“Langit
selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi
hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan
riang.”
Tere
Liye kali ini membawaku ke tepian sungai Kapuas bersama novelnya yang berjudul
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Tokoh utamanya adalah Borno atau si ‘bujang
berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas’. Borno yang saat itu berprofesi
sebagai pengemudi sepit (perahu kayu, panjang lima meter, lebar satu meter,
dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel a.k.a speed) jatuh hati pada seorang gadis peranakan
Cina bernama Mei, yang mengajar di salah satu SD di Pontianak.
Semua berawal dari amplop merah yang Borno temukan
di sepitnya. Amplop itu masih dia simpan, belum terbuka sama sekali karena
sepengetahuannya amplop itu hanyalah angpau biasa dari Mei yang sengaja
dibagikan ke penduduk sekitar. Tapi siapa sangka, di balik amplop itu menyimpan
cerita yang amat mendalam bagi keduanya, yang cukup membuat rumit kisah mereka.
"Ibu, usiaku dua puluh
dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang
salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seseorang yang
diam-diam kukagumi. Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan,
aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada
sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.
Sayangnya, sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu
mulai muncul kecambahnya."
Novel ini tidak melulu menceritakan kisah cinta
antar keduanya, tapi banyak juga mengajarkan kita tentang hidup, persahabatan
dan indahnya kebersamaan. Seperti adanya si
dokter gigi cantik nan ceria bernama Sarah, Ibu Borno, Andi dan bapaknya, Cik
Tulani, Koh Acong, Bang Tigor, Jauhari, dan Pak Tua yang membuat kisah ini
semakin menarik.
Di
dalamnya juga menggambarkan tentang bagaimana cinta mampu mengikis kebencian,
seperti Borno dan Mei. Ia mampu memaafkan masa lalu, berupaya melakukan yang
terbaik untuk hari ini dan percaya akan masa depan yang lebih baik.
“Cinta hanyalah
segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang,
gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin.
Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut
cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggumpal
membesar. Coba saja kau cueki, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan
cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan”.
Sebuah
kisah sederhana tapi penuh warna sih menurutku, walaupun aku sendiri agak lama
untuk melahap buku ini hehe. Petuah- petuah Pak Tua yang selalu keren serta
kisah Fulan dan Fulani menjadi bagian terfavoritku. Aih, jadi pengen main ke
Pontianak :D
Tidak ada komentar :
Posting Komentar