"Bu, apa ibu tidak kesepian di sini sendiri?" tanya Fika dengan raut muka bersalah. Fika yang selama ini bersamaku, anak perempuanku satu- satunya itu akhirnya meninggalkan rumah demi cita- cita yang selama ini dia impikan. Aku bahagia atas itu, walau berat sekali melepasnya untuk tinggal di tanah Jawa.
"Ibu baik- baik saja, Fik. Lagian nanti kan ada Lutfi yang jaga ibu. Kamu sendiri kan yang menyuruh dia singgah kesini seminggu sekali demi ibu? Untung dia manut ya sama kamu, Fik.”
Lutfi adalah kekasih Fika sejak SMA, dia anak yang baik dan sangat menyayangi Fika. Aku pun sudah menganggapnya seperti anakku sendiri, setelah Habib lebih dulu meninggalkan rumah pasca menikah 4 tahun lalu dan menetap di Jakarta.
“Iya bu. Fika usahakan 3 bulan sekali mengambil cuti untuk pulang. Lutfi sudah janji sama Fika bakal jagain ibu kok. Nanti kalau ada apa- apa, Fika dikabarin ya, bu.” dia mengecup keningku, air matanya jatuh persis di kelopak mataku.
“Sudah, nanti keburu take off. Kabarin ibu kalau sudah sampai ya” aku memeluknya lalu kubiarkan dia beranjak menuju pintu keberangkatan bandara. Selalu lindungi dia Tuhan, dimana pun dia berada.
***
“Nanti kalau ibu butuh alat dan bahannya, Lutfi temani mencarinya ya bu.”
“Iya Fi, makasih ya bilangin ke Fika. Nanti ibu baca- baca kalau lagi nggak males ya”
“Fika hari ini belum menelepon ya, bu? Lutfi teleponkan ya mumpung masih jam istirahat” handphonenya mulai diotak- atik.
“Ibu sehat?” suara cerianya menyambutku di ujung sana.
“Sehat sayang, kamu gimana? Makan siangnya apa? Jangan lupa sayurnya loh”
“Iya, hari ini sayurnya bayam, tapi manis bu. Beda sama punya ibu.”
Iya, gadisku itu paling anti dengan sayuran, kalau bukan karena aku dan Lutfi yang memaksa, mana mau dia mengkonsumsinya.
***
Setahun, 2 tahun, 3 tahun, dan tahun- tahun berjalan sama seperti yang sebelumnya, sampai akhirnya Fika memutuskan untuk resign dan kembali ke rumah. Aku bertanya dalam hati, apa kondisiku sudah sangat memprihatinkan untuknya? Sampai dia harus meninggalkan pekerjaan yang selama ini dia idam- idamkan?
“Bu, apa boleh Lutfi menikahi Fika?” anak itu menghadapku dengan wajah yang sangat serius dibanding biasanya.
“Tentu, nak Lutfi”
“Tapi bu, tidak lama lagi Lutfi akan dipindah tugaskan ke luar negeri, apa ibu tidak keberatan jika Fika ikut bersama Lutfi?” anak laki- laki ini memandangku dalam- dalam.
Aku masih diam. Diam karena bingung harus menjawab apa, diam karena bahagia anakku akan dipersunting lelaki baik seperti nak Lutfi, diam karena artinya Fika akan pergi lagi, diam karena aku tidak tahu aku harus bahagia atau sedih dengan ini semua.
“Bu, ibu ikut kita saja ya kesana. Nanti kan Fika jadi ada temannya.” Fika merangkulku hangat.
“Ibu bahagia mendengarnya, kapan rencana kalian, nak?” ntahlah tiba- tiba pertanyaan itu yang keluar dari mulutku, dan pertanyaan Fika masih berputar- putar hebat di kepala, aku bingung.
“Akhir tahun ini bu, mau ya bu ikut kita?” tanya Lutfi
“Bukannya ibu nggak mau sayang, tapi nanti rumah ini siapa yang menempati? Ayah dulu bilang sama ibu untuk selalu menjaga rumah ini, satu- satunya yang ibu dan ayah punya, hasil perjuangan kami selama menikah, nak”
“Tapi bu, Fika nggak bisa ninggalin ibu sendirian disini”
“Memangnya ibu sendirian? Nggak lah, ayah kan juga selalu disini”
“Ibu….” mata Fika berkaca- kaca.
“Nanti ibu minta ada satu orang saja yang nemenin ibu dirumah, paling nggak buat temen ngobrol sama bantuin beres- beres, kan selama ini ibu nggak mau karena masih kuat, tapi kayaknya nanti bakal butuh deh” aku memasang wajah santai.
“Pasti bu, Fika akan carikan yang terbaik buat ibu. Nanti juga Fika bakal bilang ke kak Habib supaya rajin main kesini, kan deket dari Jakarta. Lagian nanti tiap libur tahunan Fika bakal usahain pulang kok, bu.” Fika terlihat agak tenang.
“Terima kasih ya sayang” kukecup kening Fika, lama.
***
Antusiasku sore itu terasa sekali, Fika dan Lutfi akan pulang. Aku membantu Sarah memasak di dapur dengan tenaga semampuku. Kulihat jam dinding yang rasanya berputar lama sekali, masih jam 2 siang. Mereka bilang jam 5 sore baru akan landing di Jakarta dan melakukan perjalanan sejam lagi untuk sampai di kota ini.
Makan malam sudah siap, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, tapi bukan kabar dari Fika dan Lutfi yang aku dapat melainkan Habib yang mengabarkanku bahwa ia akan tiba dirumah 15 menit lagi. Tentu aku terkejut dan bahagia, itu artinya kami bisa makan malam bersama.
Aku menantinya di pintu rumah, dan Habib datang memelukku lama sekali, napasnya seperti diburu, terdengar detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Perlahan suaranya memarau dan isak tangis pun pecah.
“Fika dan Lutfi tidak bisa datang makan malam bersama kita bu, mereka tidak bisa bersama kita lagi saat ini, bu” suaranya terbata- bata.
Aku berusaha mencerna apa yang barusan kudengar dari Habib, tapi entah kenapa terasa sulit sekali. Aku melepaskan pelukan itu dan menatapnya dalam- dalam.
“Ada apa, bib?” mataku mulai basah dan dadaku mulai sesak. Tangisku tumpah, kakiku lemas seketika. Pikiranku kacau. Aku menantikan kepulangan mereka, dan ternyata Tuhan lebih dulu memanggil mereka pulang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar