“How’s life?” sapaku lirih.
“Good, as usuall. You too, kan?”
dia tersenyum paksa.
“Bisa- bisanya dia berkata aku baik- baik saja. Dasar bodoh!” gumamku.
“Tidak ada yang lebih baik dari
saat tahu tentang kabarmu yang 3 tahun ini menghilang, Ndre. Dan lebih baik
kamu tak usah menanyakan kembali kabarku. Bukankah selama ini kamu selalu tahu?
Kurang puas kamu melihatku begini? ”
“Sabar dulu, Key. Yuk masuk”
“Hahaha aku sudah lelah mendengar
nama sabar disebut- sebut selama ini. Aku sudah khatam!” jawabku sedikit
berapi.
Aku mengikuti langkahnya, menuju
sebuah ruangan dilantai 2.
=0=
Tak ada kata- kata dalam lima belas menit pertama. Mataku hanya memandang kosong kearah jendela. Begitu pula dia tampaknya.
“Jangan bertanya kenapa, Key. Aku
mohon” suaranya memecah keheningan.
“Hahaha iya, lalu jangan salahkan
aku jika aku mati penasaran sekarang juga ya” jawabku sambil tertawa sinis.
“Suatu saat kamu pasti ngerti,
dan ini semua demi kebaikan kita, Key”
“Kita? Siapa kita yang kamu
maksud? Aku dan kamu? Sejak kapan ada hubungannya aku dan kamu? Aku hanya adik
tingkatmu yang bodoh yang tidak pernah sadar bahwa kebodohan ini memang hanya
kesia- siaan. Iya kan?” suaraku mulai bergetar menahan tangis.
“Lalu kamu bilang demi kebaikan
kita? Hahaha lucu sekali kamu ini Andre. Mungkin yang ada dibenakmu sekarang
aku adalah seorang gadis kecil yang datang meminta belas kasihan dari kamu,
yang sudah aku nantikan kepulangannya 3 tahun yang lalu. Menanti sebuah
kepastian yang nyatanya tak pernah pasti. Sebegitu bodohnyakah aku dimatamu
ya?” air mataku tak bisa aku tahan lagi. Isakku menjadi- jadi.
Andre hanya menunduk, mulai
melangkahkan kakinya mendekati tempat aku terduduk. Kurasakan lengan besarnya
mendekap tubuhku dengan erat. Terasa lebih tenang, namun menyakitkan.
“Kamu akan tetap selalu indah
sampai kapan pun, Key. Kamu adalah satu- satunya wanita yang sampai saat ini
aku kagumi, aku rindukan dan aku sayangi. Maafin aku” suaranya yang sedikit
berat itu terdengar begitu tulus.
“Bukan salah kamu, aku atau
waktu. Perasaan yang kita punya ini yang salah, Key. Sangat salah.”
Aku
tersentak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Andre barusan. Aku mencoba
mencerna. Tapi tetap tak paham. Aku bodoh.
=0=
Perbincangan aku dan Andre hari
itu tergantung dikalimat yang sulit dicerna itu. Dia tak ingin membahas lebih
lanjut dan aku pun masih berusaha memecahkan tanda tanya itu dengan sendirinya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat penginapan, aku yang diantar Andre hanya
terdiam termenung di dalam mobil.
“Kamu tunggu bentar ya, gak usah
dipikirin masalah tadi, besok pagi kita bicarakan lagi” dia turun dari mobil
dan menuju ATM yang berada dikiri jalan tempat parkir ini.
Aku tak menjawab dan kubiarkan
dia berlalu meninggalkan aku di dalam mobil. Kulihat sekitarku, dan sebuah
barang di dashboard depan itu menarik perhatianku. Kuambil, kulihat- lihat,
tampaknya tak asing benda ini, sebuah cincin giok berukuran sedang dan didalam
lingkarannya bertulis nama…. Bram.
=0=
Bram Santoso adalah lelaki yang aku
lihat di pintu resto sebelum bertemu Andre. Sosok yang aku bilang pernah
menjadi seorang papa buat aku. Tapi bukan itu yang saat ini menjadi masalah,
tapi…apa hubungan antara Andre dan Papa yang sebenarnya? Apakah?
=0=
Bila cinta tak pernah salah, kenapa aku harus merasakan rasa yang tidak
seharusnya ini? Apakah cinta tetap tidak mau disalahkan? Apakah kesalahannya
terletak pada insan yang menjalaninya? Apakah yang salah keadaan? Apa? Tuhan
aku butuh satu alasan untuk ini. Aku tak pernah ingin merasakan perasaan ini,
jika akhirnya hanya ketidakpantasan. Aku cukup lelah dihari- hari kemarin.
Tidak bolehkah aku sedikit bahagia, Tuhan?
Dengan
keadaan yang seperti saat ini, aku masih tak mau banyak bicara pada Andre
ataupun Papa. Aku merasa dipermainkan dan memang begitu menyakitkan. Aku dan
Andre adalah saudara tiri yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Andre
menghilang dariku 3 tahun lalu karena dia takut akan kenyataan yang ia ketahui terlebih
dulu dari aku ini.
Ibu Andre
adalah istri pertama Papa, dan saat beliau menikahi mamaku memang keadaan
keluarga Andre saat itu sedang tidak terlalu baik. Sebelas tahun Papa hidup
bersama mama dan aku. Yang aku tahu Papa selalu pulang kerumah setiap akhir
minggu lalu kembali bekerja lagi keesokkan harinya diluar kota. Entah aku yang
memang masih lugu atau aku terlalu bodoh tidak menyadari itu semua. Saat usiaku
menginjak 10 tahun, Papa tidak pernah lagi pulang kerumah di akhir pekan,
seperti biasanya. Ternyata saat itu, Papa dan keluarga Andre sudah kembali
memulai kehidupan yang lebih baik, bahagianya mereka.
Sejak
saat itu, hidupku dan mama memang terbiasa tanpa sosok pria yang melindungi,
sampai akhirnya saat aku bertemu Andre, si pemilik mata hangat yang sejak kecil
aku rindukan.
=0=
“Selamat menempuh hidup baru,
sayang” ucap Andre seraya mengecup keningku.
“Iya mas, akhirnya aku merasakan
apa itu arti kebahagiaan yang sebenarnya” jawabku sembari menggandeng tangan lelakiku
saat ini, Taher, suamiku.
“Her,
kamu harus jaga adikku ini dengan baik. Kalau kamu sampai macam- macam, kamu tahu kan akan berhadapan dengan siapa
hahaha” Andre menyiku lengan suami tampanku.
=0=
Hidupku terasa lengkap dengan
keluarga yang selama ini aku idam- idamkan, ditambah seseorang yang luar biasa
dan nyaris sempurna seperti suamiku. Pertemuanku dengan Mas Andre adalah awal
dari semua kesempurnaan ini. Tidak ada yang bisa kupungkiri jika hatiku saat
ini mengalami proses “pembelokkan”. Mengubah arah hati kearah yang tak kuduga,
dan terjadi pergeseran rasa yang tanpa aku paksa. Semuanya begitu natural
berubah. Indah.
Aku dan Taher, Cicil dan keluarga
kecilnya, Papa dan Mamaku yang kembali bersama, Iqbal dan calon istrinya, Mas
Andre dan kesendiriannya tampak kompak berpose diatas pelaminan kami.
Cheeeeesss!
Tidak ada pertemuan yang berakhir dengan kesia- siaan. Jika pertemuan
itu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan. Percayalah ada hal lain yang Tuhan
maksudkan. Dengan proses “pembelokkan” hati, kamu akan mudah mengontrol diri,
bukan didikte oleh hati. Jika dengan kehilangan satu cinta, kamu malah
mendapatkan berjuta kali lipat imbalannya, siapa yang bisa menolak?
-Tamat-
Yogyakarta, Februari 2013
Twit Ajeng Pertiwi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar