"Jika lelaki tidak suka bicara dan hanya akan mengoceh pada perempuan yang berarti baginya, perempuan seringkali berlaku sebaliknya. Dia yang mulutnya banyak bercakap, akan seketika membisu dan tidak punya daya upaya di depan lelaki yang dicintainya, bahkan untuk membela diri. Ah, kemudian semua kata-kata dalam otaknya hanya akan menjadi kerak yang kemudian disimpan rapat supaya tidak memperkeruh suasana."
source here
tentang diam seorang perempuan, yang sejatinya bukan tidak butuh pembelaan melainkan bentuk penghormatan kepada mereka si pemimpin berlayar.
Rabu, 28 Agustus 2013
Minggu, 25 Agustus 2013
Hai, mbang!
Salam,
Saat tahu tema dari tugas Penamerah minggu ini adalah "orang di masa lalu", tiba-tiba langsung keinget mantan aja deh #eh. Tapi tenang, pembahasan kali ini gak bakal bawa-bawa mantan pacar karena pastinya akan menyulut perang dunia ketiga kalau si Adit baca (re: karena doi hobi stalking blog ini) muehehe Maka dari itu, orang di masa lalu yang akan di bahas kali ini adalah tentang cinta monyet jaman TK! (lirik Adit, aman, oke lanjut).
Nah, jaman-jamannya aku masih bocah banget ya bisa dibilang buat elap ingus aja belum bener, aku sempet punya cinta monyetan di masa TK. Bukan, bukan suka- sukaan sama monyet atau makan pisang romantis menyerupai monyet. Tapi ya gitu deh, kalian pasti ngerti dan pernah merasakannya.
Sebut saja, Bambang (bukan nama sebenarnya) teman satu kelasku yang begitu charming dan baik hati. Mungkin itu yang membuat aku menyukainya.
Bagaimana tidak, setiap jam istirahat dia selalu membagikan bekal makanannya untukku bahkan menyiapkan tempat duduk untukku persis disebelahnya. Sebagai gadis unyu yang begitu polos, aku terenyuh. Ya, walaupun sebenarnya aku begitu karena tidak bisa menutupi kebahagiaanku yang begitu besar karena berarti jatah makanku bertambah dan bervariasi setiap harinya. Siapa yang tidak bahagia, kan?
Bambang pun memiliki nilai plus lainnya, dia bagai pahlawan yang datang untuk menyelamatkanku dari persaingan memperebutkan ayunan di jam istirahat. Iya maklum saja, jumlah ayunan dan siswa di TK-ku dulu sangatlah tidak sebanding, mau tidak mau kami semua berprinsip "siapa cepat, dia dapat" dan tidak pandang buluh siapa saja pesaingnya. Tapi Bambang selalu berhasil mengalahkan siswa lainnya dan dia pun mempersembahkan ayunan itu untukku. How so sweet he is, right?
Itulah mungkin yang membuat hari- hariku di TK penuh dengan warna. Aku selalu bersemangat menjalani hari, tidak sabar menanti saat-saat memakan bekal, dan bermain di jam istirahat. Itu semua tak lain karena Bambang. Tapi masa-masa indah itu berakhir seiring dengan berakhirnya masa sekolah. Pfffft.
Saat melanjutkan sekolah ke jenjang SD kami bersekolah di tempat yang berbeda, jadi aku benar-benar tidak pernah bertemu dengannya lagi. Hingga suatu waktu di saat aku duduk sebagai siswa kelas 5 SD, ada seorang murid baru pindah ke sekolahku. Aku seperti mengenal sosok itu, tapi masih ragu. Aku mengamatinya berulang kali hingga aku benar- benar yakin bahwa itu adalah cinta monyetku dulu. Iya, Bambang.
Tapi kali ini aku pura-pura lupa ingatan karena Bambang yang ada di depan sana sangat jauh berbeda dengan Bambang yang unyu di masa TK, aaaaah tak usah aku deskripsikan. Bayangkan saja anak laki-laki kelas 5 SD yang hobi mengejar layangan putus di siang hari yang terik, begitulah sosoknya kira-kira. Huuuuft aku bagai butiran debu.
Sekian dulu cerita tentang orang di masa laluku. Semoga Bambang tidak pernah menemukan blog ini dan sudah melupakan masa-masa unyu kami kala itu. Salam damai selalu ^^
Saat tahu tema dari tugas Penamerah minggu ini adalah "orang di masa lalu", tiba-tiba langsung keinget mantan aja deh #eh. Tapi tenang, pembahasan kali ini gak bakal bawa-bawa mantan pacar karena pastinya akan menyulut perang dunia ketiga kalau si Adit baca (re: karena doi hobi stalking blog ini) muehehe Maka dari itu, orang di masa lalu yang akan di bahas kali ini adalah tentang cinta monyet jaman TK! (lirik Adit, aman, oke lanjut).
Nah, jaman-jamannya aku masih bocah banget ya bisa dibilang buat elap ingus aja belum bener, aku sempet punya cinta monyetan di masa TK. Bukan, bukan suka- sukaan sama monyet atau makan pisang romantis menyerupai monyet. Tapi ya gitu deh, kalian pasti ngerti dan pernah merasakannya.
Sebut saja, Bambang (bukan nama sebenarnya) teman satu kelasku yang begitu charming dan baik hati. Mungkin itu yang membuat aku menyukainya.
Bagaimana tidak, setiap jam istirahat dia selalu membagikan bekal makanannya untukku bahkan menyiapkan tempat duduk untukku persis disebelahnya. Sebagai gadis unyu yang begitu polos, aku terenyuh. Ya, walaupun sebenarnya aku begitu karena tidak bisa menutupi kebahagiaanku yang begitu besar karena berarti jatah makanku bertambah dan bervariasi setiap harinya. Siapa yang tidak bahagia, kan?
Bambang pun memiliki nilai plus lainnya, dia bagai pahlawan yang datang untuk menyelamatkanku dari persaingan memperebutkan ayunan di jam istirahat. Iya maklum saja, jumlah ayunan dan siswa di TK-ku dulu sangatlah tidak sebanding, mau tidak mau kami semua berprinsip "siapa cepat, dia dapat" dan tidak pandang buluh siapa saja pesaingnya. Tapi Bambang selalu berhasil mengalahkan siswa lainnya dan dia pun mempersembahkan ayunan itu untukku. How so sweet he is, right?
Itulah mungkin yang membuat hari- hariku di TK penuh dengan warna. Aku selalu bersemangat menjalani hari, tidak sabar menanti saat-saat memakan bekal, dan bermain di jam istirahat. Itu semua tak lain karena Bambang. Tapi masa-masa indah itu berakhir seiring dengan berakhirnya masa sekolah. Pfffft.
Saat melanjutkan sekolah ke jenjang SD kami bersekolah di tempat yang berbeda, jadi aku benar-benar tidak pernah bertemu dengannya lagi. Hingga suatu waktu di saat aku duduk sebagai siswa kelas 5 SD, ada seorang murid baru pindah ke sekolahku. Aku seperti mengenal sosok itu, tapi masih ragu. Aku mengamatinya berulang kali hingga aku benar- benar yakin bahwa itu adalah cinta monyetku dulu. Iya, Bambang.
Tapi kali ini aku pura-pura lupa ingatan karena Bambang yang ada di depan sana sangat jauh berbeda dengan Bambang yang unyu di masa TK, aaaaah tak usah aku deskripsikan. Bayangkan saja anak laki-laki kelas 5 SD yang hobi mengejar layangan putus di siang hari yang terik, begitulah sosoknya kira-kira. Huuuuft aku bagai butiran debu.
Sekian dulu cerita tentang orang di masa laluku. Semoga Bambang tidak pernah menemukan blog ini dan sudah melupakan masa-masa unyu kami kala itu. Salam damai selalu ^^
Sabtu, 24 Agustus 2013
Zona Aman
Entah kenapa di sepanjang
perjalanan menuju kantor pagi ini, banyak hal yang tiba- tiba melintas tanpa
assalamuailkum di kepala. Belakangan, aku memang jadi hobi berpikir
tentang diri sendiri, tentang apa yang sedang dijalani dan tentang mimpi- mimpi
yang tersedat selama ini.
Aku diam beberapa
waktu, saat di dalam diri ada pergelutan hebat dan lemparan tanya jawab tentang apa sih passionku yang sebenarnya dan
apakah aku telah melakukan semuanya sesuai dengan passion itu? Atau malah menjauhkanku
darinya? Atau malah mungkin, aku melupakannya?
Iya, melupakan. Lalu,
apa sebenarnya yang membuatku bisa lupa pada sebuah passion yang sejatinya
sangat penting dalam sebuah proses hidup? Ternyata sebuah zona aman yang mengendalikannya.
Sebuah zona yang membuat kamu enggan beranjak dan tanpa sadar telah
mempermainkanmu dengan embel- embel kenyaman di dalamnya.
Aku diam lagi,
namun kali ini berpikir lebih dalam. Ternyata, zona aman adalah sebuah kotak energi
dimana di dalamnya ada kekuatan tarik- menarik yang cukup besar antara kebahagian instan dan ketidakpuasan pencapaian yang menyebabkan
pergesaran mindset. Dan sebenarnya zona aman itu sendiri adalah
pembatas ruang gerak yang mematikan diri.
Sebenarnya siapa sih yang tidak bahagia berada di posisi aman? Tidak perlu bersusah- susah mengenal apa arti “memperjuangkan”, toh kamu tidak akan mendapatkan resiko tidak bahagia kan? Karena adanya “jaminan” aman itu tadi.
Tapi ternyata
tidak sesimpel itu untuk menjadi bahagia. Semakin kamu mencoba menikmati keberadaanmu di dalam zona ini, malah semakin membuat kamu bukan menjadi kamu yang sebenarnya. Menjadi
kamu yang bukan maunya kamu. Menjadi kamu yang “yaudah sih jalani aja”. Menjadi
kamu yang tidak punya tujuan pasti. Menjadi kamu yang rancu. Akh,
mulai susah dimengerti ya? Iya aku pun.
Lalu aku berpikir
lagi, diantara aman dan nyaman itu tadi sebenarnya ada faktor ketakutan yang lebih
mendominasi, yang menghadirkan kemalasan untuk maju, untuk mengejar sesuatu.
Sebenarnya aku tahu dengan jelas apa yang menjadi passionku, tapi aku terlalu bermain aman atas apa yang aku jalani. Aku berpikir bahwa waktu bisa memberikanku pemahaman tentang ini, tapi aku salah. Semakin lama aku mencoba memahami dan terus menunggu pemahaman itu, aku malah merasa semakin bodoh. Tidak punya apresiasi atas prestasi, ya begitulah kira-kira.
Mungkin kalau
bukan karena rasa ketidaknyamanan yang perlahan muncul atas aman yang terus
menerus, karena buku Rich Dad Poor Dad yang aku baca beberapa hari lalu dan karena
Adit yang memancingku untuk berpikir tentang ini, aku mungkin akan terkurung
lebih lama lagi di zona ini.
Iya, karena saat kamu berani keluar dari zona aman,
saat itulah kamu menemukan kamu yang baru atau bahkan kamu yang sesungguhnya. Iya, dan
aku ingin begitu.
Rabu, 21 Agustus 2013
Angin
"Bu,"
"Ya?"
"Tadi aku belajar tentang angin. Pelajaran sains."
"Oh ya? Apa saja yang kau pelajari?"
"Tentang definisi angin, sifat angin, segala hal tentang angin, Bu. Banyak hal."
"Hmm. Ayo ceritakan pada Ibu,"
"Jadi… awalnya kami belajar definisi angin. Angin adalah ‘udara yang bergerak’. Itu jawaban Andi. Angin adalah ‘benda yang bisa menggerakkan benda lain.’ kata Susi."
"Mmm. Kalau kamu jawab apa, Sanu?"
"Angin adalah ‘pembawa kabar rindu; benda tak terlihat yang dapat menyampaikan rasa; media tak berwujud yang meski tak bisa dilihat, namun tanpanya dunia ini mungkin sangat panas’."
(source: dentykusuma)
Angin adalah pengemban amanah, tidak pandang buluh kepada siapa, kemana dan sejauh apa perjalanannya. Ia terus saja berkelana dan membawa serta merta tugasnya untuk menyampaikan pesan yang biasa aku titipkan di saat tak ada temu, namun menghadirkan setumpuk rindu.
-twit ajeng pertiwi, 20 th, antara puitis dan lagi liyer-liyer di sela jam kerja-
"Ya?"
"Tadi aku belajar tentang angin. Pelajaran sains."
"Oh ya? Apa saja yang kau pelajari?"
"Tentang definisi angin, sifat angin, segala hal tentang angin, Bu. Banyak hal."
"Hmm. Ayo ceritakan pada Ibu,"
"Jadi… awalnya kami belajar definisi angin. Angin adalah ‘udara yang bergerak’. Itu jawaban Andi. Angin adalah ‘benda yang bisa menggerakkan benda lain.’ kata Susi."
"Mmm. Kalau kamu jawab apa, Sanu?"
"Angin adalah ‘pembawa kabar rindu; benda tak terlihat yang dapat menyampaikan rasa; media tak berwujud yang meski tak bisa dilihat, namun tanpanya dunia ini mungkin sangat panas’."
(source: dentykusuma)
Angin adalah pengemban amanah, tidak pandang buluh kepada siapa, kemana dan sejauh apa perjalanannya. Ia terus saja berkelana dan membawa serta merta tugasnya untuk menyampaikan pesan yang biasa aku titipkan di saat tak ada temu, namun menghadirkan setumpuk rindu.
-twit ajeng pertiwi, 20 th, antara puitis dan lagi liyer-liyer di sela jam kerja-
Selasa, 20 Agustus 2013
" Perempuan tidak seperti laki-laki, kawan. (sebagian) Laki-laki
melihat perempuan SAAT INI, di masa ini, di depan mata, apakah dia
cantik dan pantas dibawa ke kondangan atau tidak, tanpa mau membayangkan
bahwa di masa depan tubuh dan wajah itu akan menua.
Sedangkan perempuan melihat laki-laki dengan mesin waktu, dia melompat jauh ke depan, membayangkan bisa jadi apakah lelaki ini NANTI? Bisakah dia mengikutinya maju? Punyakah dia ambisi untuk menjadi lebih baik? Terasakah aura pekerja kerasnya untuk menghadapi HARI ESOK?"
Sedangkan perempuan melihat laki-laki dengan mesin waktu, dia melompat jauh ke depan, membayangkan bisa jadi apakah lelaki ini NANTI? Bisakah dia mengikutinya maju? Punyakah dia ambisi untuk menjadi lebih baik? Terasakah aura pekerja kerasnya untuk menghadapi HARI ESOK?"
Source here
Totally agree!
Kamis, 15 Agustus 2013
Kutipan
"Begitu banyak hidup orang berubah lantaran
sebuah pertemuan. Disebabkan hal itu, umat Islam disarankan melihat
banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang supaya nasibnya berubah." - Andrea Hirata (via dentykusuma)
Happy Eid Mubarak
Selamat Hari Raya
Idul Fitri 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin ya, semua! :D
Tulisan ini
ditujukan kepada mbak- mbak Penamerah guna melengkapi tugas ketiga yang bertema
“Lebaran”.
Nah, lebaranku
tahun ini bisa dibilang cukup berbeda dari tahun- tahun sebelumnya. Feel kemenangannya
lebih berasa. Momen kumpul keluarga besarnya pun lebih berkualitas. Entah
ini faktor umur atau memang akunya yang baru sadar.
Dulu, setiap
lebaran dan ngumpul dengan keluarga besar (di Yogya), rasanya agak canggung,
nggak bisa lepas, dan ngerasa kurang afdol karena jauh dari Mama, Mas dan Adek
di Bengkulu.
Tapi untuk tahun
ini malah sebaliknya, aku bisa enjoy banget waktu ngumpul bareng mereka,
ngerasain acara trah keluarga di Klaten (3 harian men), kumpul gadis dengan
para sepupu, piknik keluarga besar, momong keponakan, ngerasain gimana rasanya
ditodong thr, ketagihan main kartu bareng tante-tante, ngomongin masalah
sekolah sampai ke karir, pun masalah calon menyalon.
Rumah Mbah di
Rejowinangun pasti jadi basecamp wajib di Lebaran hari pertama. Dimulai dari
acara sungkeman yang mengharu biru (first time pake acara nangis- nangisan cuma
gegara ini), lanjut telepon orang
rumah di Bengkulu satu per satu sampai jam makan jadi mundur, makan besar dengan menu standar lebaran dan bagi-
bagi duit! (first time juga nggak kebagian jatah lagi). Lanjut piknik ke Pantai
Baru dengan suasananya yang adem dan sepiiiiii banget (jadi berasa punya pribadi
huehehe ). Aaaah, how lucky i was here with them, God. Thanks!
Nah, yang pasti dari hari pertama sampai hari ketiga lebaran, aku masih sibuk menghadiri trah keluarga dari Om di
Klaten yang sebelumnya seumur- umur di Bengkulu nggak pernah aku rasain. Salim dan
cipika- cipiki ke tiap orang yang ditemuin disana, makan dari rumah keluarga satu ke rumah
keluarga lainnya, dan bla- bla lainnya lagi bareng sesepuh. Ribet sih, tapi
seneng.
Momen setahun
sekali versi Bengkulu- Palembang dan Yogya-Klaten ini memang beda. Dari segi
makanan sampai ke tradisinya. Nggak ada pempek dan tekwan, tapi disini
tetep ada opor dan rendang, nggak ada acara nyekar ke tempat Papa, tapi disini ke tempat Mbah Putri, nggak keliling ke rumah tetangga, tapi ada trah keluarga besar yang nyaris satu desa.
Jumat, 02 Agustus 2013
Anonymous #1
Tentang tanya yang belum terjawab.
Tentang hati yang tak kunjung berani mengakui. Tentang kita yang menerka- nerka
rasa.
Percayakah kamu pada love at the sight? Tidak bisa dipungkiri, aku percaya. Sering kali aku menyukai lelaki hanya karena cara berpakaiannya, cara bicaranya, atau sekedar rupanya yang elok nan enak dipandang mata. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.
Lalu, apa kamu percaya pada click on the first conversation? Nah, untuk ini aku sangat setuju dan mempercayai keabsahannya.
Menurutku, pribadi seseorang bisa dilihat dari bagaimana cara ia mengelola sebuah obrolan. Entah nanti menjadi "garing" atau malah mengesankan. Iya, kesan pertama. Bukankah manusia memiliki “hobi” menilai sesuatu by its cover? Nah, jadi jangan salahkan jika kita sering kali fanatik oleh kesan pertama.
Pagi itu, melalui chat jejaring sosial Facebook, aku menerima pesan dari dia yang dulunya begitu asing. Obrolan ringan namun tidak hambar, membuat jemariku "lancang" dan mengikhlaskan deretan nomor telepon genggamku berpindah ke daftar nomor teleponnya. Entah dedemit apa yang sempat mampir, sebelum akhirnya aku sadar.
Beberapa saat kemudian, telepon genggamku bergetar dan pesan singkat tanpa nama terpampang di layar. Iya, itu adalah awal dimana obrolan panjang ini dimulai.
Tidak butuh waktu lama untuk sekedar berbasa- basi. Hari ke- 4 aku mengenalnya secara maya, akhirnya pertemuan nyata menambah panjang deretan cerita.
Akhirnya aku tahu siapa pemilik suara berat yang berjam- jam mengisi ruang di telingaku setiap malam dengan obrolan yang tak berjeda. Akhirnya aku tahu bagaimana cara menginterpretasikan mimik wajahnya saat pesan- pesan konyol yang memenuhi inbox-ku itu hilir mudik secara konstan. Aku seperti menemukan teman ngobrol yang sudah lama aku kenal. Sangat lama.
Kita tidak pernah tahu bagaimana Tuhan membuat sebuah alur pertemuan. Kepada siapa, kapan dan dimana hati akan ditautkan. Mungkin hanya melalui celah kecil yang dulunya begitu enggan kita intip lebih dalam, namun kini berubah menjadi pintu masuk untuk dia yang baru saja mengetuk.
Hari ini, minggu ke- 2 dari awal perkenalan itu, tampaknya waktu sedang teramat baik dengan memperlambat perputarannya, hingga membiarkan kami saling mengenal, berbagi, dan melengkapi begitu saja tanpa harus pernah berjabat tangan sebelumnya dan bertanya, " Kamu Radit? Aku Tia".
Percayakah kamu pada love at the sight? Tidak bisa dipungkiri, aku percaya. Sering kali aku menyukai lelaki hanya karena cara berpakaiannya, cara bicaranya, atau sekedar rupanya yang elok nan enak dipandang mata. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.
Lalu, apa kamu percaya pada click on the first conversation? Nah, untuk ini aku sangat setuju dan mempercayai keabsahannya.
Menurutku, pribadi seseorang bisa dilihat dari bagaimana cara ia mengelola sebuah obrolan. Entah nanti menjadi "garing" atau malah mengesankan. Iya, kesan pertama. Bukankah manusia memiliki “hobi” menilai sesuatu by its cover? Nah, jadi jangan salahkan jika kita sering kali fanatik oleh kesan pertama.
Pagi itu, melalui chat jejaring sosial Facebook, aku menerima pesan dari dia yang dulunya begitu asing. Obrolan ringan namun tidak hambar, membuat jemariku "lancang" dan mengikhlaskan deretan nomor telepon genggamku berpindah ke daftar nomor teleponnya. Entah dedemit apa yang sempat mampir, sebelum akhirnya aku sadar.
Beberapa saat kemudian, telepon genggamku bergetar dan pesan singkat tanpa nama terpampang di layar. Iya, itu adalah awal dimana obrolan panjang ini dimulai.
Tidak butuh waktu lama untuk sekedar berbasa- basi. Hari ke- 4 aku mengenalnya secara maya, akhirnya pertemuan nyata menambah panjang deretan cerita.
Akhirnya aku tahu siapa pemilik suara berat yang berjam- jam mengisi ruang di telingaku setiap malam dengan obrolan yang tak berjeda. Akhirnya aku tahu bagaimana cara menginterpretasikan mimik wajahnya saat pesan- pesan konyol yang memenuhi inbox-ku itu hilir mudik secara konstan. Aku seperti menemukan teman ngobrol yang sudah lama aku kenal. Sangat lama.
Kita tidak pernah tahu bagaimana Tuhan membuat sebuah alur pertemuan. Kepada siapa, kapan dan dimana hati akan ditautkan. Mungkin hanya melalui celah kecil yang dulunya begitu enggan kita intip lebih dalam, namun kini berubah menjadi pintu masuk untuk dia yang baru saja mengetuk.
Hari ini, minggu ke- 2 dari awal perkenalan itu, tampaknya waktu sedang teramat baik dengan memperlambat perputarannya, hingga membiarkan kami saling mengenal, berbagi, dan melengkapi begitu saja tanpa harus pernah berjabat tangan sebelumnya dan bertanya, " Kamu Radit? Aku Tia".
***
Langganan:
Postingan
(
Atom
)