Aku baik- baik saja, secara fisik aku sama seperti anak lainnya. Aku pun tidak pernah merasa berbeda. Tapi orang- orang disekitarku tidak setuju. Aku aneh, begitu kata mereka.
Aku memang memiliki duniaku sendiri. Aku lebih memilih menyendiri, menghabiskan waktu berjam- jam hanya dengan dunia fantasiku. Dunia yang tidak bisa aku bagikan kepada siapa pun.
Mungkin jika bisa memilih, aku pun pasti tidak ingin begini. Pasti menyenangkan bisa bermain dengan teman sebaya dan memperebutkan mainan kesayangan. Tidak merasa terasingkan dan merasa dikhususkan seperti ini.
Iya, kata orang aku berbeda. Memang aku akui, ada yang aneh pada diriku. Sejak duduk di bangku playgroup hingga sekolah menengah atas ini aku selalu didampingi ibu di dalam kelas. Iya, ibuku duduk berdampingan denganku di dalam kelas mengikuti pelajaran dari pagi hingga bel pulang berbunyi. Setiap hari.
Aku memang kurang bisa berkonsentrasi, emosional, dan tidak peduli lingkungan. Tapi aku heran pada mereka yang mengatakan bahwa aku tidak mengerti apa- apa. Mereka kira aku buta dan tuli? Salah. Sebenarnya aku paham dengan apa yang aku lihat dan dengar. Namun aku memang lebih memilih diam.
Sulit bagiku untuk mengekspresikan apa yang aku rasakan. Jika aku tidak setuju, barang- barang disekitar menjadi sasaran amukan sebagai wujud penolakan. Bagi mereka yang tidak memahamiku, mungkin aku terkesan mengerikan, tapi sebenarnya aku hanya butuh sebuah pelukan.
Untuk berinteraksi pun aku kesulitan. Bukannya aku tidak mau, tapi merekalah yang tidak mau masuk keduniaku. Merekalah yang memagari diri dan enggan menilikku lebih dalam.
Bukan berarti aku tidak mengerti arti kasih sayang. Malah bisa dibilang aku sangat peka. Bisa dengan mudah membedakan ketulusan dan hati yang tidak ada keikhlasan.
Aku tidak pernah malu jika pandangan orang- orang asing itu tampak aneh padaku. Melihat anak lelaki yang harusnya melindungi ibunya malah berlaku sebaliknya. Digandeng ibu kemana- mana, bertingkah tidak selayaknya lelaki dewasa, menggembok diri dari pertemanan. Tapi beginilah aku, harusnya mereka belajar banyak hal dariku. Tentang rasa syukur, keikhlasan, kesabaran dan ketulusan.
Aku bangga menjadi aku yang berkebutuhan khusus seperti ini, bangga memiliki ibu hebat seperti ibuku.
Suatu hari ibu pernah bertanya, mau sampai kapan aku diantar ke sekolah dan ketergantungan dengannya?
Katanya, untuk anak normal seusiaku yang menginjak kepala 2, tidaklah wajar kemana- mana selalu dibuntuti ibu. Aku diam.
Pertanyaannya berlanjut, seandainya nanti ibu sudah tidak ada, apa aku akan baik- baik saja? Aku masih diam, mencoba untuk paham.
Lengan ibu kurasa hangat mendekapku. Iya, apa jadinya aku seorang autisme ini tanpa adanya ibu? Aku tidak tahu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar