Senin, 18 Agustus 2014

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

“Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.” 

13414402

Tere Liye kali ini membawaku ke tepian sungai Kapuas bersama novelnya yang berjudul Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Tokoh utamanya adalah Borno atau si ‘bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas’. Borno yang saat itu berprofesi sebagai pengemudi sepit (perahu kayu, panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel a.k.a speed) jatuh hati pada seorang gadis peranakan Cina bernama Mei, yang mengajar di salah satu SD di Pontianak. 

Semua berawal dari amplop merah yang Borno temukan di sepitnya. Amplop itu masih dia simpan, belum terbuka sama sekali karena sepengetahuannya amplop itu hanyalah angpau biasa dari Mei yang sengaja dibagikan ke penduduk sekitar. Tapi siapa sangka, di balik amplop itu menyimpan cerita yang amat mendalam bagi keduanya, yang cukup membuat rumit kisah mereka.

"Ibu, usiaku dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang diam-diam kukagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya, sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu mulai muncul kecambahnya."

Novel ini tidak melulu menceritakan kisah cinta antar keduanya, tapi banyak juga mengajarkan kita tentang hidup, persahabatan dan indahnya kebersamaan. Seperti adanya si dokter gigi cantik nan ceria bernama Sarah, Ibu Borno, Andi dan bapaknya, Cik Tulani, Koh Acong, Bang Tigor, Jauhari, dan Pak Tua yang membuat kisah ini semakin menarik.

Di dalamnya juga menggambarkan tentang bagaimana cinta mampu mengikis kebencian, seperti Borno dan Mei. Ia mampu memaafkan masa lalu, berupaya melakukan yang terbaik untuk hari ini dan percaya akan masa depan yang lebih baik.

 “Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau cueki, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan”.

Sebuah kisah sederhana tapi penuh warna sih menurutku, walaupun aku sendiri agak lama untuk melahap buku ini hehe. Petuah- petuah Pak Tua yang selalu keren serta kisah Fulan dan Fulani menjadi bagian terfavoritku. Aih, jadi pengen main ke Pontianak :D
 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar