Tiap pemanggil sujud itu berkumandang, kita bertemu. Paling tidak
aku yang menganggap itu adalah sebuah pertemuan. Kamu yang melangkah cepat dari
ujung lorong sana dengan sedikit menjinjing sarung kotak- kotak hijaumu,
ditambah kopiah putih diatas kepala, dan tidak luput sajadah kecil mengayun
dari tangan sebelah kanan. Iya, diam- diam aku memperhatikannya sampai hapal.
Entah kenapa aku selalu menantikan fajar. Menanti saat-saat aku
bersiap pulang dari warung reot ini menuju rumah, membawa kabar baik untuk
kelangsungan hidup anak- anakku hari ini. Tentang makanan apa yang bisa kami
santap sampai malam lagi.
Juga pada pertemuan itu. Pertemuan setiap fajar yang kusuka. Pertemuan yang selalu kunanti setiap malamnya. Pertemuan yang hanya diisi dengan salam singkat darimu. Pertemuan yang membuatku kagum pada sosok lelaki bermata teduh. Pertemuan yang sebenarnya hanya beberapa detik saja.
Juga pada pertemuan itu. Pertemuan setiap fajar yang kusuka. Pertemuan yang selalu kunanti setiap malamnya. Pertemuan yang hanya diisi dengan salam singkat darimu. Pertemuan yang membuatku kagum pada sosok lelaki bermata teduh. Pertemuan yang sebenarnya hanya beberapa detik saja.
Senja adalah pengharapan bagiku. Berharap pada kunjungan rutin
mereka yang butuh makanan atau sekedar melepas penat dengan secangkir kopi
pekat. Atau sebagian lain yang hanya iseng mengisi waktu luang dan menghamburkan
uang di warung reot ini bersama “teman-temanku”.
Hari ini aku tidak bisa bertemu fajar, sedihnya bukan
hanya karena melewatkan itu tapi juga karena aku melihat kerumunan disana. Dan benar
saja, fajar tidak lagi bisa kunanti dan senja pun tidak bisa kuharapkan lagi. Tubuhku
terbujur kaku di pelataran warung dan kamu menutupiku dengan sarung kotak-
kotak hijaumu.
“Bagaimana ceritanya, Fajar?” suara serak seorang bapak terdengar
persis di kuping kananku.
“Saya menemukannya tergeletak disini menjelang Subuh tadi,
Pak. Dan memang sudah tidak bernyawa dengan kondisi seperti ini.”
Fajar? Subuh? Tak bernyawa? Aku? Tunggu dulu, apa itu aku? Wanita
yang terbujur kaku dengan menggunakan mukenah putih lengkap dengan sajadah
ditangan kanan. Ya Allah, aku baru saja menunggu Fajar untuk berangkat ke
Masjid bersama. Bagaimana ini bisa terjadi? Aku baru saja menjadi mualaf sore
harinya, apakah secepat ini?
Fajar menatapku sendu, tapi dia malah berucap syukur, “Alhamdulillah
Mentari, kamu meninggal dalam keadaan islam” lalu aku dibawa kerumah,
dimandikan, dan dibalut kain putih, rapat. Dan dia mendatangi anak-
anakku, memeluk mereka, lalu mengimami yang lain untuk menyolatiku. Ya Allah, terima kasih untuk datangnya Fajar.