bersama Mama disana. Menikmati tiap akhir pekan hanya
untuk sekedar private time berdua, antara aku dan Mama. Tapi ternyata Allah
punya rencana lain, kerjaan disini menunda kepulanganku. Dan tanpa sadar, aku
melepaskan sendiri angan- angan itu.
Kalau masa kuliah, kerja dan nanti saat menikah aku di luar
terus- terusan, kapan ada waktu buat Mama? Ini yang lagi sering berkeliaran
hebat di kepala. Ya Allah tiba- tiba bisa semelow ini kalau udah bahas sosok
Ibu ya? Ah, kangen berat.
Di salah satu komennya Kek Jamil bilang , “Kangen itu
obatnya jumpa”. Jleb. Iya, insyaallah dalam waktu dekat ya Kek. Insyaallah waktu
yang kami berdua korbankan ini bisa berbuah kebaikan kedepannya. Amin.
Untuk selengkapnya, ini aku copy- paste dari postingannya Kek
Jamil yang bikin aku sedih banget pagi ini. Semoga kita semua bisa menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang tua, khususnya Ibu. Amin.
Tadi malam saya berdiskusi dengan istri tentang bagaimana melahirkan
trainer-trainer yang berkarakter. Salah satu yang harus dilakukan adalah
support pasangan hidup dan keluarganya. Para trainer tak boleh hanya
memikat di atas panggung tetapi mendapat penilaian yang rendah tentang
perilaku dan karakternya dari orang terdekatnya.
Usai diskusi, pikiranku melayang ke wajah di balik ketegaran bapakku
menghadapi berbagai ujian, hinaan dan kepahitan hidup. Wajah yang kini
mulai renta itu adalah wajah ibuku. Wanita ini tak lulus dari Sekolah
Rakyat atau setara SD. Tetapi bagi saya, ia adalah guru besar kehidupan
yang sulit dicari tandingannya –Kerinduanku akhirnya kutuangkan dalam
kulwit #RinduIbu di akun twiterku tadi malam.
Ibuku luar biasa, dia sangat berbeda denganku. Setiap jumpa dan
kemudian berpisah dengannya ibuku selalu berkata, “Maaf, ibu tidak bisa
memberi apa-apa kecuali doa.”
Ucapan itu terkadang menamparku. Ibuku yang sudah begitu banyak
memberi pengorbanan, perhatian dan rasa cinta yang tiada tara masih
berkata “maaf ibu tidak bisa memberi apa-apa”. Sementara aku, hanya cium
tangan, memberi rupiah yang tak lebih dari 10 persen penghasilanku
sudah merasa menjadi anak yang berbakti.
Ibuku tak merasa banyak berbuat kepadaku padahal kebaikan kepadaku
amat sulit untuk dihitung. Sementara aku sudah merasa menjadi anak yang
taat dan hebat hanya dengan sekelumit kebaikanku. Oh, betapa mulianya
ibuku dan betapa naifnya diriku…
Bila aku sakit, ibuku rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dan
menyeberangi lautan hanya seledar ingin menciumku. Sementara bila ibuku
sakit, aku hanya mengangkat telepon untuk berkata, “Maaf, aku tak bisa
menemani ibu.”
Oh, betapa bedanya aku dengan ibuku. Ia segera meninggalkan semua
kesibukannya hanya untuk jumpa dengan anaknya. Sementara aku selalu
beralasan sibuk untuk bisa menemaninya saat ia berbaring lemah karena
sakitnya.
Saat aku sekolah dan kuliah, ibuku rela datang meminjam hutang walau
mungkin mendapat cacian dari yang punya uang. Tetapi kini aku
tega-teganya berkata, “Maaf ibu, belum bisa banyak membantu, aku masih
harus mengembangkan bisnis dan keluargaku.” Saat seperti itu ibuku hanya
berkata, “Ibu bahagia bila melihat kamu dan keluargamu bahagia. Ibu tak
minta apa-apa darimu kecuali doa usai sholatmu.” Oh ibu, aku semakin
malu…
Sebelum tidur aku menangis, betapa baktiku kepada ibuku belum
seberapa. Dalam pelukan istriku, kukirimkan doa untuk ibuku, “Ya Allah
jaga ibuku. Muliakan ibuku. Beri ia tempat terhormat di dunia dan
berikan ia mahkota terindah di surga-Mu kelak.” Ah, betapa hinanya aku,
karena hanya bisa menangis dan mengirimkan doa di usiaku yang semakin
tua…
Itu bedaku dengan ibuku. Apa bedamu dengan ibumu?
(source : Bedanya Ibu dan Aku)
Betewe, selamat pagi Mam. Sehat terus ya disana. ^^
Sabtu, 03 Mei 2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar