Sabtu, 03 Mei 2014

"Tamparan" Pagi

Masih pagi disini, jam 9.30 tepatnya. Masih jam sibuk- sibuknya balesin inbox pemesanan dan prepare buat pengiriman hari ini. Seperti biasa, kadang diselingi buka blog- blog penyemangat pagi, salah satunya web Kek Jamil.

Berselancar ke bacaan rekomendasi dan menemukan tulisan ini, tiba- tiba rasanya sedih banget, yang terbayang cuma wajah Mama yang jauh disana. Selesai membaca, aku seperti ditampar. Apa yang aku baca itu seperti menggambarkan kegalauanku beberapa waktu belakangan. Tentang kapan lagi aku bisa membahagiakan Mama kalau aku terus- terusan jauh begini?

Ini tahun keempat aku jauh dari rumah. Dulu, aku selalu berandai- andai untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin supaya bisa pulang dan menghabiskan waktu bersama Mama disana. Menikmati tiap akhir pekan hanya untuk sekedar private time berdua, antara aku dan Mama. Tapi ternyata Allah punya rencana lain, kerjaan disini menunda kepulanganku. Dan tanpa sadar, aku melepaskan sendiri angan- angan itu.

Kalau masa kuliah, kerja dan nanti saat menikah aku di luar terus- terusan, kapan ada waktu buat Mama? Ini yang lagi sering berkeliaran hebat di kepala. Ya Allah tiba- tiba bisa semelow ini kalau udah bahas sosok Ibu ya? Ah, kangen berat.

Di salah satu komennya Kek Jamil bilang , “Kangen itu obatnya jumpa”. Jleb. Iya, insyaallah dalam waktu dekat ya Kek. Insyaallah waktu yang kami berdua korbankan ini bisa berbuah kebaikan kedepannya. Amin.

Untuk selengkapnya, ini aku copy- paste dari postingannya Kek Jamil yang bikin aku sedih banget pagi ini. Semoga kita semua bisa menjadi anak yang selalu berbakti kepada orang tua, khususnya Ibu. Amin. 

Tadi malam saya berdiskusi dengan istri tentang bagaimana melahirkan trainer-trainer yang berkarakter. Salah satu yang harus dilakukan adalah support pasangan hidup dan keluarganya. Para trainer tak boleh hanya memikat di atas panggung tetapi mendapat penilaian yang rendah tentang perilaku dan karakternya dari orang terdekatnya.

Usai diskusi, pikiranku melayang ke wajah di balik ketegaran bapakku menghadapi berbagai ujian, hinaan dan kepahitan hidup. Wajah yang kini mulai renta itu adalah wajah ibuku. Wanita ini tak lulus dari Sekolah Rakyat atau setara SD. Tetapi bagi saya, ia adalah guru besar kehidupan yang sulit dicari tandingannya –Kerinduanku akhirnya kutuangkan dalam kulwit #RinduIbu di akun twiterku tadi malam.

Ibuku luar biasa, dia sangat berbeda denganku. Setiap jumpa dan kemudian berpisah dengannya ibuku selalu berkata, “Maaf, ibu tidak bisa memberi apa-apa kecuali doa.”

Ucapan itu terkadang menamparku. Ibuku yang sudah begitu banyak memberi pengorbanan, perhatian dan rasa cinta yang tiada tara masih berkata “maaf ibu tidak bisa memberi apa-apa”. Sementara aku, hanya cium tangan, memberi rupiah yang tak lebih dari 10 persen penghasilanku sudah merasa menjadi anak yang berbakti.

Ibuku tak merasa banyak berbuat kepadaku padahal kebaikan kepadaku amat sulit untuk dihitung. Sementara aku sudah merasa menjadi anak yang taat dan hebat hanya dengan sekelumit kebaikanku. Oh, betapa mulianya ibuku dan betapa naifnya diriku…

Bila aku sakit, ibuku rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dan menyeberangi lautan hanya seledar ingin menciumku. Sementara bila ibuku sakit, aku hanya mengangkat telepon untuk berkata, “Maaf, aku tak bisa menemani ibu.”

Oh, betapa bedanya aku dengan ibuku. Ia segera meninggalkan semua kesibukannya hanya untuk jumpa dengan anaknya. Sementara aku selalu beralasan sibuk untuk bisa menemaninya saat ia berbaring lemah karena sakitnya.

Saat aku sekolah dan kuliah, ibuku rela datang meminjam hutang walau mungkin mendapat cacian dari yang punya uang. Tetapi kini aku tega-teganya berkata, “Maaf ibu, belum bisa banyak membantu, aku masih harus mengembangkan bisnis dan keluargaku.” Saat seperti itu ibuku hanya berkata, “Ibu bahagia bila melihat kamu dan keluargamu bahagia. Ibu tak minta apa-apa darimu kecuali doa usai sholatmu.” Oh ibu, aku semakin malu…

Sebelum tidur aku menangis, betapa baktiku kepada ibuku belum seberapa. Dalam pelukan istriku, kukirimkan doa untuk ibuku, “Ya Allah jaga ibuku. Muliakan ibuku. Beri ia tempat terhormat di dunia dan berikan ia mahkota terindah di surga-Mu kelak.” Ah, betapa hinanya aku, karena hanya bisa menangis dan mengirimkan doa di usiaku yang semakin tua…

Itu bedaku dengan ibuku. Apa bedamu dengan ibumu?

(source : Bedanya Ibu dan Aku)

Betewe, selamat pagi Mam. Sehat terus ya disana. ^^

Tidak ada komentar :

Posting Komentar